TIMES MALANG, MALANG – Gelombang demonstrasi yang baru-baru ini mewarnai jalanan Indonesia bukanlah sekadar kerumunan massa yang berteriak di bawah terik matahari. Di balik poster-poster kritis dan megafon yang lantang, ada wajah-wajah muda yang menyimpan daya analisis tajam, otak-otak segar yang tidak lagi puas dengan jargon, dan hati yang berdegup karena kegelisahan akan masa depan negeri.
Aksi jalanan itu adalah ruang di mana generasi muda tidak sekadar berdiri sebagai penonton, melainkan pemain utama dalam panggung demokrasi.
Kehadiran anak muda dalam demonstrasi ibarat oksigen bagi demokrasi. Mereka tidak sekadar marah, tetapi membawa data, riset, dan analisis. Narasi yang lahir bukan hanya teriakan “tolak” atau “turunkan”, melainkan ulasan cerdas tentang pasal bermasalah, tentang kepentingan yang disembunyikan, tentang kebijakan yang jauh dari rakyat.
Di tengah sinisme publik terhadap DPR yang dianggap sibuk dengan transaksi politik, generasi muda hadir dengan bahasa yang tajam, seakan hendak menguliti selaput tebal kepura-puraan kekuasaan.
Kita tentu ingat, sejarah bangsa ini berkali-kali ditopang oleh gerakan anak muda. Dari peristiwa 1928, 1966, hingga reformasi 1998, pemuda selalu menjadi katalis perubahan. Namun, kali ini ada pergeseran penting: anak muda tak hanya menguasai jalanan, tapi juga ruang digital.
Demonstrasi tidak lagi terbatas pada teriakan di aspal, melainkan diulang, dianalisis, dan diperdebatkan di media sosial, podcast, dan kanal diskusi daring. Anak muda hari ini bukan sekadar orator, melainkan analis. Mereka belajar membaca dokumen, mengulik data, lalu membungkusnya dalam bahasa populer yang membuat publik melek politik.
Mengapa anak muda bisa sedemikian tajam? Jawabannya sederhana: karena mereka merasakan langsung dampak buruk kebijakan. Saat DPR lamban memperjuangkan isu pendidikan, merekalah yang menghadapi biaya kuliah kian mahal. Saat DPR meloloskan undang-undang kontroversial, merekalah yang menanggung konsekuensi di masa depan.
Mereka tidak lagi percaya pada janji-janji manis politisi yang kerap lebih sibuk berdebat soal kursi ketimbang nasib rakyat. Analisis kritis anak muda lahir dari luka sehari-hari, dari pengalaman hidup yang tidak bisa ditutupi retorika.
Namun, ada hal yang lebih menarik: kemampuan mereka menghubungkan isu. Misalnya, ketika DPR dinilai lemah dalam fungsi pengawasan terhadap anggaran pendidikan, anak muda bisa mengaitkannya dengan kasus korupsi di sektor itu. Mereka menyadari betul bahwa korupsi bukan hanya soal uang negara yang raib, tetapi juga hilangnya masa depan anak bangsa.
Mereka berani menyebut DPR gagal menjalankan fungsi check and balance jika hanya diam terhadap praktik kotor di tubuh pemerintah. Di titik ini, demonstrasi bukan lagi sebatas simbol perlawanan, melainkan kuliah umum terbuka dengan anak muda sebagai dosen dadakan bagi bangsanya sendiri.
Sayangnya, kecerdasan itu kerap dilabeli sinis: “anak muda cuma cari sensasi”, “belum paham realitas politik”, atau “hanya ikut-ikutan”. Label semacam ini justru menyingkap ketakutan lama: bahwa generasi muda mampu menggoyahkan kenyamanan para elite.
Ketika argumentasi mereka kuat dan datanya sahih, tuduhan “ikut-ikutan” terdengar seperti pengakuan terselubung bahwa para penguasa kalah dalam perang nalar. Justru di situlah letak pentingnya anak muda: menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak boleh dibiarkan jadi milik segelintir orang.
Tentu, kecerdasan anak muda dalam menganalisis isu tidak boleh berhenti di jalanan. Mereka harus naik kelas: dari pengkritik menjadi penggagas. Dari penolak menjadi perancang. Demonstrasi adalah pintu masuk, tapi ruang legislasi, riset, dan kebijakan adalah medan utama.
Apa artinya teriakan lantang di jalan jika tidak bertransformasi menjadi usulan nyata, rancangan alternatif, atau gerakan sosial yang konsisten? Di titik ini, anak muda ditantang untuk membuktikan bahwa energi kritisnya bisa melahirkan perubahan nyata, bukan hanya trending topic.
Masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada konsistensi generasi muda ini. Mereka sudah punya amunisi analisis, mereka sudah punya panggung digital, mereka juga punya legitimasi moral.
Yang perlu dipastikan adalah: jangan biarkan semangat itu mati oleh kooptasi. Jangan biarkan pikiran kritis itu diredam oleh tawaran kekuasaan jangka pendek. Kekuatan anak muda justru terletak pada keberaniannya menjaga jarak dari kenyamanan palsu yang kerap menjebak politisi senior.
Aksi demonstrasi terakhir memberi pesan jelas: publik tidak lagi buta, apalagi tuli. Anak muda menunjukkan bahwa kritik bisa tajam sekaligus elegan, bahwa perlawanan bisa berwajah data, bukan sekadar emosi.
Mereka adalah antitesis dari DPR yang sering dianggap malas membaca draf RUU, malas turun ke konstituen, tetapi rajin mengamankan kepentingan politiknya sendiri. Jika anak muda terus mempertahankan kualitas analisisnya, bukan tidak mungkin mereka akan menjadi generasi politisi baru yang tak hanya bicara soal kursi, tetapi soal ide.
Di tengah riuh jalanan, kita melihat potret masa depan: anak-anak muda yang tidak lagi sekadar berbaris, tapi juga berpikir. Mereka bukan lagi generasi “kaleng-kaleng” yang mudah diprovokasi, melainkan generasi yang bisa menguliti kekuasaan dengan pisau nalar.
Jika DPR gagal menjalankan fungsi representasi, anak muda sudah bersiap merebut ruang representasi itu, entah lewat jalur politik formal atau gerakan sosial yang lebih progresif.
Demonstrasi yang baru-baru ini terjadi bukan sekadar kerumunan, melainkan tanda. Tanda bahwa demokrasi masih punya denyut. Tanda bahwa anak muda cerdas tengah lahir, dengan analisis yang tajam dan keberanian yang menyala. Tugas kita hanya satu: jangan pernah meremehkan, apalagi mematikan nyala itu. Sebab, dalam nyala itu tersimpan api masa depan bangsa.
***
*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |