TIMES MALANG, JAKARTA – "Ketika pemerintah takut pada rakyat, ada kebebasan. Ketika rakyat takut pada pemerintah, ada tirani" - Thomas Jefferson.
Di negeri dongeng ini, konon katanya kebebasan berpendapat itu dijamin. Katanya sih. Tapi seperti kebanyakan dongeng, realitasnya jauh berbeda. Sebuah negeri yang membangun citra demokrasi, namun tak sanggup menerima suara sumbang dari rakyatnya sendiri. Lucu, bukan?
Beberapa waktu lalu, jagat maya digemparkan oleh sebuah lagu sederhana tentang "Bayar Polisi". Lagu yang lahir dari keresahan masyarakat, dari pengalaman-pengalaman kecil yang sering kali dianggap angin lalu. Namun, begitu lagu ini viral, keadaannya mendadak jadi serius.
Penyanyinya buru-buru membuat video klarifikasi, seperti seseorang yang tertangkap basah mencuri sesuatu yang bukan miliknya. Padahal, yang dia lakukan hanya menyanyikan realitas.
Tak hanya Sukatani, tapi banyak kisah serupa yang telah terjadi. Kritik di media sosial bukan lagi ajang menyuarakan pendapat, melainkan lotre berisiko. Hari ini mengkritik, besok bisa tiba-tiba hilang dari peredaran.
Kalau beruntung, hanya cukup membuat video permintaan maaf. Kalau sial, mungkin bisa kena pasal karet yang ditarik-tarik sesuka hati.
Negeri ini seperti orang tua yang gampang tersinggung kalau anaknya mengeluh. Bayangkan, seorang anak mengadu ke ayahnya tentang uang jajannya yang dipotong, lalu bukannya dijelaskan atau diberi solusi, si anak malah dimarahi dan dihukum.
Begitulah cara kritik bekerja di negeri ini. Kritik bukan dianggap sebagai cermin perbaikan, tapi sebagai duri dalam daging yang harus dicabut secepatnya, dengan segala cara.
Para penguasa ini agaknya lupa bahwa mereka bukan raja. Mereka bukan dewa yang tak boleh disentuh kata-kata pedas. Mereka dipilih untuk melayani, bukan untuk memerintah dengan tangan besi yang terselubung dalam senyum manis dan jargon "demokrasi". Demokrasi yang hanya berlaku kalau kritiknya searah, kalau suaranya tak menyinggung yang berwenang.
Dulu, katanya media sosial adalah ruang bebas berekspresi. Tapi sekarang? Media sosial berubah jadi ranjau. Salah bicara sedikit, bisa meledak sendiri.
Rakyat harus pandai-pandai menyusun kata, memilih diksi, menyelipkan kritik dalam candaan, bahkan mungkin dalam lagu-lagu absurd yang tetap saja akhirnya dianggap ancaman.
Seharusnya, kalau negeri ini benar-benar percaya diri, mereka tak akan takut dengan suara rakyatnya sendiri. Seharusnya, kalau para penguasa yakin sudah bekerja dengan benar, mereka tidak perlu sibuk membungkam.
Tapi anehnya, semakin banyak suara yang dibungkam, semakin kentara ketakutan yang mereka sembunyikan. Seperti raja telanjang yang marah saat anak kecil berkata jujur bahwa dia tidak mengenakan pakaian.
Maka, inilah pesan bagi mereka yang berkuasa: Jika kritik membuat kalian tidak nyaman, mungkin ada yang salah dengan cara kalian bekerja.
Jika lagu sederhana bisa membuat kalian ketar-ketir, mungkin yang kalian bangun bukanlah kepercayaan, melainkan tembok rapuh yang mudah runtuh oleh nyanyian kecil sekalipun.
Rakyat itu bukan musuh. Kritik itu bukan ancaman. Justru ketika orang-orang masih mau bersuara, itu pertanda negeri ini belum benar-benar mati. Yang harus kalian takutkan bukanlah lagu atau cuitan, tapi saat semua orang diam. Sebab, ketika rakyat sudah tak peduli, di situlah awal kehancuran dimulai.
Pada akhirnya, mungkin para penguasa perlu kursus keahlian baru: cara menebalkan telinga tanpa menipiskan dompet rakyat. Sebab, kalau kritik sekecil ini saja bikin gemetaran, bagaimana kalau kelak rakyat benar-benar menyanyikan lagu yang lebih keras?
***
*) Oleh : Moh. Mudhoffar Abdul Hadi, Penulis lepas.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |