TIMES MALANG, MALANG – Bahasa adalah rumah bagi pikiran manusia. Di dalamnya tersimpan cara kita menyebut alam, menamai rasa, hingga merumuskan nilai. Ada bahasa yang lahir dari pantai, penuh istilah tentang gelombang, arus, dan perahu.
Ada bahasa yang tumbuh di pegunungan, kaya kata tentang tanah, ladang, dan musim. Maka, ketika sebuah bahasa hilang, yang runtuh bukan sekadar kumpulan kata, tetapi seluruh dunia yang pernah dipandang dengan kata-kata itu.
Indonesia pernah disebut surga bahasa. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mencatat, negeri ini memiliki 718 bahasa daerah. Jumlah itu menempatkan Indonesia dalam jajaran negara dengan keragaman bahasa terbanyak di dunia.
Namun, kebanggaan itu menyimpan kegelisahan. Sebagian besar bahasa itu kini rapuh, terdesak oleh arus globalisasi, dan sebagian sudah lenyap tanpa sempat kita tangisi.
UNESCO mengingatkan, bahasa bisa dikategorikan dari “aman” hingga “punah”. Di negeri kita, 11 bahasa daerah telah punah. Nama-nama itu Tandia dan Mawes di Papua, Kajeli, Moksela, Hoti, hingga Nila di Maluku-mungkin terdengar asing, bahkan bagi kita yang lahir di negeri ini. Ironinya, justru karena tidak dikenal itulah mereka hilang tanpa suara. Tidak ada headline, tidak ada berita besar, hanya catatan sunyi dalam laporan pemerintah.
Selain itu, ada 25 bahasa yang terancam punah dan 6 bahasa berstatus kritis. Kritis artinya hanya tersisa penutur tua, sementara anak-anak sudah tidak lagi mengenalnya. Bahasa itu ibarat pohon tua di tengah tanah lapang: masih berdiri, tapi cabangnya lapuk, menunggu angin terakhir untuk merobohkannya.
Yang lebih mengkhawatirkan, dari 718 bahasa, baru sekitar 94 yang diteliti vitalitasnya hingga 2019. Artinya, ratusan bahasa lain tidak jelas nasibnya. Bahkan ada hampir 500 bahasa yang belum terdokumentasi dengan baik: tanpa kamus, tanpa rekaman suara, tanpa catatan. Bila penutur terakhir wafat, bahasa itu hilang seperti lilin yang padam dalam gelap, seolah tak pernah ada.
Bahasa sebagai Cermin Identitas
Profesor linguistik sering menyebut bahasa sebagai “rumah bagi identitas”. Bahasa bukan sekadar cara berbicara, tetapi juga cara merasa. Dalam bahasa Minangkabau, pepatah adat bukan permainan bunyi, melainkan filsafat hidup.
Dalam bahasa Jawa, unggah-ungguh membentuk tata krama, mengajarkan bagaimana menghormati dan menjaga jarak. Dalam bahasa Madura, nada lugas dan tegas adalah cermin karakter berani dan egaliter.
Hilangnya bahasa berarti hilangnya cermin itu. Bayangkan jika pepatah lokal tidak lagi dipahami, atau kata-kata untuk menyebut fenomena alam hilang. Yang lenyap bukan hanya kata, tapi juga pengetahuan ekologis, rasa humor khas, bahkan doa yang pernah diucapkan generasi sebelumnya.
Mengapa bahasa-bahasa itu terdesak? Salah satunya karena globalisasi. Bahasa Indonesia sebagai lingua franca memang penting, tetapi dalam praktiknya sering menggeser bahasa daerah.
Banyak orang tua memilih tidak mengajarkan bahasa daerah dengan alasan agar anak cepat fasih berbahasa Indonesia. Di kota-kota, anak-anak lebih sering mendengar bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing, ketimbang bahasa ibu.
Televisi, internet, hingga media sosial semakin memperkuat dominasi bahasa nasional dan global. Sementara bahasa daerah nyaris hanya hidup di ruang privat: percakapan di dapur, obrolan di kampung, atau gurauan nenek kepada cucu. Itupun semakin jarang.
Padahal, penelitian menunjukkan bahwa anak yang tidak diperkenalkan pada bahasa ibu sejak dini akan sulit, bahkan mustahil, menguasainya dengan baik saat dewasa. Bahasa itu tidak sekadar diajarkan, melainkan ditumbuhkan dalam kebiasaan sehari-hari.
Kita memang punya dasar hukum: UU No. 24 Tahun 2009 mengatur pelindungan bahasa daerah. Badan Bahasa juga telah memulai program revitalisasi, dokumentasi, dan pemetaan. Namun harus diakui, langkah itu belum cukup.
Di sekolah, pelajaran bahasa daerah sering dianggap sampingan. Jamnya sedikit, kadang diganti oleh mata pelajaran lain. Di ruang digital, bahasa daerah hampir tak terlihat. Padahal generasi muda hari ini hidup di dunia maya. Jika bahasa daerah tidak hadir di sana, ia akan semakin asing bagi mereka.
Upaya komunitas sudah ada membuat kamus, festival, atau konten bahasa daerah di media sosial. Namun gerakan itu masih sporadis, belum terhubung dengan kebijakan yang kuat.
Antara Malu dan Bangga
Fenomena sosial juga memperparah keadaan. Tidak sedikit anak muda yang merasa malu berbicara bahasa daerah. Dianggap kuno, tidak keren, bahkan kampungan.
Ironisnya, justru peneliti asing yang sibuk mendokumentasikan bahasa kita. Ada akademisi dari Eropa yang lebih fasih menulis aksara Jawa atau meneliti struktur bahasa Bugis daripada penutur asli.
Apakah kita rela melihat bahasa sendiri hilang, sementara orang asing yang menulis sejarahnya? Sebagian orang bertanya, apakah pelestarian bahasa daerah hanya romantisme masa lalu? Jawabannya tidak. Bahasa daerah bukan beban, melainkan modal. Anak-anak bilingual atau multilingual terbukti lebih fleksibel dalam berpikir. Identitas budaya yang kokoh membuat bangsa lebih percaya diri di tengah globalisasi.
Maka ada tiga jalan yang perlu ditempuh. Pertama, pendidikan. Bahasa daerah jangan hanya formalitas, tapi hidup dalam kurikulum kreatif. Anak-anak harus merasa belajar bahasa daerah itu menyenangkan.
Kedua, digitalisasi. Hadirkan bahasa daerah di media sosial, film, musik, bahkan game. Kalau anak muda bisa jatuh cinta pada bahasa Korea lewat K-pop, kenapa tidak pada bahasa kita sendiri lewat konten kreatif.
Ketiga. Bangun kebanggaan kolektif. Lewat festival, karya seni, atau film yang menampilkan bahasa daerah sebagai sesuatu yang keren, bukan kuno.
Bahasa daerah adalah akar. Globalisasi adalah angin besar. Pohon tanpa akar akan tumbang, meski daunnya rimbun. Kita memang butuh bahasa global untuk bersaing.
Tapi tanpa bahasa ibu, kita hanyalah generasi yang melayang tanpa pijakan. Setiap kali satu bahasa hilang, satu jendela dunia tertutup. Maka pertanyaannya bukan lagi apakah kita mau melestarikan bahasa daerah? tetapi apakah kita siap kehilangan jati diri kita sendiri?
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |