TIMES MALANG, MALANG – Kian hari, kegeraman publik terhadap institusi kepolisian makin memuncak. Bagaimana tidak, penegakan hukum oleh kepolisian selama ini tidak pernah memuaskan, bahkan jauh dari yang diharapkan publik.
Ketika ada laporan atau aduan ke kepolisian, tindak lanjutnya sangat lambat, bahkan tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. Tidak heran, tagar “no viral, no justice” terus menggema di media sosial sebagai bentuk kritik tajam terhadap kinerja kepolisian.
Publik makin mengerti ada permasalahan sistemik dalam institusi kepolisian, yang artinya ada beragam persoalan baik dari segi struktural maupun kultural, termasuk pula persoalan regulasi undang-undang kepolisian itu sendiri. Artinya ini bukan soal oknum, tapi menyeluruh secara institutional.
Persoalan sistemik ini menandakan perlunya dilakukan reformasi terhadap institusi kepolisian, bukan secara parsial. Sebab, ini menyangkut keberlangsungan negara yang mengedepankan prinsip negara hukum, serta menghendaki adanya tertib hukum dan menciptakan keamanan masyarakat.
Lagu berjudul “Bayar Bayar Bayar” yang dibawakan musikalis Sukatani (2023) menggambarkan institusi kepolisian memang tidak pernah beres, dan justru tergambar sebagai institusi korup. Lagu itu setidaknya menggambarkan bahwa setiap persoalan publik yang melibatkan polisi acapkali tidak jauh dari yang namanya “uang”.
Misalnya, budaya suap menyuap, korupsi, dan pungutan liar. Wajar saja publik berkesimpulan, di internal kepolisian nampaknya tumbuh budaya buruk semacam itu.
Namun, lagu itu nampaknya juga menjadi objek represivitas Polda Jawa Tengah pasca adanya permintaan maaf dari musikalis. Bukankah di negara demokrasi sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui karya seni?
Polisi Alat Kekuasaan
Besarnya anggaran negara yang dikucurkan terhadap Polri dan tingginya tuntutan profesionalisme, nyatanya tidak berbanding lurus dengan kinerja polisi yang berkualitas. Justru sebaliknya, keberadaan kepolisian terasa tidak ada dampak yang begitu signifikan menguntungkan publik.
Puncak ketidakpercayaan publik terhadap polisi ketika banyak persoalan yang dihadapi masyarakat justru dilaporkan kepada Pemadam Kebakaran (Damkar). Situasi ini menggambarkan ada masalah yang sungguh kronis di institusi kepolisian karena tingkat kepercayaannya makin rendah.
Kinerja polisi yang buruk dalam melayani masyarakat diperparah dengan beragam aksi represivitas saat demonstrasi. Sesungguhnya, ketika terjadi demonstrasi, publik sedang berhadapan dengan penguasa, bukan polisi. Namun realitas keadaan menunjukkan polisi seolah-olah menjadi tameng penguasa untuk berhadapan langsung menghalau rakyat.
Tameng-tameng polisi saling menghadang rakyat, gas air mata ditembakkan dari berbagai penjuru, dan rakyat dipukuli secara membabi-buta. Bukankan tindakan polisi semacam ini sama persis dengan kultur ABRI di rezim Orde Baru?
Peristiwa hari-hari ini kian menunjukkan, institusi kepolisian makin jauh dari yang diharapkan pasca reformasi 1998 melalui pemisahan ABRI. Kebijakan Gus Dur yang mengisyaratkan supaya TNI kembali ke barak, dan polisi supaya hadir di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan perlindungan dan pengayoman, nampaknya mulai kehilangan relevansinya dalam praktik.
Alih-alih menjadi institusi yang humanis dan profesional dalam melayani masyarakat, kepolisian justru semakin sering terlibat dalam berbagai skandal yang mencoreng citranya sendiri. Misalnya yang terbaru kasus pemerasan WNA pada kegiatan DWP.
Kasus-kasus kekerasan berlebihan, penyalahgunaan wewenang, hingga dugaan keterlibatan aparat dalam berbagai jaringan gelap menunjukkan bahwa reformasi di tubuh kepolisian masih jauh dari harapan. Itulah mengapa, reformasi kepolisian sangat mendesak dilakukan.
Revolusi Mentalitas
Kepercayaan publik terhadap Polri kian merosot, bukan hanya karena oknum, tetapi juga akibat kegagalan institusi dalam menegakkan disiplin dan akuntabilitas di internalnya. Alih-alih menjadi pengayom, polisi sering kali terlihat lebih dekat dengan kepentingan elite ketimbang rakyat.
Tanda yang nyata saat ini adalah banyaknya jenderal-jenderal polisi yang menduduki jabatan publik yang harusnya tidak dijabat polisi. Sungguh ini benar-benar persis dengan rezim Orde Baru.
Masih teringat dengan pemukulan masyarakat Wadas di Jawa Tengah dan Rempang di Kepulauan Riau. Masyarakat benar-benar dihadapkan pada barisan polisi yang saat itu menjadi benteng kekuasaan. Masyarakat pun menjadi objek represif.
Lantas, bagaimana seharusnya institusi ini berbenah? Revolusi mental dalam tubuh kepolisian tak bisa sekadar menjadi jargon. Pada awal 2014, Jokowi sempat menggelorakan jargon “revolusi mental”, tapi saat itu tidak diikuti dengan merevolusi mentalitas polisi.
Perlunya menerapkan revolusi mental kepolisian dimulai dari reformasi struktural, pengawasan yang ketat, serta perombakan budaya birokrasi yang masih sarat feodalisme dan impunitas. Setidaknya, dalam beberapa tahun kedepan, moratorium perekrutan polisi harus diterapkan. Sebab jumlah polisi saat ini terlampau banyak tanpa disertai kualitas memadai dan berintegritas tinggi.
Meski ada data yang menyebut jumlah polisi saat ini belum mencapai target, harus ada prioritas untuk memperbaiki mentalitas, intelektualitas, dan moralitas kepolisian. Ini mendesak karena tanpa perbaikan fundamental, penambahan jumlah personel hanya akan memperbanyak masalah, bukan menyelesaikannya. Polisi yang direkrut dalam sistem yang masih bobrok justru berisiko melanggengkan kultur kekerasan, korupsi, dan ketidakprofesionalan.
Revolusi mental di tubuh kepolisian harus dimulai dari perubahan pola rekrutmen dan pendidikan. Alih-alih mengejar kuantitas, fokus harus diberikan pada peningkatan kualitas dengan seleksi yang ketat, serta tata kerja organ kepolisian yang berbasis meritokrasi. Pendidikan kepolisian juga harus berorientasi pada perlindungan HAM dan profesionalisme, bukan sekadar doktrin kepatuhan dan gaya militeristik tanpa berpikir kritis.
Political Action
Orientasi perbaikan institusi kepolisian juga harus dibangun melalui mekanisme politik oleh pemangku kebijakan. Melalui perangkat regulasi, mekanisme pengawasan eksternal terhadap kepolisian harus diperkuat.
Selama ini, kontrol terhadap kepolisian lebih dominan bersifat internal seperti Pengamanan Internal (Paminal), Profesi dan Pengamanan (Propam), hingga Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum). Pengawasan internal itu tidak sepenuhnya efektif karena prosesnya yang acapkali tidak objektif, bahkan rentan dimanipulasi untuk transfer kepentingan.
Pendekatan politik harus menjadi instrumen utama dalam mendorong reformasi kepolisian. Political will dan political action dari pemerintah dan parlemen harus diarahkan untuk membangun mekanisme pengawasan eksternal yang lebih efektif. Tanpa tekanan dari luar, sulit membayangkan kepolisian bersedia mereformasi dirinya sendiri secara sukarela.
Keberadaan Kompolnas maupun Ombudsman perlu diperkuat dengan kewenangan yang lebih luas, termasuk dalam memberikan sanksi terhadap pelanggaran aparat. Bahkan checks and balances antar institusi penegak hukum seperti Kejaksaan dan Pengadilan harus diperkuat.
Momentum pembaruan KUHAP yang saat ini sedang diupayakan DPR harus merespon persoalan sistemik di institusi kepolisian. Salah satu isu krusial yang harus diusung dalam pembaruan KUHAP adalah pengawasan penyidikan polisi.
Karena selama ini praktik penyidikan oleh polisi cenderung superpower tanpa pengawasan yang memadai dari jaksa. Padahal jaksa adalah pengendali perkara pidana (dominus litis) yang berwenang melakukan penuntutan.
Reformasi kepolisian tidak bisa hanya bergantung pada perubahan dari dalam institusi itu sendiri. Sebagai institusi yang telah lama menikmati status quo, kepolisian cenderung resisten terhadap perubahan yang dapat mengancam kenyamanan struktural mereka.
Jika dibiarkan, harapan untuk reformasi hanya akan menjadi ilusi belaka. Sesungguhnya kalau mencermati perkembangan RKUHAP, resistensi Polri mengenai perubahan struktural sangat terasa.
Selama ini, perubahan di tubuh kepolisian berjalan stagnan. Pergantian kepemimpinan hanya menghasilkan kebijakan seremonial tanpa perubahan fundamental. Situasi ini semakin membuktikan bahwa reformasi sejati hanya bisa terjadi jika ada campur tangan politik yang tegas dan terukur.
Jika tidak ada langkah konkret dari kekuatan eksternal, kepolisian hanya akan terus berkutat dalam lingkaran krisis yang sama. Alih-alih menjadi institusi yang profesional dan berorientasi pada kepentingan publik, kepolisian akan tetap menjadi alat kekuasaan yang tidak tersentuh oleh akuntabilitas.
Sekali lagi, reformasi struktural dan kultural institusi kepolisian sangatlah mendesak. Apabila reformasi itu tidak segera dilakukan, maka kepolisian hanya akan semakin jauh dari prinsip demokrasi konstitusional dan prinsip perlindungan hak asasi manusia.
Kepercayaan publik yang terus merosot bukan sekadar krisis citra, tetapi ancaman serius bagi legitimasi institusi yang seharusnya menjadi pilar utama penegakan hukum.
***
*) Oleh : Endrianto Bayu Setiawan, Magister Hukum Tata Negara, Asisten Peneliti Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |