TIMES MALANG, MALANG – Meja hijau, di mata sebagian orang, bukan lagi ruang sakral pencari keadilan, melainkan arena taruhan yang bisa dimenangkan siapa saja yang punya chip lebih banyak.
Dalam dunia hukum Indonesia, kita menyaksikan bagaimana segelintir penegak hukum yang seharusnya menjaga pilar keadilan justru menjelma menjadi penjudi, berspekulasi atas nasib orang lain, menakar harga pasal-pasal, dan mempertaruhkan putusan demi keuntungan pribadi. Maka layak kita katakan “The Law is Not a Game”, tapi mengapa mereka menjadikan hukum seolah permainan kasino yang diselimuti toga dan jabatan?
Hukum, dalam pengertian idealnya, adalah instrumen keadilan (instrumentum iustitiae), bukan instrumen kepentingan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa mentalitas “penjudi hukum” telah merusak wajah institusi hukum kita.
Bukan hanya mafia peradilan yang kerap terungkap dalam laporan ICW atau hasil investigasi media, tapi juga praktik transaksional yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan praktisi hukum.
Seorang penjudi tidak berpikir tentang benar atau salah yang penting menang. Begitu pula oknum penegak hukum yang tak lagi berpijak pada nilai keadilan, tetapi pada seberapa besar nominal yang bisa dinegosiasikan di balik layar.
Dari proses penyidikan yang bisa 'diatur', persidangan yang penuh skenario, hingga putusan yang dibentuk bukan dari fakta hukum tapi dari lobi dan janji. Ironisnya, semua itu terjadi di dalam sistem yang mestinya menjunjung tinggi integritas.
Praktik-praktik ini berbahaya karena meruntuhkan tiga hal utama dalam sistem hukum, kepercayaan publik, kredibilitas institusi, dan nilai-nilai etika profesi hukum. Seorang hakim yang menerima suap, seorang jaksa yang menekan saksi demi skenario, atau pengacara yang bernegosiasi tanpa batas etika, semuanya telah mengikis legitimasi sistem hukum. Akibatnya, masyarakat kehilangan keyakinan bahwa hukum bisa menjadi alat perlindungan, bukan ancaman.
Masalah ini bukan hanya soal individu, tetapi juga soal sistem. Banyak penegak hukum yang terperangkap dalam arus pragmatisme, baik karena tekanan struktural, budaya instansi, maupun keinginan pribadi, sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum diantaranya adalah Hukum itu sendiri (legal substance), Penegak hukum (law enforcement officers), Sarana dan fasilitas, Masyarakat (society), dan Kebudayaan.
Nampaknya masyarakat sudah terjebak pada situasi dimana penegak hukum terjerembab dalam budaya pragmatis, sarana dan fasilitas yang bisa didapatkan hanya dengan cara membayar serta legal substance yang bermata dua sehingga dapat diperjualbelikan.
Dalam situasi seperti ini, the law benar-benar dipermainkan, dijadikan ajang untung-rugi, layaknya meja judi yang hanya menunggu siapa yang punya "kartu terbaik".
David Luban, dalam Legal Ethics and Human Dignity, menyebut bahwa penegak hukum adalah “moral agents”. Tindakan mereka tak hanya berdimensi hukum, tetapi juga moral. Ketika hukum dijadikan alat spekulasi, kehormatan profesi hukum turut hancur bersama kerusakan institusi.
Dari sudut teori keadilan John Rawls, penegak hukum idealnya bertindak seolah berada di balik veil of ignorance, netral, tidak memihak, dan murni menjunjung asas keadilan substantif. Namun realitas sering kali menunjukkan sebaliknya, keputusan hukum tidak mencerminkan keadilan universal, tetapi hasil dari siapa yang paling mampu ‘membeli’ proses.
Roscoe Pound dalam teorinya menyebut hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Namun bila hukum justru mengokohkan ketimpangan karena diperjudikan oleh para penegaknya, maka hukum telah gagal sebagai instrumen perubahan.
Oleh karenanya Upaya reformasi hukum harus dimulai dari kesadaran bahwa profesi hukum adalah officium nobile suatu tugas mulia. Etika profesi harus ditegakkan, bukan hanya menjadi teks yang dihafal saat ujian advokat. Pengawasan terhadap aparat penegak hukum harus diperketat, dan transparansi dalam proses peradilan harus dijadikan norma, bukan pengecualian.
Menjaga hukum agar tetap bermartabat bukanlah tugas satu profesi semata. Hakim, jaksa, advokat, penyidik, bahkan akademisi, semua punya peran untuk memastikan bahwa hukum tidak menjadi permainan, tidak menjadi alat perjudian, dan tidak menjadi komoditas yang dapat diperjual belikan.
***
*) Oleh: Diyaul Hakki, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |