https://malang.times.co.id/
Opini

Reformasi Polri dan Tuntutan Demokrasi Sipil

Selasa, 30 September 2025 - 20:37
Reformasi Polri dan Tuntutan Demokrasi Sipil Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

TIMES MALANG, MALANG – Pembahasan tentang reformasi Polri kembali mengemuka dalam ruang publik. Bukan tanpa alasan, berbagai peristiwa yang menyangkut kinerja, profesionalitas, hingga praktik kekuasaan aparat kepolisian menimbulkan pertanyaan mendasar. 

Apakah institusi Polri sudah berjalan sesuai semangat reformasi 1998, atau justru kembali ke pola lama yang penuh dominasi, represif, dan jauh dari kontrol sipil? 

Pertanyaan ini penting karena Polri adalah salah satu institusi vital dalam menjaga stabilitas negara, tetapi sekaligus berpotensi melanggar prinsip demokrasi bila tidak diawasi dengan benar.

Secara historis, reformasi kepolisian menjadi salah satu agenda besar pascareformasi 1998. Pemisahan Polri dari TNI pada tahun 2000 melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dimaksudkan agar Polri menjadi institusi sipil yang profesional, humanis, dan menghormati hak asasi manusia. 

Polri diharapkan tidak lagi berperan sebagai alat kekuasaan yang menakutkan masyarakat, tetapi hadir sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan rakyat. Visi ini sejalan dengan prinsip demokrasi modern, di mana aparat keamanan tunduk pada supremasi hukum dan akuntabilitas publik.

Namun, dua dekade lebih berlalu, problematika reformasi Polri belum selesai. Masyarakat masih sering menyaksikan praktik kekerasan aparat dalam penanganan unjuk rasa, kriminalisasi terhadap aktivis, hingga kasus penyalahgunaan wewenang yang melibatkan oknum polisi. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa reformasi Polri bukan sekadar urusan regulasi kelembagaan, melainkan juga soal budaya organisasi, integritas moral, dan konsistensi terhadap nilai sipil. Jika aspek budaya dan nilai ini diabaikan, Polri akan tetap terjebak pada wajah lama: aparat yang lebih menakutkan daripada menenteramkan.

Reformasi Polri harus dilihat sebagai agenda demokrasi sipil, bukan semata restrukturisasi internal. Negara demokratis menempatkan aparat kepolisian sebagai lembaga yang berada di bawah kontrol sipil (civilian oversight). Artinya, setiap tindakan kepolisian harus bisa dipertanggungjawabkan, baik secara hukum maupun secara moral, di hadapan rakyat. 

Di banyak negara, mekanisme pengawasan eksternal baik melalui parlemen, lembaga independen, maupun masyarakat sipil berfungsi untuk memastikan bahwa polisi tidak menyalahgunakan kewenangannya. Indonesia pun membutuhkan mekanisme yang lebih kuat dan independen agar Polri tidak hanya diawasi dari dalam, melainkan juga dari luar.

Salah satu masalah utama adalah sentralisasi kekuasaan di tubuh Polri. Struktur hierarkis yang sangat vertikal sering kali membuat pengambilan keputusan bersifat top-down dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat di daerah. 

Di sisi lain, kewenangan Polri yang begitu luas, mulai dari fungsi keamanan, lalu lintas, hingga intelijen, membuatnya menjadi institusi superbody yang sulit dikontrol. Di sinilah relevansi reformasi Polri: bagaimana mendesain institusi yang kuat tetapi tetap terbatas, berwibawa tetapi tidak sewenang-wenang.

Keterbukaan dan transparansi adalah kata kunci. Polri harus mampu membuka akses informasi publik, menjelaskan dasar setiap tindakan, dan menumbuhkan budaya melayani. Dalam konteks digital, di mana masyarakat semakin kritis dan mudah mengakses informasi, Polri tidak bisa lagi berlindung di balik jargon “rahasia penyelidikan” untuk menutupi kelemahan atau kesalahan prosedural. Keterbukaan bukanlah kelemahan, tetapi justru tanda kekuatan dan kedewasaan institusi.

Selain itu, reformasi Polri menuntut perubahan paradigma rekrutmen dan pendidikan. Jika Polri ingin benar-benar menjadi institusi sipil, maka setiap kader polisi harus dididik dengan semangat demokrasi, penghormatan terhadap HAM, dan etika pelayanan publik. 

Pendidikan yang terlalu militeristik dan menekankan loyalitas buta harus ditransformasikan menjadi pendidikan yang menumbuhkan daya kritis, empati, dan kesadaran sipil. Polisi bukan tentara yang berhadapan dengan musuh, tetapi warga negara yang melayani sesama warga negara.

Masyarakat sipil juga memiliki peran besar dalam reformasi Polri. Tanpa tekanan publik, wacana reformasi akan berhenti pada level retorika belaka. Organisasi masyarakat, akademisi, dan media harus terus mengawasi, mengkritisi, sekaligus menawarkan solusi. 

Kritik tidak boleh dimaknai sebagai permusuhan, melainkan sebagai mekanisme demokrasi agar Polri tetap berada pada jalurnya. Polri yang sehat adalah Polri yang tahan terhadap kritik, bukan yang alergi terhadap sorotan publik.

Pertanyaan penting lainnya adalah soal independensi Polri dari kepentingan politik. Selama ini, godaan terbesar Polri adalah terjebak dalam pusaran kekuasaan, baik pada level nasional maupun lokal. Relasi antara elite politik dan institusi kepolisian sering kali menciptakan konflik kepentingan yang merugikan rakyat. 

Reformasi Polri harus memastikan bahwa institusi ini netral secara politik, bekerja berdasarkan hukum, bukan kepentingan penguasa. Netralitas inilah yang akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri.

Ke depan, reformasi Polri harus diletakkan dalam kerangka memperkuat demokrasi sipil. Polri harus dipahami bukan sebagai instrumen kekuasaan, melainkan sebagai bagian dari masyarakat sipil yang diberi mandat menjaga keamanan dan ketertiban. 

Reformasi bukan berarti melemahkan Polri, melainkan justru menguatkan melalui transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan publik. Hanya dengan cara ini, Polri dapat kembali mendapatkan legitimasi sebagai “rastra sewakottama” abdi utama bangsa.

Reformasi Polri adalah ujian bagi kedewasaan demokrasi Indonesia. Apakah kita mampu membangun institusi keamanan yang modern, akuntabel, dan humanis, atau kita akan terus terjebak dalam lingkaran lama yang penuh kecurigaan dan ketidakpercayaan. 

Jalan reformasi memang panjang dan penuh tantangan, tetapi tanpa itu, cita-cita Indonesia sebagai negara demokratis yang berkeadilan hanya akan menjadi slogan kosong.

***

*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.