https://malang.times.co.id/
Opini

Bahasa Gaul dan Pergeseran Makna Kesantunan

Senin, 13 Oktober 2025 - 00:12
Bahasa Gaul dan Pergeseran Makna Kesantunan Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Di jagat digital hari ini, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga ekspresi identitas. Di media sosial, TikTok, dan ruang percakapan daring, bahasa gaul menjadi simbol kedekatan, kebaruan, bahkan bentuk resistensi terhadap bahasa formal yang dianggap kaku dan “tidak anak muda banget”. 

Kata-kata seperti anjay, cuan, healing, receh, spill, bestie, dan gaskeun lahir dari kreativitas linguistik generasi muda yang hidup dalam arus komunikasi instan. Namun di balik kelincahan bahasa ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah kesantunan masih punya tempat dalam percakapan generasi digital?

Bahasa selalu tumbuh mengikuti zaman. Dari era surat tulis tangan hingga pesan singkat, manusia selalu mencari cara tercepat untuk menyampaikan isi pikirannya. Generasi sekarang tumbuh dengan “kecepatan” sebagai nilai baru. Semakin singkat, semakin ekspresif, semakin relevan. 

Inilah yang melahirkan pola bahasa yang tak hanya padat makna, tapi juga padat emosi. Kata “anjir” misalnya, bisa berarti kagum, jengkel, atau kaget tergantung nada dan konteksnya. Fleksibilitas makna ini menunjukkan bahwa bahasa gaul bukan sekadar tren, melainkan cermin dinamika sosial yang kompleks.

Namun di titik tertentu, kelincahan ini menggerus batas kesantunan yang dulu dijaga dengan ketat. Dalam ruang digital, di mana semua orang bisa bicara tanpa tatap muka, kesopanan seringkali dianggap opsional. Sapaan “bro”, “cuys”, atau “woy” menjadi bentuk keakraban yang melampaui hierarki usia dan status sosial. 

Tapi tidak jarang pula, sapaan seperti itu menimbulkan ketegangan ketika disampaikan pada konteks yang salah, misalnya kepada guru, orang tua, atau figur publik. Di sinilah kita melihat pergeseran makna kesantunan: dari sesuatu yang berbasis norma sosial menjadi sesuatu yang berbasis konteks emosional.

Kesantunan dulu diukur dari struktur kalimat dan pilihan kata. Kini, ia diukur dari niat dan rasa. Generasi digital cenderung menilai kesopanan bukan dari bentuk bahasa, tetapi dari intensi komunikatif. Mereka bisa menggunakan kata kasar untuk bercanda, atau menggunakan emoji untuk menetralkan nada. 

Pola ini membuat komunikasi terasa lebih cair, tetapi juga lebih rentan disalahartikan. Apalagi ketika konteks budaya dan usia berbeda, apa yang dianggap lucu bagi anak 20 tahun bisa terasa menyinggung bagi yang berumur 50 tahun.

Fenomena ini sejatinya mengingatkan kita bahwa bahasa adalah medan negosiasi nilai. Di satu sisi, kita perlu mengapresiasi kreativitas anak muda yang menciptakan bahasa baru sebagai ruang ekspresi. 

Bahasa gaul membuktikan bahwa generasi digital tidak pasif; mereka aktif menafsirkan ulang realitas dengan gaya mereka sendiri. Tetapi di sisi lain, pergeseran nilai kesantunan ini perlu disadari sebagai tanda perubahan sosial yang lebih luas: bahwa struktur otoritas dan relasi antar generasi kini tidak lagi tegak seperti dulu.

Pendidikan bahasa di sekolah pun menghadapi tantangan baru. Guru bahasa Indonesia tidak hanya mengajarkan kaidah EYD, tetapi juga perlu memahami dinamika komunikasi anak zaman digital. Kesantunan kini tak bisa diajarkan hanya lewat larangan kata kasar, tapi harus melalui pemahaman konteks: kapan, di mana, dan kepada siapa bahasa tertentu pantas digunakan. 

Dalam hal ini, pendidikan karakter harus disinergikan dengan literasi digital. Anak muda perlu belajar bahwa setiap kata memiliki ruang sosialnya masing-masing, dan bahwa kebebasan berekspresi tidak berarti bebas dari tanggung jawab komunikasi.

Di sisi lain, masyarakat juga perlu membuka ruang toleransi terhadap perubahan bahasa. Menyalahkan bahasa gaul secara total sama saja dengan menolak kenyataan zaman. Bahasa adalah organisme hidup yang berevolusi mengikuti dinamika masyarakat.

Justru yang lebih penting adalah menjaga agar nilai-nilai kesantunan tidak terhapus dalam euforia kebebasan berekspresi. Kesantunan seharusnya bukan soal “boleh atau tidak boleh” memakai kata gaul, tapi soal kesadaran bahwa setiap kata yang kita ucapkan mencerminkan karakter diri dan menghormati ruang sosial orang lain.

Dalam konteks ini, dunia digital perlu diimbangi dengan etika baru. Etika yang tidak hanya menilai benar-salah secara kaku, tetapi peka terhadap keberagaman makna dan budaya. 

Mungkin generasi sekarang tidak lagi berbicara dengan “permisi” atau “maaf” setiap kali memulai percakapan, tetapi mereka bisa tetap santun dengan cara mendengarkan, tidak menghujat, dan menghargai opini berbeda. Di sinilah wajah baru kesantunan itu lahir: bukan lagi kaku dalam aturan, melainkan lentur dalam empati.

Bahasa gaul bukan musuh kesantunan. Ia hanya menunjukkan bahwa kesantunan sedang bertransformasi. Tugas kita bukan menghakimi, tapi memahami. Karena di balik “anjay” yang terdengar keras, bisa saja tersimpan tawa hangat antar teman. 

Di balik “wkwkwk” yang sederhana, bisa ada empati dan dukungan yang tulus. Bahasa gaul, pada akhirnya, adalah potret keberagaman ekspresi manusia yang tak pernah berhenti berubah dan justru di situlah indahnya.

***

*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.