https://malang.times.co.id/
Opini

Musik Mengkritik Polisi Geram

Minggu, 23 Februari 2025 - 15:36
Musik Mengkritik Polisi Geram Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

TIMES MALANG, SURABAYA – Baru-baru ini, dunia maya dihebohkan isu terkait lagu “Bayar Bayar Bayar” dari Band Sukatani yang diduga dibungkam oleh pihak kepolisian. Lagu yang menyentil berbagai praktik pungutan liar dan ketidakadilan di Indonesia, tampaknya menjadi duri dalam daging bagi pihak tertentu. Kasus ini menimbulkan perdebatan luas tentang kebebasan berekspresi.

Musik Sebagai Sarana Kritik Sosial

Sejak dahulu, music telah menjadi sarana yang ampuh untuk menyampaikan kritik sosial. Dari lagu-lagu Bob Dylan dengan lagunya “Blow in the Wind” yang menyerukan hak-hak sipil Amerika Serikat hingga lagu-lagu Iwan Fals yang menggambarkan keresahan rakyat terhadap pemerintah Orde Baru, musik memiliki peran penting dalam menyuarakan ketidakadilan.

Lagu “Bayar Bayar Bayar” dari sukatani pun mengikuti jejak yang sama. Liriknya yang berbicara tentang berbagai macam pungutan dan beban ekonomi yang dialami rakyat kecil mencerminkan keluhan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan gaya satir dan irama yang khas, lagu ini menarik perhatian public dan menjadi viral di berbagai platform digital.

Namun, seperti yang sering terjadi dalam sejarah music kritik sosial, lagu ini tampaknya mengusik pihak tertentu. Dugaan bahwa polisi ikut turun tangan untuk membungkam lagu ini memperlihatkan reaksi yang berlebihan terhadap ekspresi seni yang sah.

Polisi dan Sensitivitas Terhadap Kritik

Di Indonesia, hubungan antara institusi keamanan dan kritik sosial seringkali berada dalam dinamika yang kompleks. Kritik terhadap apparat seringkali dianggap sebagai ancaman ketertiban, bukan sebagai masukan yang perlu dipertimbangkan untuk perbaikan instituri.

Jika benar ada upaya dari kepolisian untuk membungkam lagu “Bayar Bayar Bayar” maka ini bukan hanya soal satu lagu semata, melaikan kabar buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia.

Kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi, termasuk dalam bentuk musik dan seni. Namun, jika kritik dalam bentuk lagu pun dianggap sebagai ancaman, maka ini menandakan adanya ketidaknyamanan institusi terhadap transparansi dan akuntabilitas.

Kritik sebagai Cermin Realitas, Bukan Ancaman

Pihak berwenang, termasuk kepolisian, seharusnya melihat kritik sebagai bahan refleksi, bukan sebagai serangan. Jika ada keresahan dari masyarakat yang dituangkan dalam sebuah karya seni lagu, maka itu adalah indikasi bahwa ada masalah yang perlu diperbaiki, bukan ditutupi.

Jika lagu “Bayar Bayar Bayar” mengkritik pungutan liar atau kettidak adilan ekonomi, maka alih-alih membungkamnya, seharusnya ada upaya untuk mengevaluasi dan membenahi kondisi yang disoroti dalam lagu tersebut. Transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar penting dalam membangun kepercayaan public terhadap institusi negara.

Penting untuk dipahami bahwa kritik bukanlah suatu yang harus ditakuti, melaikan sebagai masukan untuk perbaikan. Jika sebuah institusi mendapat kritik dari masyarakat, itu berarti ada sesuatu yang harus dievaluasi dan diperbaiki.

Bahkan, jika kepolisian merasa tidak setuju denga nisi lagu tersebut, mereka bisa memberikan ruang untuk berdialog dengan public, bukan dengan cara represif. Sikap terbuka terhadap kritik akan lebih membangun kepercayaan masyarakat dibandingkan tindakan represif yang hanya memperburuk citra institusi.

Kebebasan Berekspresi Harus Dijaga

Kasus dengan dibungkamnya lagu “Bayar Bayar Bayar” menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia masih menghadapi tantangan. Musik sebagai sarana kritik sosial tidak seharusnya dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari mekanisme demokrasi yang sehat.

Musik sebagai media kritik sosial yang harus dihormati sebagai bagian demokrasi yang sehat. Kritik bukanlah ancaman, tetapi relfeksi suara rakyat yang perlu didengar dan dipertimbangkan.

Indonesia harus tetap menjadi negara yang menghornati kebebasan berekspresi, jika kritik disampaikan melalui musik, maka biarkan musik itu berbicara. Karena disetiap lirik yang menyentil, ada pesan dari rakyat yang perlu didengar oleh mereka yang berkuasa.

Jika benar ada upaya sensor, maka ini adalah langkah mundur bagi demokrasi dan kebebasan berpendapat. Kritik dalam bentuk seni harus diterima dengan kepala dingin dan menjadi bahan refleksi, bukan justru dibungkam. Karena pada akhirnya, suara rakyat tidak akan pernah bisa sepenuhnya dibisukan. Justru akan semakin nyaring ketika semakin ditekan.

Sebagai Negara yang katanya menjungjung tinggi kebebasan berekspresi, Indonesia harus memastikan bahwa kritik, termasuk melalui musik, tetap mendapat ruang. Pembungkaman hanya akan memperburuk situasi dan institusi.

Sementara sikap terbuka terhadap kritik dapat membangun kepercayaan yang lebih kuat di masyarakat. Suara rakyat tidak akan pernah bisa dibungam, semakin ditekan, semakin nyaring terdengar.

***

*) Oleh : Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.