TIMES MALANG, MALANG – Pemuda Indonesia tengah berada pada persimpangan penting dalam perjalanan bangsa. Di satu sisi, mereka memiliki energi kreatif, jejaring digital luas, serta keberanian untuk menggugat ketidakadilan.
Derasnya arus informasi, perubahan nilai yang begitu cepat, dan melemahnya tradisi regenerasi kepemimpinan telah menggerus peran strategis yang dulu begitu kokoh dalam sejarah perjuangan negeri ini.
Tulisan ini saya hadirkan bukan sekadar mengingatkan, tetapi menegaskan kembali: pemuda memiliki mandat peradaban. Peran itu sudah melekat sejak awal republik berdiri, tetapi kini perlu kembali ditegakkan agar tidak larut dalam kebisingan zaman yang sering menyesatkan arah.
Sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari jejak pemuda. Sumpah Pemuda 1928 menjadi tonggak kesadaran kolektif kebangsaan, lahir dari keberanian pemuda menolak sekat kedaerahan dan mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.
Tujuh dekade kemudian, di tahun 1998, mahasiswa kembali menjadi motor perubahan dengan keberaniannya menumbangkan rezim otoriter dan membuka jalan reformasi. Dalam dua momentum itu, benang merahnya sama: pemuda hadir ketika bangsa berada di titik krisis.
Hari ini, krisis yang dihadapi bangsa bukan lagi kolonialisme atau kekuasaan tunggal, melainkan bentuk baru dari penjajahan, penjajahan data, narasi, dan algoritma. Kita hidup di era disrupsi digital yang menuntut kemampuan berpikir kritis sekaligus kepekaan moral.
Maka, mempertegas peran pemuda berarti menghidupkan kembali ruh perubahan itu dalam konteks yang baru: ruang digital, ekonomi kreatif, lingkungan hidup, dan politik kebijakan publik.
Pemuda hari ini adalah generasi digital yang lahir dan tumbuh bersama teknologi. Mereka memiliki keunggulan adaptif yang tidak dimiliki generasi sebelumnya. Di tangan mereka, teknologi bisa menjadi alat transformasi sosial yang luar biasa.
Namun sayangnya, ruang digital juga menjadi arena yang rawan manipulasi, hoaks, dan polarisasi. Di sinilah ujian sesungguhnya: apakah pemuda akan tenggelam dalam arus disinformasi, atau justru menjadikannya sebagai arena perjuangan baru?
Kita melihat banyak contoh positif. Mahasiswa dan aktivis muda kini aktif mengembangkan inisiatif digital seperti Data Academy Indonesia atau AI untuk Publik yang mendorong literasi teknologi di kalangan masyarakat.
Ada pula gerakan Youth for Climate Action dan Extinction Rebellion Indonesia yang memanfaatkan media sosial untuk mengadvokasi kebijakan hijau dan menekan pemerintah agar lebih serius mengatasi krisis iklim. Pemuda juga hadir melalui platform Open Data Indonesia, membantu publik memahami anggaran dan kebijakan publik secara transparan.
Dalam konteks lain, kita juga menyaksikan banyak kebijakan digital yang tidak berpihak pada rakyat, seperti monopoli data, privatisasi ruang digital, atau proyek-proyek pembangunan teknologi yang tidak inklusif.
Di titik ini, daya kritis pemuda diperlukan untuk memastikan teknologi tidak menjadi alat baru penindasan. Mereka harus berani bertanya: siapa yang diuntungkan oleh digitalisasi, dan siapa yang tertinggal?
Carut-marut bangsa ini tidak bisa diselesaikan tanpa keterlibatan pemuda. Korupsi, ketimpangan ekonomi, konflik agraria, kerusakan lingkungan, dan lemahnya pendidikan karakter adalah persoalan nyata yang menuntut intervensi intelektual dan moral.
Di masa lalu, mahasiswa 1998 turun ke jalan menuntut reformasi karena menyadari bahwa diam berarti ikut melanggengkan ketidakadilan. Kini, mahasiswa generasi digital juga menunjukkan kepeduliannya lewat berbagai kanal perjuangan.
Gerakan mahasiswa pada tahun 2019 misalnya, lewat tagar #ReformasiDikorupsi, memperlihatkan bagaimana kekuatan digital digunakan untuk menggalang solidaritas nasional melawan pelemahan KPK dan isu RKUHP yang dinilai merugikan rakyat.
Di sektor hukum, mahasiswa hukum dari berbagai kampus mendirikan Klinik Bantuan Hukum Online untuk memberi akses keadilan bagi masyarakat kecil. Di sektor pendidikan, muncul komunitas seperti Gerakan Sekolah Menyenangkan yang digagas oleh pendidik muda untuk memperbaiki sistem belajar yang lebih humanis.
Dalam bidang ekonomi, banyak wirausaha muda yang tidak hanya mengejar profit, tapi juga social impact. Mereka melahirkan model bisnis sosial yang memberdayakan petani, nelayan, atau masyarakat adat melalui digital marketplace.
Sementara di bidang lingkungan, generasi muda bergerak dalam komunitas seperti Trash Hero, Bersihkan Indonesia, dan EcoNusa Youth, menunjukkan bahwa kepedulian terhadap bumi tidak hanya retorika, tapi aksi nyata.
Semua ini membuktikan satu hal: pemuda Indonesia masih memiliki api perubahan yang sama dengan generasi 1928 dan 1998, hanya medan perjuangannya yang berubah.
Pemuda dalam Kebijakan Publik dan Ruang Demokrasi
Peran pemuda tidak cukup berhenti pada kritik; mereka juga harus hadir dalam ruang pengambilan keputusan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan secara tegas menyatakan bahwa pemuda berperan aktif dalam pembangunan nasional di segala bidang. Ini berarti pemerintah wajib membuka ruang partisipasi bagi pemuda dalam menentukan arah kebijakan publik.
Selain itu, Pasal 28 UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat, berserikat, dan berorganisasi. Ini adalah dasar konstitusional bagi pemuda untuk mengawasi dan menilai kebijakan yang tidak pro-rakyat.
Keterlibatan mereka dalam student government, parlemen kampus, atau organisasi masyarakat sipil seperti Indonesian Youth Diplomacy, Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia (PPID), dan Youth in Policy adalah wujud nyata dari fungsi kontrol dan partisipasi tersebut.
Pemuda juga harus menjadi penghubung antara rakyat dan kebijakan negara. Dalam isu-isu pembangunan daerah, misalnya, banyak mahasiswa yang menjadi relawan pendamping desa, mengajarkan literasi digital kepada masyarakat, dan membantu pemerintahan lokal menjalankan prinsip transparansi anggaran. Inilah bentuk nyata dari kepemimpinan partisipatif yang berakar dari semangat kepemudaan.
Di tengah berbagai dinamika bangsa, politik yang membelah, ekonomi yang timpang, dan lingkungan yang terancam, generasi muda tetap menjadi tumpuan harapan. Semangat Sumpah Pemuda harus dihidupkan bukan hanya sebagai peringatan sejarah, tetapi sebagai kompas moral dalam menghadapi masa depan.
Menjadi pemuda hari ini berarti berani berpikir di luar kebiasaan, berani melawan arus kepentingan yang merugikan rakyat, dan berani membangun solidaritas lintas generasi.
Bangsa ini tidak kekurangan sumber daya, tetapi sering kekurangan keberanian untuk berubah. Dan keberanian itu, seperti sejarah yang telah membuktikan, selalu lahir dari pemuda.
Momentum Hari Sumpah Pemuda tahun ini seharusnya menjadi refleksi bagi seluruh generasi muda: apakah kita masih mau menjadi penonton atau kembali menjadi penggerak sejarah?
Peran pemuda tidak boleh berhenti di ruang seremonial dan unggahan media sosial, tetapi harus turun dalam tindakan nyata, mengawal kebijakan publik, menjaga akuntabilitas kekuasaan, mengedukasi masyarakat, dan terus menegakkan nilai keadilan.
Bangsa ini pernah berubah karena keberanian pemuda. Dan hanya dengan keberanian yang sama, bangsa ini akan kembali menemukan jati dirinya.
***
*) Oleh : Arif Budi Prasetya, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected] juga: Krisis Empati Pejabat Publik
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |