https://malang.times.co.id/
Opini

Etika Bertetangga hingga Kebenaran Algoritma Yai Mim-Sahara

Jumat, 10 Oktober 2025 - 17:30
Etika Bertetangga hingga Kebenaran Algoritma Yai Mim-Sahara Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

TIMES MALANG, MALANG – Suatu hari, sebuah video pendek memperlihatkan seorang pria paruh baya berguling di tanah, menangis, diikuti teriakan warga dan sorotan kamera. Dalam beberapa jam, video itu menembus ratusan ribu tayangan. 

Nama dalam video itu: Yai Mim, mantan dosen dan tokoh agama yang selama ini dikenal kalem. Lawan videonya: Sahara, pemilik usaha rental mobil, tetangga sendiri. Isunya tampak sepele parkir, tanah, akses jalan. 

Di balik itu, ada narasi besar yang diam-diam menyentuh urat nadi sosial Indonesia hari ini: hilangnya rasa hormat di antara warga, dan lahirnya pengadilan tetangga di era digital.

Di Malang, kasus ini menjadi magnet nasional. Dari sekadar gang sempit perumahan, kisah itu menjelma jadi topik debat hukum, sosial, dan moral. BPN turun tangan, polisi turun tangan, bahkan warganet ikut berdebat tentang siapa yang benar. Tapi di atas semuanya, yang tampak mencolok bukan siapa yang menang, melainkan apa yang hilang: etika bertetangga di zaman algoritma.

Kasus Yai Mim dan Sahara bermula dari perebutan akses jalan. Yai Mim menganggap jalan di depan rumahnya adalah lahan wakaf, sementara Sahara menganggapnya jalan umum yang bisa dipakai siapa pun. 

BPN kemudian memastikan bahwa tanah itu bukan tanah wakaf, melainkan milik pribadi berdasarkan sertifikat. Namun persoalan tidak berhenti di sana: tanah pribadi yang berfungsi sosial ternyata bisa lebih sensitif daripada tanah publik.

Dalam sejarah hukum agraria Indonesia, Pasal 6 UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) menyebut: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Tapi dalam praktik sosial yang retak, fungsi sosial itu sering berubah jadi fungsi emosional. Ketika ego lebih cepat dari musyawarah, pasal kehilangan daya moralnya.

Yang lebih menarik bukan sekadar siapa benar dan salah, tapi bagaimana kebenaran diperebutkan di ruang digital. Video TikTok Sahara yang menampilkan Yai Mim menjadi titik balik: publik menilai dulu, baru mencari fakta kemudian.

Padahal, dalam hukum pidana, asas praduga tak bersalah (Pasal 8 ayat (1) KUHAP) adalah prinsip mutlak. Tapi di media sosial, asas itu berubah: “Siapa yang lebih dulu unggah, dialah yang dianggap benar.”

Dalam sistem hukum klasik, kasus dimulai dari laporan, diselidiki, lalu diuji oleh pengadilan. Tapi dalam ekosistem digital, prosesnya terbalik: pengadilan sosial terjadi dulu, baru laporan menyusul.

Polisi Kota Malang kini menerima laporan saling tuduh: pencemaran nama baik (Pasal 310 dan 311 KUHP), pelanggaran UU ITE, dan pelanggaran hak atas rasa aman (Pasal 335 KUHP). 

Semua pasal itu sah secara hukum, tapi tidak menjawab akar persoalan: bagaimana jika pelanggaran hukum dipicu oleh pelanggaran etika yang tidak tertulis?

Kita hidup di masa ketika satu gestur kecil bisa direkam, diedit, dan disebar dengan narasi yang menggiring opini. Dan hukum positif belum punya mekanisme untuk menangani “pengadilan algoritmik” ini  di mana penghukuman moral lebih cepat dari penyelidikan fakta.

Profesor hukum Bivitri Susanti pernah menulis, “Hukum kita sering tertinggal satu langkah di belakang perilaku sosial.” Dalam kasus ini, hukum bahkan tertinggal dua langkah: satu di belakang media, satu lagi di belakang emosi publik.

Dari Rumah ke Ruang Publik

Fenomena Yai Mim dan Sahara juga memperlihatkan sesuatu yang jarang dibahas: keretakan otoritas moral di tingkat lokal. Dalam masyarakat Indonesia lama, sosok seperti kiai, dosen, atau tokoh agama memiliki legitimasi simbolik. 

Mereka bukan sekadar warga, tapi “penjaga moral sosial.” Namun di era media sosial, legitimasi itu bisa roboh dalam semalam  cukup dengan satu unggahan.

Sosiolog Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai “krisis modal simbolik.” Orang yang dulu dihormati karena ilmu dan kedudukannya kini dinilai oleh audiens anonim yang bahkan tak mengenalnya secara pribadi. Begitu konten viral keluar dari konteks, reputasi menjadi komoditas. Dan yang paling tragis: masyarakat lokal ikut terbawa arus global opini.

Yai Mim bukan sekadar individu yang kehilangan muka; ia contoh dari bagaimana figur publik tradisional kehilangan tempat di ruang digital yang tak mengenal hierarki moral.

Sisi paling menarik  dan jarang dibahas  dari konflik ini adalah politik mikro ruang tetangga. Ketika RT, RW, dan warga mulai ikut menandatangani surat pengusiran, kita melihat bentuk lain dari kekuasaan: kekuasaan sosial non-formal. Tak ada pasal yang mengatur “pengusiran moral”, tapi efeknya bisa lebih dahsyat dari vonis pengadilan.

Sosiolog hukum Satjipto Rahardjo dulu menulis bahwa hukum tanpa masyarakat adalah teks yang bisu. Dalam kasus Yai Mim dan Sahara, hukum justru kalah oleh bisikan tetangga, oleh surat yang beredar tanpa prosedur hukum, oleh stigma yang tumbuh tanpa dasar bukti. Di sini, keadilan menjadi urusan gosip, bukan prosedur.

Viralitas sebagai Bentuk Kekuasaan Baru

Yang jarang disadari: viralitas kini adalah bentuk baru dari kekuasaan sosial. Dulu, kekuasaan datang dari jabatan, kekayaan, atau pendidikan. Sekarang, satu akun TikTok dengan satu juta pengikut bisa menggeser persepsi publik lebih cepat daripada surat keputusan pengadilan.

Inilah paradoks masyarakat modern: hukum dibuat untuk menertibkan perilaku, tapi perilaku digital bergerak lebih cepat daripada hukum. UU ITE (Nomor 19 Tahun 2016) sebenarnya dimaksudkan untuk menekan penyebaran fitnah dan ujaran kebencian. Tapi di lapangan, UU itu sering menjadi alat balas dendam hukum, bukan perlindungan hak reputasi.

Dalam kasus Yai Mim dan Sahara, dua-duanya melapor ke polisi dengan pasal yang sama. Artinya, hukum digital kita sedang bingung: siapa korban, siapa pelaku  semua tergantung dari siapa yang sempat merekam lebih dulu.

Dulu, keadilan lahir dari proses: saksi, bukti, musyawarah, dan waktu. Sekarang, keadilan dipanggil lewat tagar, komentar, dan potongan video. Sosiolog Jerman, Jürgen Habermas, pernah memperingatkan tentang “degradasi ruang publik”  ketika opini massa menggantikan nalar publik. Dan kita melihat itu terjadi di gang sempit Malang: ruang yang seharusnya tenang berubah jadi panggung nasional.

Ironinya, semakin viral kasus ini, semakin sulit mencari kebenaran. Yai Mim kehilangan privasi dan pekerjaan; Sahara kehilangan reputasi bisnis; warga kehilangan ketenangan. Semua merasa benar.

Konflik Yai Mim dan Sahara bukan sekadar drama dua orang, tapi miniatur bagaimana Indonesia kini hidup di antara dua dunia:  hukum tertulis yang lambat, dan moral digital yang liar.

Ia mengajarkan bahwa keadilan bukan hanya soal pasal, tapi juga tentang cara manusia saling memperlakukan.  Bahwa viralitas bukan kemenangan, melainkan potret betapa cepatnya kita kehilangan empati.  Bahwa hukum harus mulai belajar dari ruang-ruang kecil  dari gang-gang di mana konflik mikro kini bisa meledak menjadi wacana nasional.

Kita mungkin tak bisa mengembalikan kehormatan yang sudah dipermainkan di layar ponsel, tapi kita bisa mulai dari hal sederhana: mengembalikan hening dalam setiap penilaian. Sebab keadilan, kata filsuf hukum Ronald Dworkin, “bukan hanya tentang benar atau salah, tapi tentang memperlakukan orang lain dengan rasa hormat yang sama.”

Dan barangkali, jika rasa hormat itu kembali ke gang-gang kecil seperti tempat Yai Mim dan Sahara dulu tinggal, kita tak perlu lagi menonton keadilan berteriak di TikTok.

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.