TIMES MALANG, JOMBANG – Mudik adalah tradisi tahunan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia ketika menjelang hari raya Idul Fitri. Fenomena ini melibatkan mobilitas besar-besaran, di mana jutaan orang pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga.
Dari perspektif Fikih, mudik memiliki berbagai dimensi yang dapat dianalisis, terutama berkaitan dengan nilai-nilai syariah dan norma-norma sosial.
Perspektif Fikih
Dari sisi Fikih, hukum mudik lebaran tidak ada ketentuan yang secara eksplisit membuatnya wajib. Namun, karena tradisi ini berkaitan erat dengan silaturahmi, banyak ulama sepakat bahwa mudik memiliki nilai positif dan dianjurkan, terutama jika bertujuan untuk menyambung tali persaudaraan.
Beberapa ulama berpendapat bahwa mendatangi orang tua dan kerabat di hari raya adalah sunnah, dan melaksanakannya memberi pahala.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahmi" (HR. Bukhari dan Muslim).
Hal ini menunjukkan bahwa mudik dapat dipandang sebagai amalan yang membawa keberkahan, di mana umat Muslim berusaha untuk mempererat hubungan dengan keluarga dan kerabat.
Dalam Fikih, perjalanan (safar) memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri. Orang yang melakukan perjalanan sejauh tertentu (+/- 82 kilometer) akan dianggap sebagai musafir, dan memiliki implikasi hukum, termasuk keringanan dalam menjalankan ibadah.
Misalnya, seorang musafir diperbolehkan untuk melakukan jama' (menggabungkan) shalat dan memperpendek (qoshor) shalat yang lima waktu, serta diperbolehkan untuk tidak berpuasa (dengan kewajiban menggantinya diluar ramadan). Hal ini memberi kemudahan bagi mereka yang melakukan perjalanan mudik.
Namun, Fikih juga mengajarkan pentingnya menjaga keselamatan selama perjalanan. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman, "Dan Janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan" (QS. Al-Baqara: 195).
Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap individu atau keluarga yang mudik untuk merencanakan perjalanan dengan baik, memastikan kendaraan berada dalam kondisi aman, dan mematuhi aturan lalu lintas.
Manifestasi Kemanusiaan
Mudik juga dapat dipahami sebagai ekspresi kemanusiaan yang kuat. Momen lebaran adalah kesempatan bagi umat Muslim untuk saling memaafkan dan memperbaiki hubungan yang mungkin pernah renggang.
Ini adalah waktu di mana keluarga berkumpul, memperkuat ikatan emosional, dan merayakan kebersamaan. Dalam konteks fikih, tradisi ini selaras dengan prinsip-prinsip keadilan dan persatuan dalam masyarakat.
Dari segi ekonomi, mudik lebaran berkontribusi besar terhadap perekonomian lokal di daerah tujuan. Ketika para perantau pulang, mereka seringkali membawa rezeki dan oleh-oleh bagi keluarga di kampung halaman.
Hal ini bisa dilihat sebagai bentuk distribusi rezeki yang sejalan dengan prinsip zakat, di mana individu yang berada dalam keadaan lebih mampu memberi kepada yang membutuhkan.
Dalam perspektif Fikih, pergerakan ekonomi ini memiliki nilai positif asalkan dilakukan dengan cara yang halal dan tidak menimbulkan dampak negatif, seperti penipuan atau korupsi. Umat Muslim diajarkan untuk mencari nafkah yang halal dan memberi manfaat bagi masyarakat lain.
Salah satu aspek lain dari mudik adalah etika dan moralitas. Selama perjalanan, umat Islam diharapkan untuk bersikap baik dan sopan terhadap sesama, baik itu di jalan maupun ketika tiba di kampung halaman.
Memperlihatkan sikap tawadhu’, saling menghormati, serta menghindari konflik dan sikap pamer (riya’) merupakan nilai-nilai yang sangat dianjurkan.
Tantangan dan Solusi
Namun, di balik fenomena positif mudik, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi. Misalnya, kemacetan lalu lintas, peningkatan angka kecelakaan, dan masalah kebersihan di tempat-tempat umum.
Dalam hal ini, syariat Islam mengajarkan pentingnya memelihara keselamatan dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada kesadaran kolektif untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain selama perjalanan mudik.
Upaya mitigasi juga dapat dilakukan, seperti perencanaan perjalanan yang matang, penggunaan moda transportasi yang aman, serta penerapan protokol kesehatan, terutama di masa pandemik. Dalam hal ini, pemerintah dan masyarakat perlu bekerjasama untuk menciptakan suasana mudik yang aman dan nyaman.
Walhasil, fenomena mudik dalam perspektif Fikih tidak hanya sekadar tradisi sosial, tetapi juga merupakan bentuk ibadah yang dapat memberikan banyak manfaat, baik bagi individu maupun masyarakat. Dengan niat yang baik, perjalanan mudik menjadi lebih bermakna dan dapat mendatangkan pahala.
Oleh karena itu, penting bagi setiap umat muslim untuk memahami hukum dan etika yang menyertainya agar mudik lebaran dapat dilaksanakan dengan aman, nyaman, dan penuh berkah. Akhirnya, tradisi ini mencerminkan semangat persaudaraan dan kebersamaan yang harus dijaga dan dilestarikan.
***
*) Oleh : Ahmad Fiqih, SP. M.Pd., Wakil Ketua PW Pergunu Jawa Timur/Sekretaris MUI Kab. Jombang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |