TIMES MALANG, JAKARTA – Apa yang terjadi di parlemen belakangan ini menjadi gambaran bahwa proses pembentukan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering kali mengabaikan esensi kesakralan dalam pembahasan dan pengesahannya.
Terbaru, DPR mewacanakan pemberian konsesi tambang untuk kampus melalui revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Wacana ini memicu kecurigaan publik sebagai strategi untuk meredam kritik dari kalangan mahasiswa dan akademisi terhadap pemerintah.
Selain itu, pembahasan rancangan undang-undang ini dinilai berjalan begitu cepat. Berbagai laporan media menyebutkan bahwa pembahasannya hanya memerlukan satu hari rapat. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan salah satu anggota Badan Legislasi (Baleg) yang mengaku baru menerima naskah akademik (NA) 30 menit sebelum rapat dimulai.
Situasi ini menunjukkan bahwa tahapan-tahapan krusial dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tidak mendapat perhatian yang semestinya.
Padahal, dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, telah ditegaskan bahwa prinsip utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mencakup kejelasan tujuan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, serta keterbukaan.
Budaya Legislasi yang Serampangan
Fenomena perancangan undang-undang secara terburu-buru bukanlah hal baru dalam praktik legislasi di Indonesia. Sepanjang 2024, berbagai undang-undang disahkan dengan minim transparansi dan partisipasi publik.
Misalnya, persetujuan pengesahan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang dilakukan dalam rapat tertutup di luar masa persidangan.
Praktik serupa juga ditemukan dalam pengesahan undang-undang lainnya. Beberapa contoh mencakup:
Pertama, Rancangan Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden (RUU Watimpres) yang disahkan dalam satu hari.
Kedua, Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dibahas dalam semalam.
Ketiga, Pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang berlangsung dalam tempo singkat (The Conversation).
Meskipun objek dari setiap undang-undang berbeda, pola penyusunan yang serampangan tetap berulang. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan untuk menormalkan praktik legislasi yang minim akuntabilitas.
Jika budaya ini terus berlanjut, DPR harus menyadari bahwa lembaga ini menjadi aktor utama dalam merusak esensi undang-undang serta legitimasi hukum di Indonesia.
Minim Partisipasi Publik dalam Legislasi
Rancangan dan pelaksanaan undang-undang yang terburu-buru bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi juga cerminan dari dominasi aktor politik tertentu dalam sistem legislatif. Banyak keputusan terkait rancangan undang-undang dibuat tanpa keterlibatan publik dan sengaja dilakukan tertutup.
Alasan utamanya, publik dianggap tidak relevan atau justru dianggap sebagai hambatan bagi kepentingan politik tertentu. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Thomas R. Dye (1972).
Padahal, untuk memastikan bahwa suatu undang-undang dapat diterima dan diakui oleh masyarakat, DPR seharusnya melibatkan publik dalam setiap tahapannya-mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga sosialisasi. Jika keterlibatan publik diperkuat, maka kecurigaan terhadap agenda politik di balik pembentukan undang-undang dapat diminimalkan.
Menjadikan Legislasi Lebih Transparan
Budaya “kebut semalam” dalam penyusunan undang-undang harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan DPR. Sebab, ini bukan sekadar “soal berat yang dilakukan dengan cara halus", tetapi lebih kepada bagaimana sebuah keputusan yang berdampak jangka panjang seharusnya dipersiapkan dengan matang, bukan disusun dalam waktu singkat.
Parlemen perlu menyadari bahwa undang-undang yang disusun secara tergesa-gesa tidak hanya berisiko cacat hukum, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Oleh karena itu, pembenahan mendasar dalam proses legislasi harus segera dilakukan agar prinsip demokrasi dan kepentingan masyarakat benar-benar menjadi prioritas dalam setiap kebijakan yang dihasilkan.
***
*) Oleh : Moh Gufron, Founder of Komunalis.com.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |