https://malang.times.co.id/
Opini

Puasa Menahan Hawa Nafsu

Kamis, 13 Maret 2025 - 11:26
Puasa Menahan Hawa Nafsu Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env., Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau, Pekanbaru.

TIMES MALANG, RIAU – Secara umum, makna dari puasa atau shiyam/shaum menurut bahasa Arab  adalah imsak (menahan) dari segala sesuatu, seperti menahan makan, minum, berbicara, nikah, tidur, melakukan perjalanan dan yang lainnya. Orang yang berpuasa disebut ash-shaa-im karena tindakannya menahan diri dari makan dan minum.

Sedangkan secara istilah fikih (syariat), puasa adalah menahan dari  hal-hal yang membatalkannya sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari diserta dengan niat dan syarat-syarat tertentu.

Menurut Sulaiman Rasyid (1976) dalam bukunya Fiqh Islam, puasa menurut istilah agama Islam adalah menahan diri daripada sesuatu yang membukakan, satu hari lamanya mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.

Ada juga yang mendefinisikan sebagai penahanan diri dengan niat dari berbagai hal tertentu, pada waktu tertentu, dari orang tertentu dan dengan syarat tertentu.

Penahanan diri dengan niat, maksudnya puasa tidak sah kecuali dengan niat untuk mendapatkan ridho dari Allah semata. Dalam konteks ini orang yang berpuasa dengan tujuan untuk kesehatan, kebugaran tubuh dan yang sejenisnya tidak masuk dalam kategori berpuasa secara syar’i.

Dari berbagai hal tertentu, maksudnya adalah dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa seperti makan, minum, berhubungan syahwat suami-istri, berkata kotor dan jorok, berbuat kefasikan dan dosa.

Pada waktu tertentu, adalah dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Orang yang berpuasa dari pagi hari hingga sore hari tanpa patokan waktu dari terbit fajar hingga terbenam matahari, juga diluar pengertian puasa secara istilah fikih.

Dari orang tertentu, maksudnya adalah seorang muslim yang sudah baligh, berakal (tidak gila), mampu (sehat), mukim dan bukan orang yang sedang haidh atau nifas.

Dalam tulisan ini, penulis ingin fokus kepada puasa dalam pengertian menahan diri dari hawa nafsu tercela dari terbit fajar hingga berbuka ketika adzan dikumandangkan. Point ini yang banyak terabaikan dan terlupakan oleh umat Islam didalam menjalani rutinitas berpuasa di bulan ramadan, semenjak berzaman. Puasa hanya lebih identik dengan menahan dari makan, minum dan berhubungan intim antara suami istri di siang hari.

Sementara perbuatan tercela lainnya dilakukannya seperti; ghibah, menggunjing, berkata kasar dan jorok, mengumpat, sumpah serapah, berbuat zholim terhadap sesama manusia, menipu, korupsi uang negara, dan perbuatan dosa dan tercela lainnya, walaupun dia berpuasa  (dalam pengertian tidak makan, minum dan berhubungan syahwat suami-istri di siang hari).

Bahkan masih dijumpai, umat Islam yang berpuasa  di siang hari, namun disisi lainnya sholat fardhu diabaikan dan dilalaikan. Sehingga ada yang mengatakan bahwa lebih ringan meninggalkan sholat fardhu dibandingkan meninggalkan puasa.

Yang menarik lagi adalah, sholat taraweh berjemaah khusyuk dan konsisten dilakukan setiap malam, namun sholat maghrib diabaikan dan sholat lainnya diterlantarkan. Dia lebih fokus kepada amalan sunat dibandingkan amalan yang wajib/fardhu ‘ain.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa puasa di bulan ramadan yang bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan, yang dilakukan rutin bertahun-tahun tidak memberikan dampak signifikan kepada umat Islam yang melakukannya. Kenapa? Karena tidak dilakukan secara kaffah (sempurna) dan lebih hanya sekedar tradisi/kebiasaan dan tanpa dilandasi ilmu yang sesungguhnya didalam fikih puasa, terkhusus didalam point menjaga hawa nafsu dari perbuatan tercela, keji dan mungkar, baik dari amalan hati, lisan maupun anggota tubuh lainnya.

Sehingga puasa yang dilakukan tidak memberikan dampak signifakan di dalam kehidupan keseharian individu setelah keluar dari bulan ramadan. Usai ramadan, kembali lagi seperti sebelum ramadan di dalam aktivitas spritual dan gaya hidup lainnya. Berubah hanya semasa dalam bulan ramadan saja. Tujuan akhir dari berpuasa untuk menbentuk pribadi bertakwa mengalami gagal total.

Menahan Hawa Nafsu

Yang membedakan manusia dengan malaikat diantaranya adalah manusia memiliki hawa nafsu, yang dengannya mendorong manusia untuk berbuat baik dan juga sebaliknya tergoda untuk melakukan dosa dan maksiat.

Nafsu pada hakikatnya adalah diantara nikmat terbesar yang Allah anugerahkan kepada manusia, yang jika dikelola dengan cahaya keimanan dan tuntutan syariat akan membuahkan hasil  dan dampak yang baik.

Sebaliknya jika memperturutkan kehendak pribadi dan bisikan setan tanpa mengindahkan ketentuan syariat akan terjerumus ke lembah kehinaan dan kenistaan yang akan menyeret pelakunya ke lembah neraka jahanam.

Puasa ramadan adalah momentum untuk tarbiyah (edukasi) umat Islam agar dapat untuk menjaga hawa nafsunya dari perbuatan tercela dan hina, yang meliputi amalan hati, lisan dan aggota tubuh lainnya.

Jadi, yang berpuasa bukan hanya perut dan syahwat dari rasa lapar, dahaga dan libido, tapi juga mesti menjaga dari hati, lisan (ucapan), dan tangan, kaki, mata, telinga, dan hidung dari perbuatan tercela, keji, dan mungkar. Bahkan termasuk menjaga hawa nafsu dari perbuatan yang tidak berguna, sia-sia (lagho), dan main-main.

Hati dan jiwa orang berpuasa harus senantiasa dijaga agar senantiasa ikhlas, tawadhu’, tawakkal (berserah diri total kepada Allah), qona’ah (merasa cukup dengan nikmat yang Allah limpahkan), husnuzhon (berprasangka baik kepada Allah), jujur, yakin, dan amalan hati lainnya.

Amalan hati ini sangat tinggi derajatnya disisi Allah, bahkan nilainya bisa  melampaui amalan lisan dan anggota tubuh. Bahkan ada orang yang dimasukkan ke dalam surga, tanpa ada sedikitpun atau tidak sempat melaksanakan puasa, sholat dan amalan fardhu lainnya, namun hatinya tawakkal bulat dan ikhlas kepada kepada Allah.

Sebaliknya, berapa banyak orang yang sholat, berpuasa bahkan ikut berjihad (berperang di jalan Allah), tapi akhirnya berujung ke neraka. Kenapa? karena dikerjakan tidak dengan ikhlas, justru motivasi utama untuk pamer dan dipuji manusia.

Orang yang berpuasa mesti menahan hawa nafsunya dari ucapan (lisan) yang tidak berguna, sia-sia, apalagi tercela dan tidak terpuji seperti ghibah (gunjing), caci-maki, sumpah-serapah, bohong dan dusta, menyakiti orang lain dengan lisannya (zholim), berkata kasar, dan carut-marut lainnya.

Perakara ini juga sangat sukar dihindari bagi orang yang berpuasa. Bahkan lebih sukar dari menahan lapar dan dahaga. Karena perbuatan tersebut tidak secara otomatis membatalkan puasa secara zhahir, berbeda jika kita makan, minum atau berhubungan syahwat suami-istri, yang langsung batal puasanya.

Terakhir, orang berpuasa harus menahan  anggota badannya dari menyakiti dan berbuat zholim kepada orang lain, apalagi kepada orang-orang terdekat seperti kedua orang tua, adek/kakak, anak, paman/tante, datuk/nenek, sepupu, suami-istri, teman/kolega, tetangga, atasan/bawahan, dan manusia pada umumnya.

Menjaga tangan dan jari dari menulis di media sosial atau media cetak  dengan berita bohong dan dusta (hoax), caci-maki, menghasut, fitnah, merendahkan dan menyakiti orang lain. Menjaga kaki dan tangan dari menzholimi orang lain dan makhluk hidup lainnya. Bahkan menjaga kerdipan mata sinis dan menohok kepada lawan bicara dan orang di hadapan kita.

Bahkan jika hawa nafsu gagal dikendalikan, ibadah puasa dan rangkaian ibadah lainnya di bulan ramadan bisa berakhir dengan kegagalan total (gatot), yang dalam istilah syar’inya adalah muflis (bangkrut). Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa, selain lapar dan dahaga.

Semoga rangkaian ibadah puasa kita di tahun ini dapat lebih meningkat dan mampu untuk mengendalikan hawa nafsu dan perbuatan yang merusak bahkan menghapuskan nilai ibadah puasa kita.

Kita bisa meningkatkan kualitas berpuasa dari puasa awam yang hanya sekedar menahan perut untuk tidak makan dan minum serta menahan kemaluan untuk melampiaskan syahwat, meningkat menjadi puasa khusus dengan menahan pandangan, lidah, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota tubuh dari dosa, dan kalau boleh meningkat lagi puasa khusus bil khusus seperti Rasulululllah dan para sahabatnya yang mulia.

Yang telah mampu untuk mengendalikan jiwa dan hatinya dari hasrat-hasrat yang hina dan pikiran-pikiran yang menjauhkan dari Allah serta menahan diri dari hal-hal selain Allah secara secara keseluruhan.

Selamat menunaikan ibadah puasa di penggal kedua, 10 hari kedua di bulan Ramadan Mubarok 1446 H.  (*)

***

*) Oleh : Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env., Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau, Pekanbaru.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.