https://malang.times.co.id/
Opini

Fenomena Femisida dan Absennya Negara

Senin, 09 Juni 2025 - 11:38
Fenomena Femisida dan Absennya Negara Cholif Rahma Febriana, Mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Kasus pembunuhan Mama Hertina Murip yang terjadi di Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua pada bulan Mei lalu menambah daftar panjang tragedi femisida yang terjadi di Indonesia. 

Pada tahun 2023 hingga 2024 saja, setidaknya ada 290 kasus pembunuhan terhadap Perempuan berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional-Anti Kekerasan Terhadap Permepuan (Komnas Perempuan). 

Bahkan pada awal tahun 2025, Komnas Perempuan juga merilis pernyataan sikap bahwa Indonesia Darurat Femisida dan mendorong terbentuknya Mekanisme Pengawasan Femisida (Femicide Watch). 

Hal ini didorong oleh kasus kematian jurnalis perempuan yang jasadnya ditemukan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pada 22 Maret 2025. 

Femisida bukan sekedar penghilangan nyawa individu, tetapi juga menunjukkan bagaimana absennya negara dalam memberikan perlindungan maupun ruang aman kepada Perempuan; sehingga hak-hak mereka gagal untuk dipenuhi. 

Ketika Kamu Dibunuh Hanya Karena Kamu Perempuan

Mengutip UN Women, femisida merupakan pembunuhan yang disengaja terhadap perempuan dan anak perempuan yang didorong oleh motif berbasis gender. Tidak seperti pembunuhan umum, hal ini bermula dari diskriminasi, kekuasaan yang tidak setara (hegemoni, misogini, superioritas, dll), dan norma gender yang merugikan. 

Sebagai bentuk kekerasan paling ekstrem terhadap perempuan, femisida dikaitkan dengan pelanggaran lain seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, dan perdagangan manusia.

Femisida, khususnya yang menargetkan pembela hak asasi manusia perempuan, juga terus terjadi dengan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender yang semakin kompleks, terkadang juga hingga melibatkan aktor negara (Komnas Perempuan, 2025).

Femisida Bukan Hanya Sekedar Statistik

Sosiolog Sylvia Walby menekankan bahwa data tentang femisida bukan sekadar angka atau informasi teknis. Ia menyebut indikator-indikator seperti ini sebagai “aset” karena memiliki nilai politik dan kekuasaan. 

Cara femisida didefinisikan dan dihitung bukanlah hal yang netral karena mencerminkan keputusan tentang siapa yang dianggap penting dan layak diperhatikan (Walby, 2022).

Misalnya, ketika pemerintah atau lembaga internasional mencatat kasus femisida, mereka menentukan apa yang masuk hitungan (seperti pembunuhan oleh pasangan) dan apa yang tidak (misalnya kekerasan oleh aparat atau pembunuhan terhadap perempuan dari kelompok rentan). 

Pilihan-pilihan ini memengaruhi pemahaman publik, pemberitaan media, dan respons kebijakan. Singkatnya, Walby mengingatkan bahwa di balik setiap statistik ada relasi kuasa. 

Kemana Negara Ketika Nyawa Perempuan Dihilangkan?

Pertanyaan tersebut muncul karena walaupun Komnas Perempuan telah mencatat ratusan kasus pembunuhan berbasis gender, khususnya di ranah privat, sayangnya negara belum memiliki kategori hukum khusus untuk femisida. 

Mirisnya lagi, data resmi pemerintah belum memisahkan antara pembunuhan berbasis gender dari kejahatan biasa. Alhasil, ketika seorang perempuan dibunuh oleh pasangannya maupun pihak lain, hanya akan dicatat sebagai pembunuhan biasa dan bukannya bagian dari pola kekerasan terhadap perempuan. Ini menunjukkan bahwa negara absen bukan hanya pada pencegahan dan perlindungan, tetapi juga pada pencatatan dan pengakuan.

Dalam kasus femisida di Indonesia, yang tak terlihat pada data sering kali juga tak terlihat dalam kebijakan. Padahal dibalik data-data yang tak terlihat itu, ada nyawa-nyawa perempuan yang hilang tanpa keadilan.

Kembali pada kasus Mama Hertina di Papua, misalnya. Ketika konflik bersenjata terjadi, perempuan dilarang keras menjadi korban apalagi hingga tewas. Namun alih-alih berfokus pada femisida yang terjadi, perhatian justru lebih kepada operasi militer serta keterlibatan TNI dan OPM yang terjadi di ranah sipil tersebut.

Ini adalah contoh nyata bagaimana negara masih melihat femisida hanyalah bagian dari kejahahatan biasa, bukannya kekerasan berbasis gender ekstrem.

Apa yang Negara Bisa Lakukan?

Pencatatan data merupakan hal pertama yang bisa dilakukan negara untuk mengidentifikasi femisida, sehingga langkah pencegahan dan penegakan hukum dapat berjalan lebih efektif. Jika negara memiliki data terkait kasus-kasus femisida secara spesifik, maka kasus ini akan dapat lebih terlihat dan ditindaklanjuti dengan tepat.

Kemudian regulasi khusus tentang femisida juga harus diperjelas, sehingga kasus-kasus pembunuhan berbasis gender tidak lagi dicampur dengan pemubunuhan umum.

Terakhir, memberikan perlindungan serta dukungan komprehensif bagi perempuan, khususnya kelompok rentan yang berada di daerah konflik dan perempuan pembela HAM.

Komprehensif disini juga diiringi dengan meningkatkan kesadaran publik untuk mengubah norma sosial yang diskriminatif dan menghilangkan stigma terhadap korban kekerasan berbasis gender.

***

*) Oleh : Cholif Rahma Febriana, Mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.