https://malang.times.co.id/
Opini

Kesenjangan Literasi Mahasiswa

Minggu, 14 September 2025 - 19:19
Kesenjangan Literasi Mahasiswa Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Di tengah derasnya arus informasi, mahasiswa sebagai agen perubahan seharusnya tampil sebagai motor penggerak literasi. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan yang mengkhawatirkan. 

Ruang akademik yang diharapkan mampu menjadi lumbung pengetahuan justru belum cukup mendorong kuatnya budaya literasi. Era digital menghadirkan paradoks: di satu sisi, akses terhadap informasi begitu mudah; di sisi lain, kualitas pemahaman dan kedalaman literasi mahasiswa justru melemah.

Fenomena ini bisa dilihat dari pola konsumsi pengetahuan mahasiswa. Media sosial, portal daring, dan video singkat lebih sering menjadi referensi utama dibandingkan jurnal ilmiah, buku, atau diskusi akademik. Memang, informasi dari platform digital tidak bisa sepenuhnya diabaikan karena relevan dengan kehidupan sehari-hari. 

Namun, ketergantungan yang berlebihan menjadikan mahasiswa lebih akrab dengan potongan-potongan informasi instan daripada analisis yang mendalam. Pengetahuan yang seharusnya membentuk pola pikir kritis justru bergeser menjadi konsumsi cepat yang mudah dilupakan.

Ruang akademik, termasuk kampus, seolah gagap merespons fenomena ini. Kurikulum pendidikan tinggi masih terjebak dalam model pembelajaran yang menekankan transfer informasi satu arah. 

Mahasiswa diposisikan sebagai penerima, bukan pengolah pengetahuan. Padahal, di era digital, kemampuan membaca kritis, menulis analitis, dan memverifikasi sumber sangat dibutuhkan. Ketika ruang kuliah hanya menjadi tempat mencatat, bukan ruang dialog, budaya literasi semakin sulit tumbuh.

Di sisi lain, kesenjangan literasi juga tampak dari ketidakmerataan akses terhadap bahan bacaan berkualitas. Mahasiswa di kota besar relatif lebih mudah mendapatkan referensi melalui perpustakaan modern, database digital, atau diskusi komunitas. 

Sementara mahasiswa di daerah pelosok kerap terbatas oleh akses internet yang lemah, minimnya koleksi perpustakaan, hingga harga buku yang tidak terjangkau. Ketimpangan ini membuat daya saing akademik antarwilayah semakin lebar, padahal kualitas literasi seharusnya menjadi hak semua mahasiswa, tanpa terkecuali.

Masalah lainnya terletak pada budaya membaca itu sendiri. Survei literasi di Indonesia masih menunjukkan angka rendah, termasuk di kalangan mahasiswa. Membaca buku dianggap beban, bukan kebutuhan. 

Lebih banyak waktu dihabiskan untuk berselancar di media sosial ketimbang membuka literatur akademik. Bahkan, sebagian mahasiswa hanya mengenal buku dari daftar bacaan wajib yang diberikan dosen. Kebiasaan ini jelas menghambat pembentukan karakter akademik yang mandiri.

Kritik yang kerap muncul adalah lemahnya komitmen kampus dalam membangun ekosistem literasi. Perpustakaan yang seharusnya menjadi pusat kegiatan ilmiah sering tidak dikelola dengan baik, sekadar menjadi gudang buku tanpa kegiatan kreatif. 

Padahal, perpustakaan bisa dihidupkan melalui forum diskusi, bedah buku, pelatihan menulis, hingga kolaborasi riset. Kampus sering kali lebih sibuk mengejar akreditasi administratif ketimbang menumbuhkan tradisi literasi yang sesungguhnya.

Literasi di era digital juga menghadapi tantangan lain: banjir hoaks dan informasi palsu. Mahasiswa sebagai calon intelektual justru tidak jarang terjebak dalam jebakan informasi yang tidak terverifikasi. 

Ini memperlihatkan bahwa literasi digital, yang mencakup kemampuan memilah, memverifikasi, dan mengolah informasi, belum tertanam kuat di ruang akademik. Ketika mahasiswa gagal membedakan mana fakta dan opini, kualitas wacana akademik pun merosot.

Kesenjangan literasi mahasiswa ini berimplikasi luas terhadap pembangunan bangsa. Generasi muda yang miskin literasi akan kesulitan menghadapi kompleksitas persoalan global. Mereka mungkin fasih dalam penggunaan teknologi, tetapi rapuh dalam pemahaman mendalam. 

Kritis hanya di permukaan, tanpa basis argumen kuat. Padahal, bangsa ini membutuhkan pemikir-pemikir muda yang tidak hanya bisa mengikuti tren, melainkan mampu mengkonstruksi gagasan besar melalui literasi yang kokoh.

Penyelesaian masalah ini tentu tidak bisa diserahkan pada mahasiswa semata. Kampus harus mengambil peran aktif dengan melakukan transformasi ruang akademik. Metode pembelajaran perlu diarahkan pada model yang berbasis dialog, penelitian, dan proyek literasi nyata. 

Dosen tidak hanya menjadi penyampai materi, melainkan fasilitator yang mendorong mahasiswa membaca, menulis, dan berdiskusi. Kampus juga harus membuka akses lebih luas terhadap sumber-sumber ilmiah, baik dalam bentuk cetak maupun digital, sehingga mahasiswa terbiasa dengan literatur akademik berkualitas.

Di luar kampus, komunitas literasi perlu diperkuat. Diskusi buku, forum penulisan, hingga ruang kreatif berbasis digital bisa menjadi alternatif untuk menumbuhkan budaya literasi. 

Pemerintah juga perlu mendukung melalui kebijakan pemerataan akses internet, subsidi buku, dan penguatan infrastruktur perpustakaan daerah. Literasi tidak boleh hanya menjadi slogan, tetapi harus dihidupkan melalui gerakan bersama.

Bagi mahasiswa sendiri, kesadaran untuk membangun budaya literasi adalah tanggung jawab moral. Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga keterampilan berpikir kritis, berempati, dan memahami realitas sosial. Dengan literasi yang kuat, mahasiswa dapat keluar dari jebakan konsumsi informasi instan dan mengubahnya menjadi basis pengetahuan yang mendalam.

Era digital memang membuka peluang besar, tetapi tanpa literasi yang memadai, peluang itu justru bisa menjadi ancaman. Kesenjangan literasi mahasiswa hari ini adalah peringatan bahwa bangsa ini bisa kehilangan generasi intelektual yang visioner jika ruang akademik terus gagal menguatkan budaya literasi. 

Maka, sudah saatnya kampus, pemerintah, dan mahasiswa bersinergi menciptakan iklim akademik yang lebih progresif. Hanya dengan literasi yang kokoh, generasi muda dapat menjadi penggerak perubahan yang mampu membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah.

***

*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.