TIMES MALANG, SURABAYA – Apa yang sesungguhnya ditawarkan sebuah film animasi anak-anak? Sekadar hiburan, atau sesuatu yang lebih dalam dan menjanjikan? Di tengah semarak Lebaran 2025, film Jumbo meluncur ke layar bioskop Indonesia, tidak hanya menyuguhkan petualangan seru, tetapi juga membuka ruang tafsir baru bagi masa depan ekonomi kreatif digital di tanah air.
Popularitasnya tidak hanya ditopang oleh visual yang memikat atau alur yang menghibur, melainkan karena ia menyentuh sesuatu yang lebih esensial, yaitu: daya cipta, keberanian, dan kekuatan kolaborasi yang melekat dalam cerita. Don, bocah sepuluh tahun yang gemar membaca dongeng dan menjelajahi semesta imajinasi.
Film ini mengisahkan lebih dari sekadar petualangan. Ia memancarkan getaran masa depan. Getaran dari industri yang berbasis ide, bukan komoditas; yang mengandalkan kreativitas, bukan ekstraksi.
Dalam dunia yang dibangun oleh Don dan tokoh-tokoh rekaan di film Jumbo itu, kita diajak untuk mengkaji ulang nilai-nilai dalam ekonomi digital. Jumbo menjadi inspirasi bahwa dongeng, yang kaya akan imajinasi itu, ketika dipertemukan dengan visi dan teknologi, bisa menjelma menjadi ekosistem bisnis yang berkelanjutan.
Ketika dunia usaha tidak hanya berfokus pada angka dan pasar, tetapi juga pada imajinasi serta keberanian untuk menggugat pakem lama, kita mengingat kembali konsep inovasi disruptif yang pertama kali diperkenalkan oleh Clayton Christensen.
Inovasi disruptif, menurut Christensen, tidak selalu datang dari teknologi yang paling mutakhir, tetapi sering kali lahir dari cara baru yang lebih inklusif dalam menjawab kebutuhan manusia.
Dalam konteks ini, Jumbo lebih dari sekadar sebuah produk animasi; ia merupakan benih dari potensi gangguan kreatif yang mampu mengubah lanskap bisnis digital Indonesia. Dengan menggabungkan seni, teknologi, dan semangat inovasi, film ini menawarkan paradigma baru tentang cara bisnis digital berkembang.
Melalui pendekatan empatik yang diadopsi dalam desain berpikir (design thinking), film Jumbo dengan tokoh utamanya Don, tidak hanya menjadi sosok luar biasa karena kekuatan supernya, melainkan karena kepekaan dan imajinasinya dalam memahami dunia, di dalam film itu.
Nilai ini sejalan dengan prinsip dasar inovasi digital saat ini: bahwa produk yang sukses bukanlah yang paling canggih, tetapi yang paling mampu memenuhi kebutuhan manusia secara autentik.
Jika dipandang lebih jauh, Jumbo memiliki potensi untuk berkembang menjadi pusat semesta kreatif digital. Tersirat peluang untuk membangun aplikasi interaktif di mana anak-anak tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga ikut mencipta: memilih alur cerita, menyuarakan karakter, dan menciptakan avatar mereka sendiri.
Teknologi seperti AI dan XR (extended reality) dapat menjadi fasilitator, bukan pengganti, dalam merawat dan memperluas ruang imajinasi ini. Inilah kekuatan Jumbo, ia tidak berhenti di layar, melainkan membuka lanskap baru industri kreatif yang hidup dan berkembang.
Lebih jauh lagi, film ini bisa menjadi batu loncatan bagi berbagai produk kreatif lainnya. Mulai dari permainan edukatif, buku cerita digital, hingga merchandise unik, serta ruang komunitas daring yang menghubungkan anak-anak dan pendamping dewasa.
Dengan pendekatan inklusif dan partisipatif, Jumbo berpotensi menciptakan ekosistem bisnis yang tidak hanya bernilai ekonomi tinggi, tetapi juga memperkaya interaksi sosial dalam dunia digital.
Kesuksesan film ini tercermin jelas dalam capaian yang luar biasa. Dalam unggahan di akun resmi @visinemaID, per 13 April 2025, Jumbo telah menembus 3 juta penonton sejak dirilis pada 31 Maret 2025, sebuah tonggak penting bagi film animasi lokal.
Ini bukan hanya catatan angka, melainkan penanda bahwa publik menyambut dan merayakan hadirnya karya anak bangsa yang autentik dan penuh daya cipta. Jumbo menunjukkan potensi besar dari ekonomi industri kreatif digital Indonesia, termasuk sebagai ekspor non ekstraktif yang sangat menjanjikan di tengah tantangan global yang kian kompleks.
Dalam perjalanan industri animasi dunia, kita mengenang Coco dari Pixar di Amerika Serikat dan Spirited Away dari Studio Ghibli di Jepang. Dua karya yang bukan hanya menyabet penghargaan internasional, tetapi juga berhasil membangun jembatan budaya dan ekonomi melalui kekuatan cerita dan visual.
Di tanah air, film Nussa menjadi tonggak penting yang menunjukkan bahwa animasi lokal mampu bersuara di tengah lanskap global. Kini, film Jumbo hadir, berdiri dalam antrean yang menjanjikan itu; bukan sebagai tiruan, tetapi sebagai narasi otentik dari Indonesia. Ia bukan sekadar tontonan, melainkan undangan: untuk membayangkan masa depan yang ditenun dari imajinasi, teknologi, dan kekayaan identitas kita sendiri.
Namun, yang paling menyentuh dari film ini bukan hanya kemajuan teknologinya, melainkan kemampuan film tersebut untuk menumbuhkan rasa empati. Di dalam Jumbo, Don tidak mencapai keberhasilan dengan mengalahkan musuh, tetapi dengan membangun kepercayaan dan menyentuh sisi manusiawi setiap karakter.
Jumbo membuktikan bahwa sebuah film bukan hanya cerita di layar, tetapi juga benih yang menumbuhkan lanskap baru dalam ekosistem digital Indonesia. Hal ini menegaskan arah ideal bagi pengembangan teknologi digital masa depan, yang artinya: bukan hanya untuk menciptakan efisiensi, tetapi untuk mempererat hubungan antar manusia.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sherry Turkle, dalam dunia yang semakin cepat terhubung melalui digital, kita berisiko kehilangan kedalaman dalam koneksi emosional yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, setiap inovasi digital, terutama yang menyasar anak-anak dan keluarga, harus berlandaskan pada nilai-nilai empati, keberanian, dan kolaborasi; nilai-nilai yang mampu menjaga ikatan kemanusiaan di tengah era digital ini.
Jumbo adalah bukti bahwa karya lokal dapat menjadi sumber inspirasi global. Dengan visi yang tepat, kisah sederhana dapat melahirkan ekosistem digital yang kaya dan berkelanjutan.
Bagi para konten kreator, Jumbo mengingatkan bahwa imajinasi adalah aset ekonomi. Bagi pebisnis, ini adalah prototipe model bisnis digital masa depan yang menggabungkan narasi, teknologi, dan komunitas.
Bagi para pendidik dan perancang kebijakan, Jumbo mengirimkan pesan bahwa masa depan ekonomi kita dapat ditopang tidak hanya oleh komoditas tambang, beton dan baja, tetapi juga oleh cerita-cerita yang menggerakkan, menyentuh, dan memberi harapan, seperti film Jumbo ini.
Dengan kemajuan AI, kita memasuki babak baru dalam dunia bisnis digital, di mana kreativitas tidak hanya didorong oleh imajinasi, tetapi juga oleh teknologi yang memungkinkan kita menciptakan ekosistem yang lebih inklusif, responsif, dan transformatif.
Seperti Don dalam Jumbo, kita hanya perlu berani membuka pintu kecil imajinasi; dan dari layar itu, sebuah lanskap baru yang lebih inklusif, imajinatif, dan berkelanjutan bisa terbuka lebar.
***
*) Oleh : Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen FEB UNESA, Penulis Buku Manajemen Industri Kreatif dan Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |