TIMES MALANG, MALANG – Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai daerah hingga pusat saat ini mencerminkan bahwa bangsa kita sedang berada pada titik penting dalam perjalanan demokrasi.
Aspirasi rakyat yang mengalir deras ke jalan-jalan kota bukanlah fenomena baru, melainkan akumulasi dari rasa ketidakpuasan terhadap kebijakan publik dan kondisi ekonomi yang dirasa tidak berpihak pada masyarakat luas.
Latar belakang maraknya aksi belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari isu kebijakan yang dianggap tidak responsif. Publik menilai bahwa saat sebagian besar masyarakat masih bergulat dengan tingginya biaya hidup, munculnya wacana tunjangan besar bagi elite politik justru memperlebar jurang ketidakadilan.
Ketimpangan inilah yang kemudian menjadi pemicu utama, ditambah dengan berbagai persoalan klasik: rendahnya transparansi, lemahnya akuntabilitas, dan praktik politik yang sering dianggap jauh dari kepentingan rakyat.
Sayangnya, dinamika di lapangan sering kali berubah menjadi benturan fisik. Kita masih segar mengingat peristiwa tragis meninggalnya seorang pengemudi ojek online muda di Jakarta akibat insiden dengan kendaraan aparat.
Kejadian itu menjadi pemicu gelombang solidaritas yang lebih luas, tidak hanya di ibu kota, tetapi juga di berbagai daerah seperti Makassar, Bandung, dan Bali.
Namun, solidaritas yang semula murni memperjuangkan keadilan, di beberapa titik bergeser menjadi aksi anarkis: pembakaran gedung pemerintahan, perusakan fasilitas umum, hingga penjarahan.
Hal ini sangat disayangkan, karena pada akhirnya justru mencoreng wajah perjuangan itu sendiri. Aspirasi yang seharusnya menyatukan rakyat, justru kehilangan simpati ketika dikotori oleh tindakan destruktif.
Dalam situasi seperti ini, posisi kita harus jelas yaitu menolak segala bentuk tindakan represif yang berlebihan dari aparat, sekaligus menolak segala tindakan anarkis dari massa. Kekerasan tidak bisa menjadi solusi, dari pihak manapun asalnya.
Tindakan represif yang melukai atau merenggut nyawa hanya akan memperdalam luka sosial, mengikis kepercayaan publik, dan memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyat.
Di sisi lain, penjarahan dan pembakaran fasilitas publik juga bukan jalan keluar. Itu hanya menambah beban masyarakat sendiri, menciptakan kerugian bersama, dan mengurangi simpati terhadap perjuangan yang sebenarnya sah dan konstitusional.
Oleh karena itu, kita perlu mengingatkan bahwa demonstrasi sejatinya adalah ruang dialektika antara rakyat dengan penguasa, bukan arena permusuhan. Ketegangan yang terjadi saat ini harus diurai dengan kepala dingin, bukan dipanaskan dengan emosi yang membakar.
Kunci penyelesaian ada pada keterbukaan dialog. Pemerintah harus berani membuka ruang komunikasi yang substantif, mendengarkan suara rakyat tanpa sekadar formalitas. Isu ketimpangan, transparansi anggaran, serta beban ekonomi rakyat harus dijawab dengan langkah kebijakan yang nyata.
Lebih jauh, demonstrasi ini harus menjadi momentum refleksi bagi semua pihak, terutama elite politik. Bahwa kepentingan rakyat adalah prioritas utama, bukan sekadar jargon. Bahwa legitimasi tidak dibangun dengan kekuasaan semata, melainkan dengan kepercayaan yang lahir dari keadilan dan keberpihakan.
Mari kita buktikan bahwa kita mampu memperjuangkan keadilan tanpa harus merusak, bahwa kita mampu bersatu tanpa harus membakar, dan bahwa demokrasi bisa tumbuh dengan damai tanpa kehilangan daya kritisnya.
Karena pada akhirnya, demokrasi hanya akan kokoh jika dijaga dengan semangat kebersamaan, ketertiban, dan rasa saling menghormati. Dan di situlah sejatinya martabat bangsa ini dipertaruhkan.
***
*) Oleh : Achmad Firman Maulana, Ketua Bidang Komunikasi & Informasi PC Tidar Kabupaten Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |