TIMES MALANG, MALANG – Di tengah perubahan politik dan ekonomi yang bergerak begitu cepat, pembicaraan mengenai masa depan desa kembali menjadi sorotan. Pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran membawa satu pendekatan yang cukup berbeda dibandingkan pemerintahan sebelumnya yakni membangun ekonomi rakyat dari pusat kehidupan paling dasar, yaitu dari desa.
Salah satu instrumen kebijakan yang menjadi perhatian adalah Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) yang pembentukannya dipercepat melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025.
Kehadiran KDMP menimbulkan banyak pertanyaan sekaligus harapan. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah apakah model koperasi yang diperkenalkan pemerintah saat ini benar-benar mencerminkan gagasan ekonomi kerakyatan yang sejak lama diperjuangkan sejumlah tokoh bangsa, misal salah satunya Prof. Sumitro Joyo Hadikusumo.
Nama Sumitro kembali dibicarakan karena pemikirannya tentang ekonomi kerakyatan, atau yang sering disebut sebagai Sumitronomic, yang kemudian dianggap relevan dengan kebijakan pemerintah hari ini.
Menemukan keselarasan pemikiran Sumitro dengan implementasi program KDMP tidak bisa dijawab hanya dengan slogan atau klaim politik. Namun diperlukan kajian mendalam untuk memahami keduanya, apa yang dipikirkan oleh Sumitro dan apa yang diinginkan oleh Prabowo dalam program KDMP ini. Dan kemudian apakah keduanya bisa saling bertemu dalam satu titik. Menemukan keselarasan keduanya tidak bisa hanya dengan retorika dalam pidato dan saja.
Dalam tulisan ini akan mencoba menguraikannya secara bertahap beberapa hal diatas sebagai perenungan dan melihat apakah pijakan kebijakan ekonomi kerakyatan pemerintahan Prabowo sejalan dengan pemikiran, ide dan gagasan tokoh (Sumitro) serta tidak bertentangan dengan Undang-undang perkoperasian.
Sumitro dan upaya Membangun Ekonomi Kerakyatan
Pada awal pemerintahan Soeharto, Sumitro Joyo Hadikoesoemo menjabat sebagai menteri perdagangan dan kemudian menjabat menteri riset serta menjadi penasehat ekonomi pemerintahan Soeharto, artinya ini menunjukkan bahwa Sumitro bukan hanya sekadar ekonom akademik, akan tetapi dia juga sebagai perumus kebijakan, politisi, sekaligus pemikir yang menjembatani teori dan kebutuhan serta pembangunan ekonomi masyarakat Indonesia.
Sumitro dalam berbagai karya dan pidatonya menegaskan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia tidak boleh hanya mengandalkan modal besar atau industri yang terpusat di perkotaan. menurutnya, Indonesia akan rapuh jika desa dibiarkan hanya menjadi penonton dalam proses pembangunan.
Di sinilah konsep ekonomi kerakyatan versi Sumitro mengambil tempat. Ada tiga gagasan utama yang sering disebut dalam kajian ekonomi politik. Pertama, basis produksi nasional harus ditopang oleh rakyat kecil, terutama petani, nelayan, pelaku usaha mikro, dan komunitas desa. Kedua, negara wajib mengatur kerangka struktural, tetapi masyarakat harus menjadi pelaku utamanya. Ketiga, koperasi merupakan lembaga ekonomi paling ideal untuk membangun kekuatan produksi rakyat.
Konsep ini tidak berdiri sendiri, ekonom seperti Mohammad Hatta, Margono dan Sumitro sepakat bahwa koperasi bukan hanya badan usaha, tetapi institusi sosial yang mengikat masyarakat dalam kerja kolektif. Meski memiliki pendekatan berbeda, ketiganya memberi fondasi bahwa pembangunan ekonomi yang kuat tidak dapat dilakukan tanpa memperkuat ekonomi desa.
Sumitro menyadari bahwa masyarakat desa sering terjebak dalam rantai produksi yang tidak adil. Karena itu, koperasi menjadi alat penataan struktur dan membangun ekosistem ekonomi agar rakyat memiliki peluang yang sama dalam proses produksi dan distribusi. Negara tetap boleh hadir, tetapi tidak mendominasi. Peran negara, menurut Sumitro, adalah membukakan pintu, bukan mengambil alih kendali.
Prabowo dan Ambisi Pembangunan Ekonomi dari Desa
Disaat Presiden Prabowo menyampaikan prioritas program pembangunan, salah satu kalimat yang paling sering dikutip adalah “membangun dari pinggir, memperkuat desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.” Kalimat ini bukan sekadar jargon kampanye, tetapi saat ini sudah masuk dalam arah kebijakan nasional, mulai dari Asta Cita, RPJMN, hingga instruksi teknis kepada kementerian.
Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) lahir dalam semangat itu. Pemerintahan Orabowo menilai bahwa desa memiliki potensi ekonomi yang selama ini tidak terkelola secara terstruktur. Mulai dari produksi pangan, perikanan, energi, sampai unit jasa, semuanya bisa menjadi sumber pertumbuhan jika dikelola secara kolektif.
Dalam berbagai referensi dan dokumen resmi pemerintah Prabowo, KDMP dirancang untuk memperkuat rantai pasok pangan nasional, memberi akses modal bagi komunitas desa, mengonsolidasikan usaha kecil, serta menciptakan pusat ekonomi desa yang terintegrasi.
Pada tataran gagasan, pendekatan ini tampak dekat dengan pikiran Sumitro yakni menempatkan koperasi sebagai motor pembangunan desa.
Namun demikian, banyak kebijakan dan program besar, dengan konsep dan ide yang bagus hanya akan jadi rumusan baik diatas kertas, namun tidak selalu berjalan mulus di dalam praktiknya.
Pertanyaan kritis pun muncul, apakah pendekatan pembentukan KDMP melalui instruksi presiden selaras dengan prinsip koperasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1992?. Dan apakah pendekatan ini benar-benar mencerminkan ekonomi kerakyatan ala Sumitro?
KDMP dan Prinsip Demokrasi Koperasi
Undang-Undang nomor 25 Tahun 1992 mengatur bahwa koperasi adalah organisasi ekonomi yang berdiri atas dasar keanggotaan sukarela, demokrasi ekonomi, pengelolaan oleh anggota, keuntungan untuk anggota, dan Rapat Anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Artinya bahwa koperasi bukan lembaga yang bisa dibentuk hanya melalui perintah administratif saja. Negara diperbolehkan mendorong, memfasilitasi, dan mempercepat, tetapi keputusan dan kepemilikan tetap di tangan anggota.
Jika kita lihat model pembentukan KDMP yang dibentuk melalui Instruksi Presiden, berpotensi menimbulkan mispersepsi. Bila pembentukan koperasi dilakukan secara seragam, dengan struktur yang sudah ditentukan dari atas, maka ruang demokrasi anggota bisa menjadi terbatas.
Dalam tradisi studi perkoperasian internasional, hal semacam ini sering disebut state-driven cooperatives yakni koperasi yang lahir bukan dari kebutuhan anggota, tetapi dari agenda program pemerintah. Pertanyaannya kemudian adalah apakah hal ini buruk? Tidak selalu.
Akan tetapi prinsip koperasi tetap harus dijaga. Jika tidak, koperasi berisiko berubah menjadi sekadar “badan usaha pemerintah” yang memakai baju koperasi. Tidak jarang, model seperti ini hanya bertahan selama program berlangsung. Dan kita pernah menjalani hal seperti ini, dimana hal ini pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia di jaman orde baru, era pemerintahan Soeharto yang juga memiliki program Koperasi Unit Desa (KUD).
Jika tidak dilakukan secara hati-hati dan dengan sistem yang kuat serta kelembagaan dan tatakelola yang kuat, dengan melakukan penguatan kapasitas pengurus KDMP, maka KDMP akan bernasib sama dengan KUD.
Maka dalam implementasi program KDMP ini perlu kehati-hatian. Masyarakat sebagai subyek harus menjadi syarat utamanya, dan tidak hanya sebagai pelengkap administrasi saja. Dengan demikian Koperasi akan tumbuh jika masyarakat desa ikut merasa memiliki, tidak hanya dipakai sebagai anggota fiktif belaka.
Relevansi Sumitronomic dengan Program KDMP
Berbagai forum kajian ilmiah yang membahas terkait konsep, ide dan pikiran Sumitro tentang ekonomi kerakyatan telah banyak dilakukan, yang kemudian kita kenal dengan istilah Sumitronomic, sebuah istilah modern yang merupakan rangkuman pikiran Sumitro.
Namun kemudian muncul berbagai pertanyaan, apakah Sumitronomic ini selaras dan relevan dengan program KDMP yang digagas oleh presiden Prabowo? dan untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat dan membaca kembali pokok pikiran Sumitro, dalam kaitannya koperasi sebagai instrumen konsolidasi ekonomi kerakyatan.
Dalam pikiran Sumitro, Koperasi harus menjadi wadah dimana rakyat mengkonsolidasikan kekuatan ekonomi mereka. Tujuannya bukan sekadar profit, tetapi membangun posisi tawar ekonomi masyarakat desa di pasar. Dalam hal ini, KDMP punya peluang besar untuk sejalan dengan pikiran Sumitro, terutama jika mampu memperkuat ekosistem rantai produksi desa.
Selanjutnya, pemikiran Sumitro yang menyatakan bahwa Negara sebagai fasilitator, bukan pengendali. Dalam banyak kesempatan, Sumitro menegaskan bahwa negara perlu hadir mengatur struktur ekonomi agar rakyat tidak terpinggirkan. Namun setelah kerangka infrastruktur tersedia, rakyatlah yang harus menjadi pengendali utama.
Model pembentukan KDMP, yang bersifat instruktif, perlu memastikan bahwa setelah terbentuk, pengelolaan benar-benar kembali kepada warga desa dan dikendalikan oleh warga sebagaimana prinsip koperasi, yakni dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Kemudian inti pikiran Sumitro berikutnya adalah demokrasi ekonomi sebagai fondasi utama. Sumitronomic menempatkan rakyat sebagai aktor sekaligus pemilik ekonomi. Ini berarti keputusan koperasi harus diambil dalam forum Rapat Anggota, bukan hanya datang dari atas. Jika KDMP menjalankan prinsip ini secara konsisten, maka ia bukan saja sejalan dengan Sumitro, tetapi menjadi wujud nyata modernisasi ekonomi kerakyatan.
Program KDMP menjadi program nasional pemerintahan Prabowo, yang telah dimulai dengan instruksi pembentukan melalui instruksi presiden nomor 9 Tahun 2025. Namun demikian dalam proses pelaksanaanya tentu tidak akan berjalan mulus sebagaimana harapan presiden, KDMP akan juga menghadapi berbagai tantangan yang kemudian ini harus difahami dan diolah sehingga program koperasi desa ini berjalan dengan baik dan menjadi instrumen untuk menggerakkan ekonomi rakyat dari desa.
Program besar seperti KDMP ini akan langsung difahami oleh sebagian masyarakat sebagai proyek nasional. Maka ini akan jadi tantangan pertama bagi program KDMP, kalau program KDMP di fahami sebagai proyek pemerintah saja, maka masyarakat yang akan ikut dalam program ini hanya bersifat formalitas dan tidak akan berperan aktif apalagi merasa memiliki atas program ini, merubah mainset ini menjadi tantangan terbesar bagi pemerintahan Prabowo.
Kedua, adalah masih minimnya kemampuan manajerial dari pengurus koperasi yang ditunjuk, banyak koperasi yang selama ini gagal, karena kapasitas pengelolanya yang masih minim terkait tatakelola koperasi dan regulasinya bukan karena kekurangan modal usaha. Hari ini, yang dibutuhkan adalah kader Desa yang memiliki kapasitas dan kemampuan dalam mengembangkan ekonomi desa dan faham tatakelola koperasi desa.
Ketiga, tantangan yang tak kalah penting adalah munculnya benturan kepentingan lokal. Jika tidak dikelola dengan baik, maka keberadaan koperasi ini akan menjadi arena konflik. Apalagi jika tidak dikelola dengan transparan.
Selanjutnya adalah tantangan dalam menentukan jenis usaha, jika jenis usaha sekedar meniru dan dipaksa sama dengan menu nasional, dan tidak berdasarkan potensi dan kebutuhan masyarakat desa, maka ini akan menyulitkan pengambangan usaha yang dijalankan oleh KDMP. Maka pengurus KDMP harus diberi kebebasan membuka dan menjalankan jenis usaha sesuai kebutuhan warga masyarakat dan potensi yang dimilikinoleh desa.
Namun demikian, tantangan ini bukan alasan untuk menolak KDMP. Justru sebaliknya, tantangan ini harus disikapi melalui pendampingan, penguatan kapasitas, dan pelibatan warga secara terbuka.
Sumitro Joyo Hadikusumo telah lama mengingatkan, sejak puluhan tahun lalu bahwa ekonomi yang kuat adalah ekonomi yang memiliki akar dan akar itu berada di desa. Membangun ekonomi desa bukan sekadar urusan teknis. Membangun ekonomi desa merupakan proses panjang untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi ke tangan rakyat.
Instrumen seperti KDMP ini bisa menjadi salah satu cara untuk memperkuat akar ekonomi rakyat, dengan syarat dijalankan dengan prinsip yang benar, sesuai dengan prinsip tatakelola koperasi yang baik (Good Cooperative Governance) yakni demokratis, partisipatif, akuntabke dan berbasis kebutuhan anggota.
Namun jika koperasi dijalankan hanya sebagai proyek, maka ia akan rapuh dan mudah tumbang. Tetapi jika dikelola sebagai rumah bersama, maka KDMP akan tumbuh menjadi kekuatan ekonomi jangka panjang dan kuat.
Relevansi Sumitronomic tidak diuji pada kata-kata, tetapi pada praktik nyata. Apakah rakyat benar-benar menjadi pemilik? Apakah desa benar-benar menjadi pusat produksi? Apakah koperasi benar-benar menjadi ruang kebersamaan?
Jika KDMP mampu menjawab tiga pertanyaan itu, maka Sumitro barangkali akan tersenyum, karena gagasannya menemukan bentuk paling nyata dalam pembangunan ekonomi bangsa hari ini.
***
*) Oleh : Husnul Hakim, SY., MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |