TIMES MALANG, BANDUNG – Indonesia sedang dihadapkan pada pilihan sulit. Di satu sisi, anggaran negara harus dihemat agar defisit tak membengkak. Di sisi lain, pemotongan anggaran di sektor-sektor kritis dapat membawa dampak panjang yang justru merugikan. Sektor-sektor kritis tersebut antara lain infrastruktur dan belanja pemerintah (government expenditure).
Infrastruktur: Bukan Hanya Soal Aspal dan Beton
Bayangkan jika seorang pedagang di Sulawesi yang harus mengirim barang ke Jawa. Jalan berlubang, pelabuhan tak memadai, atau bandara yang kerap delay pasti membuat ongkos logistik membengkak.
Data BPS mencatat, sektor konstruksi dan infrastruktur menyumbang 7,46 persen terhadap PDB di triwulan III-2024. Angka ini tak hanya tentang proyek megah, tapi juga tentang jutaan orang yang bergantung padanya: dari tukang bangunan, sopir truk, hingga pedagang di warung makan dekat proyek.
Tahun ini, pemerintah berencana melakukan efisiensi anggaran infrastruktur jika hal ini terjadi, berbagai proyek infrastruktur yang sebelumnya direncanakan akan dibangun bisa tertunda.
Dampaknya? Daerah yang sudah tertinggal makin sulit mengejar ketertinggalan. BPS mencatat, kontribusi terhadap PDB nasional untuk kelompok provinsi di Pulau Sulawesi hanya 7,23 persen pada triwulan III-2024. Tanpa infrastruktur yang memadai, angka ini bisa stagnan.
Yang lebih mengkhawatirkan, investor swasta pun mulai ragu. "Kalau pemerintah saja tak serius, mengapa kami harus mengambil risiko?" kira-kira begitu pertanyaan yang muncul di benak pelaku usaha.
Anggaran Perjalanan Dinas: Bukan Cuma Tentang Tiket Pesawat
Anggaran perjalanan dinas sering dianggap sebagai "celah pemborosan". Memang, tak bisa dipungkiri ada oknum yang menyalahgunakannya. Tapi, memotong secara gegabah justru bisa berbalik bumerang.
Tanpa anggaran perjalanan dinas, bagaimana dapat memastikan konstruksi satu proyek pembangunan infrastruktur berjalan sesuai rencana? Jika proyek gagal karena minim pengawasan, kerugiannya bisa lebih besar daripada anggaran penghematan yang menjadi target pemerintah.
Selain itu, ada rantai ekonomi di balik anggaran perjalanan dinas. Sopir taksi bandara, pedagang di restoran dekat hotel, hingga persewaan ruang rapat, hotel dan akomodasi lainnya, semua bergantung pada aktivitas ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa dari sisi produksi, lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi pada triwulan III-2024 yakni sebesar 9,29 persen.
Untuk lapangan usaha transportasi dan pergudangan mengalami pertumbuhan 8,96 persen. Dari sisi konsumsi, pengeluaran Konsumsi Pemerintah juga menunjukkan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Efisiensi Vs Stagnasi
Penghematan infrastruktur dan anggaran perjalanan dinas ibarat mengurangi makan agar tabungan tak habis. Tapi, jika asupan gizi dikurangi, tubuh lama-lama akan lemas, begitu pula dengan ekonomi.
Ketimpangan makin melebar, Pulau Jawa pada triwulan III-2024 masih mendominasi dengan kontribusi terhadap PDB nasional sebesar 56,84 persen. Jika proyek infrastruktur di luar Jawa dipangkas, gap ini akan semakin melebar. Desa-desa di NTT atau Maluku yang menanti listrik dan jalan aspal mungkin harus menunggu lebih lama lagi.
Birokrasi jadi lamban, bayangkan saat bencana alam terjadi, tapi tim penilai dampak tak bisa turun ke lokasi karena anggaran perjalanan dinas dipotong. Alih-alih hemat, pemerintah malah harus mengucurkan anggaran darurat yang lebih besar.
Daya saing terancam, dalam laporan World Economic Forum (2023), kualitas infrastruktur Indonesia masih kalah dari Malaysia dan Thailand. Jika anggaran dipangkas, bagaimana kita bisa menarik investor asing? Jangan heran jika investor memilih membangun pabrik pabrik di Vietnam atau India.
Solusi Alternatif
Jangan asal potong, pilah dengan bijak, daripada memotong semua proyek infrastruktur, tunda yang belum mendesak. Misalnya, pembangunan gedung pemerintahan baru bisa ditunda, sementara jalan penghubung kawasan industri harus diprioritaskan.
Teknologi bisa jadi sekutu, rapat koordinasi atau pelatihan bisa dialihkan menjadi daring. Tapi untuk inspeksi lapangan, anggaran harus tetap ada. Perketat pengawasan untuk memastikan anggaran tak diselewengkan.
Daripada memotong anggaran produktif, kejar sumber pendapatan baru. Misalnya, pajak platform digital yang masih sering terlewat, atau optimalisasi aset negara yang mangkrak.
Ajak pihak swasta bermain, proyek seperti PLTS atau jalan tol bisa dikerjakan bersama swasta melalui skema KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha). Pemerintah tak perlu menguras APBN, swasta dapat untung, masyarakat dapat infrastruktur.
Jangan Jadikan Penghematan sebagai Tameng
Penghematan anggaran itu perlu, tapi jangan dijadikan tameng untuk menghindar dari tanggung jawab membangun negeri. Data BPS mengingatkan kita: pertumbuhan ekonomi Indonesia masih rentan. Jika infrastruktur dan birokrasi dibiarkan terseok, kita hanya akan jadi penonton di rumah sendiri saat negara lain berlari.
Yang diperlukan sekarang bukan sekadar penghematan, tapi kecerdasan memilah. Potong yang tak perlu, pertahankan yang vital, dan carilah sumber pendapatan kreatif. Jika hal ini diabaikan, yang kita petik bukanlah efisiensi, melainkan stagnasi dan sejarah membuktikan: stagnasi adalah awal dari kemunduran.
***
*) Oleh : Rr. Vincie Apriany, SST., Statistisi Madya BPS Kabupaten Bandung.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |