TIMES MALANG, MALANG – Ada masa ketika anak muda membaca surat kabar untuk mencari gagasan, bukan hanya hiburan. Ada waktu ketika membaca buku tebal adalah bentuk perlawanan terhadap kebodohan kolektif. Tapi kini, generasi muda hidup dalam dunia yang dipadatkan ke layar 6 inci di mana pengetahuan dibentuk oleh algoritma, bukan oleh proses berpikir.
Fenomena yang disebut brain rot kini menjadi istilah baru dalam kamus sosial kita. Istilah ini menggambarkan kondisi otak yang jenuh, cepat bosan, dan kehilangan ketajaman berpikir akibat konsumsi konten digital yang terlalu cepat dan dangkal. Ini bukan istilah medis, tapi ia lahir dari pengalaman sosial yang nyata, otak yang terbiasa dengan kecepatan akhirnya kehilangan kesabaran untuk mendalami sesuatu.
Survei Arus Survei Indonesia (2024) memperlihatkan bahwa lebih dari 31,6% Gen Z Indonesia menghabiskan waktu 5-6 jam per hari di media sosial, dan 19,6% lainnya 7-8 jam. Hampir semua (99,8%) terhubung dengan internet, dan TikTok, YouTube, serta Instagram menjadi tiga ruang utama yang mereka huni. Artinya, sepertiga hari mereka dihabiskan dalam pusaran konten cepat, berganti dalam hitungan detik, disetir oleh algoritma yang hanya ingin mempertahankan perhatian.
Di satu sisi, dunia digital memberi akses tanpa batas terhadap informasi. Tapi di sisi lain, ia juga menciptakan generasi yang kehilangan filter. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2022) mencatat 65% anak muda usia 15-24 tahun lebih sering mendapatkan informasi dari media sosial ketimbang dari buku atau media kredibel.
Ironinya, 87% dari mereka (data Kominfo 2023) mengaku sering membaca berita hanya dari judul tanpa membuka isinya. Sebuah kebiasaan yang lahir dari pola pikir instan, tahu sedikit, merasa tahu banyak.
Efeknya terasa dalam kemampuan berpikir kritis. Skor literasi membaca pelajar Indonesia dalam survei PISA (OECD) turun dari 371 pada 2018 menjadi 359 pada 2022.
Angka ini bukan sekadar statistik, tapi cermin dari menurunnya kemampuan pelajar memahami bacaan kompleks dan menarik kesimpulan rasional. Mereka cepat menyerap, tapi sulit mencerna. Dalam istilah brain rot, otak mereka “penuh informasi tapi miskin pemahaman”.
Lebih jauh, fenomena ini menyentuh cara kita berpikir tentang kebenaran. Di dunia yang didominasi kecepatan, kebenaran sering kalah oleh viralitas. Yang penting ramai, bukan benar. Yang penting lucu, bukan bermakna.
Algoritma media sosial tidak bekerja untuk membangun akal sehat, ia bekerja untuk membuat kita terus menatap layar. Inilah paradoks besar generasi digital, mereka tahu segalanya, tapi sulit memahami sesuatu secara mendalam.
Dampak kognitifnya mulai terlihat. Penelitian Universitas Indonesia (2024) menemukan bahwa durasi fokus mahasiswa di ruang kuliah kini rata-rata hanya 9-12 menit sebelum perhatian mereka teralihkan oleh notifikasi ponsel.
Otak yang terbiasa dengan video 15 detik sulit bertahan dalam diskusi 60 menit. Mereka bukan tidak cerdas, tapi otaknya dilatih untuk berpindah cepat bukan untuk bertahan dan merenung.
Dalam konteks kesehatan mental, BKKBN melalui survei I-NAMHS (2024) mengungkap bahwa sekitar 15,5 juta remaja Indonesia atau 34,9% mengalami gejala gangguan mental. Sebagian besar mengaku tekanan terbesar berasal dari media sosial, perbandingan diri, komentar publik, dan ketakutan tertinggal tren.
Pola pikir instan yang terus diberi asupan visual membuat banyak anak muda kehilangan ruang jeda ruang untuk diam, berpikir, dan mengenali dirinya sendiri.
Kita sedang melihat generasi yang tumbuh dengan kecepatan luar biasa, tapi kehilangan kedalaman. Mereka bisa menjelaskan teori konspirasi dari TikTok, tapi kesulitan menjelaskan isi buku pelajaran.
Mereka bisa membuat konten kreatif dalam hitungan menit, tapi kesulitan menulis refleksi satu halaman. Bukan karena bodoh, tapi karena struktur pikirnya sedang “diprogram ulang” oleh sistem yang mengutamakan perhatian ketimbang pemahaman.
Fenomena ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada anak muda. Ekosistem digital kita memang dibangun untuk menciptakan kecanduan. APJII (2025) mencatat lebih dari 14,9% pengguna internet Indonesia menghabiskan lebih dari empat jam sehari di media sosial, sebagian besar di TikTok.
Platform ini bukan ruang netral, ia menumbuhkan budaya “cepat, lucu, viral, dan selesai”. Pola ini membuat generasi muda terperangkap dalam siklus instan haus sensasi, tapi lapar makna.
Pendidikan kita pun sering gagal melawan arus ini. Di ruang kelas, pelajaran masih disampaikan dengan cara lama, hafalan, ujian, hasil, bukan proses berpikir. Padahal, melawan brain rot butuh sekolah yang melatih otak untuk berhenti sejenak, membaca pelan, berdiskusi, dan mempertanyakan. Daya kritis tidak lahir dari kecepatan, melainkan dari ketekunan menatap persoalan.
Jika dibiarkan, brain rot bisa menciptakan generasi yang aktif secara digital tapi pasif secara intelektual. Mereka cerewet di media sosial tapi diam di ruang diskusi. Mereka berani berdebat di kolom komentar, tapi takut berpikir panjang. Mereka punya banyak suara, tapi sedikit isi.
Namun, harapan masih ada. Sebagian anak muda mulai sadar dan melawan balik, dengan digital detox, membaca karya klasik, membuat konten reflektif, atau membangun komunitas belajar mandiri. Ini bukan sekadar nostalgia analog, tapi upaya untuk mengembalikan keseimbangan agar otak kembali punya ruang untuk bernapas dan berpikir.
Fenomena brain rot seharusnya tidak kita lihat hanya sebagai “tren internet”, tapi sebagai tanda sosial, bahwa bangsa ini perlu mengembalikan nilai kesabaran berpikir di tengah dunia yang menuntut kecepatan.
Generasi emas Indonesia 2045 tidak akan lahir dari kecepatan jempol, tapi dari kedalaman pikiran. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita berani berhenti sejenak dari layar lalu mulai berpikir secara mendalam dari kepala kita sendiri.
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |