TIMES MALANG, MALANG – Pernahkah kita berpikir, mengapa negeri ini yang katanya demokrasi rasanya semakin jauh dari rakyatnya? Mengapa kursi kekuasaan justru makin sempit bagi mereka yang punya kemampuan, tapi lapang bagi mereka yang dekat dengan lingkar kekuasaan?
Beberapa waktu belakangan, publik dikejutkan oleh deretan nama Wakil Menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai BUMN. Bukan satu dua, tapi puluhan. Bahkan bisa dibuat daftar panjang yang kalau dicetak, bisa menutupi wajah gedung DPR.
Di tengah kondisi negara yang katanya ingin “efisiensi”, kita justru melihat satu orang menjabat dua peran sekaligus dengan gaji dua arah, fasilitas dua kali lipat, dan kuasa yang nyaris tak tersentuh.
Cerita Lama dengan Wajah Baru
Ini sebenarnya bukan cerita baru. Ini cerita lama, hanya ganti pemain. Dulu, orang berebut kekuasaan lewat partai. Sekarang, lewat kursi komisaris. Yang dulu malu-malu menyembunyikan kolusi, sekarang tak perlu lagi menyembunyikannya. Semuanya terang-terangan. Di depan publik. Di hadapan rakyat yang setiap hari mengantri minyak goreng murah atau iuran BPJS yang naik terus.
Rangkap jabatan bukan sekadar soal teknis birokrasi. Ia adalah simbol. Simbol bahwa kekuasaan di negeri ini sudah terlalu nyaman di tangan segelintir orang. Bahwa profesionalisme tak ada nilainya jika tak punya akses politik. Dan bahwa rakyat, seperti biasa, hanya jadi penonton.
BUMN Jadi Lahan, Bukan Lembaga
BUMN semestinya menjadi tulang punggung ekonomi bangsa. Tempat negara hadir untuk rakyat. Tapi nyatanya, BUMN kerap jadi lahan subur bagi elit politik. Jabatan komisaris yang mestinya diisi oleh orang profesional, justru jadi bancakan. Diperebutkan bukan karena kapasitas, tapi karena kedekatan.
Mereka bilang, penempatan Wamen sebagai komisaris adalah bagian dari sinergi antar lembaga. Tapi publik tahu, itu hanya kalimat manis untuk membungkus praktik bagi-bagi kue kekuasaan.
Kalau benar ingin sinergi, mengapa tak merekrut profesional dengan rekam jejak yang bersih dan kapabel? Mengapa tidak membuka ruang kompetisi yang adil Jawabannya sederhana: karena ini soal kuasa, bukan kualitas.
Demokrasi Terpimpin yang Bertransformasi
Inilah bentuk baru dari apa yang dulu disebut demokrasi terpimpin. Bukan lagi satu tokoh yang memimpin segalanya, tapi segelintir elit yang saling menopang dalam jejaring kekuasaan yang rapi dan transaksional. Mereka membentuk lingkaran sendiri tertutup, kuat, dan anti kritik.
Rakyat? Hanya jadi suara yang dibutuhkan lima tahun sekali. Setelah itu, suara mereka tak lagi didengar. Keluhan soal harga sembako yang naik, pendidikan yang makin mahal, atau layanan publik yang mengecewakan semuanya tenggelam oleh gemerlapnya ruang rapat para komisaris yang digaji ratusan juta tiap bulan.
Profesional Tak Punya Tempat
Apa kabar para akademisi? Apa kabar ekonom andal, pakar keuangan negara, atau auditor yang paham seluk-beluk perusahaan negara? Mereka tetap di kampus, di ruang seminar, di pinggir jalan. Tak dilirik. Karena di negeri ini, kemampuan bukan jalan utama menuju kekuasaan. Loyalitas politik jauh lebih berharga.
Yang membuat miris, publik seolah-olah dipaksa untuk percaya bahwa ini hal biasa. Bahwa jabatan komisaris bukan sesuatu yang istimewa. Padahal, kita tahu betul: posisi itu datang dengan tanggung jawab besar, kontrol strategis, dan tentu saja, gaji yang tidak kecil.
Maka pertanyaannya: apakah mereka bisa bekerja optimal dengan dua jabatan sekaligus? Atau sebenarnya, jabatan itu hanya formalitas semata?
Rakyat Terus Menunggu
Di sisi lain, rakyat terus menunggu. Menunggu harga-harga stabil, layanan publik membaik, pendidikan terjangkau, dan pekerjaan yang layak. Tapi yang mereka saksikan justru sebaliknya: para pemimpin sibuk menata kursi, bukan menata nasib rakyat.
Inilah yang disebut demokrasi yang tersesat di jalan kekuasaan. Demokrasi yang kehilangan ruh. Yang diisi bukan oleh cita-cita, tapi oleh transaksi. Demokrasi yang tampak hidup, tapi sebenarnya sudah lama mati digantikan oleh politik kemasan dan pencitraan.
Haruskah Kita Diam?
Tidak. Kita tidak boleh diam. Sebab diam adalah tanda setuju. Diam adalah bentuk pasrah. Padahal negeri ini tidak kekurangan orang baik, tidak kekurangan orang cerdas, dan tidak kekurangan semangat untuk berubah. Yang kurang hanya satu: keberanian untuk melawan sistem yang sudah terlalu nyaman dalam ketimpangan.
Presiden Prabowo, sebagai pemimpin negeri ini, masih punya kesempatan. Kesempatan untuk memperbaiki arah. Untuk membuktikan bahwa ia berpihak pada rakyat, bukan pada elit. Caranya sederhana: hentikan rangkap jabatan, tempatkan profesional di tempat strategis, dan kembalikan BUMN ke pangkuan rakyat.
Negeri ini tak butuh lebih banyak komisaris. Negeri ini butuh lebih banyak pemimpin yang tahu cara mendengar jeritan rakyat. Rangkap jabatan bukan soal siapa dapat apa. Ini soal keadilan. Dan keadilan, sesungguhnya, adalah fondasi utama dari demokrasi yang sehat.
Karena jika keadilan terus dikorbankan, maka demokrasi akan tinggal nama dan yang tersisa hanyalah kekuasaan yang makin pongah, makin rakus, dan makin jauh dari rakyat. (*)
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |