TIMES MALANG, CIREBON – Musibah awal tahun 2025 dan bencana banjir tanah longsor selalu terjadi tiap tahun di berbagai daerah di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa manusia sejatinya diwajibkan untuk selalu menjaga lingkungan dan merawat bumi yang telah diamanahkan oleh Allah swt kepada manusia sebagai pemimpin bumi. Peristiwa bencana banjir dan tanah longsor tidak bisa dilepaskan dari perbuatan tangan manusia.
Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga kebersihan. Rosululllah Nabi Muhammad SAW mengajarkan bagaimana cara menjaga kebersihan terhadap anggota tubuh dan bahkan kebersihan pada lingkungan. Dengan hidup yang bersih akan membawa kebaikan dan menghilangkan dari berbagai penyakit.
Akan tetapi, pertanyaan nya secara filosofis, kenapa umat Islam tidak menganggap penting masalah lingkungan sebagaimana ibadah ritual-individual? Kenapa umat Islam tidak tertarik melakukan penghijauan, kebersihan lingkungan terutama pada sampah organik dan anorganik, dan kegiatan lain yang bernuansa 'ramah lingkungan' dan mencegah berbagai mudarat (ekses negatif) yang mungkin ditimbulkan dari alam yang rusak dan tidak sehat?
Sebaliknya, kenapa umat Islam lebih bergairah dan bersemangat mengikuti aktivitas-aktivitas ritual-keagamaan: pengajian, zikir massal, ceramah, ziarah atau “wisata rohani,” istigasah dan semacamnya? Jawabannya sangat mudah: karena kaum Muslim beranggapan atau tepatnya berkeyakinan bahwa aktivitas ritual-keagamaan inilah yang mendatangkan pahala dan jaminan surga kelak di alam akhirat.
Sementara jika terjadi macam penyakit yang disebabkan oleh sampah yang membuangnya secara sembarangan ini justru merupakan bagian kerusakan lingkungan. Umat Islam dengan enteng menganggapnya sebagai takdir Tuhan.
Sebagai cobaan atau azab dari Tuhan. Tuhan, selain pemerintah, selalu 'dikambinghitamkan” setiap terjadi malapetaka. Hampir-hampir tidak pernah, kita, menuduh diri kita sendiri sebagai subyek yang bertanggung jawab terhadap bencana penyakit, dan keamburadulan lingkungan sekitar.
Karena adanya keyakinan bahwa setiap malapetaka sebagai 'siksa' atau 'cobaan' dari Tuhan, maka setiap kali terjadi bala penyakit, yang dilakukan umat Islam adalah berdoa, mohon ampun, istigasah, atau menggelar zikir massal sambil menangis-nangis. Saya tidak meremehkan aktivitas ritual batin semacam ini.
Akan tetapi 'terapi spiritual' jenis ini di samping merendahkan (bahkan 'mengolok-olok') martabat Tuhan karena menganggap-Nya sebagai zat yang 'Maha Buas', juga dengan cara demikian berarti kita hendak 'cuci tangan' melepaskan tanggung jawab dari musibah kemanusiaan itu.
Padahal, jika kita menggunakan perspektif EF Schumacher dalam "A Guide for the Perplexed", masalah krisis lingkungan akibat pembuangan sampah yang sembarangan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan mentalitas kerdil individu, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi manusia terhadap Tuhan-nya.
Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, maka seharusnya kita manusia dan umat beragama yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan yang dikambinghitamkan.
Manusialah yang membuang sampah seenaknya sehingga lingkungan menjadi kumuh, bau, dan tercemar. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam semesta.
Perusakan lingkungan, pembalakan hutan secara besar-besaran, pembangunan perkampungan liar, pengerukan sumber daya alam, dan segala tindakan merusak alam lain merupakan 'sumber' malapetaka dan bencana tadi.
Oleh karena itu, untuk menghindari malapetaka penyakit yang diakibatkan pembuangan sampah seenaknya, maka Umat Islam wajib memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan. Ada beberapa prinsip dalam menjaga kebersihan.
Pertama, Reduce, Kurangi pemakaian. Kurangi pemakaian barang yang membebani lingkungan: Plastik (terurai 5 abad ) 8 gunakan tas kain untuk belanja, Kertas, tissue (dibuat dg menebang hutan). Hemat menggunakan energi: Air, Bensin, listrik, gas (energi yg tdk dpt diperbarui dan menimbulkan CO2, pemanasan global).
Kedua, Reuse, Pakai Ulang, Pakai ulang untuk keperluan yang bermanfaat. Misal : Botol aqua untuk pot bunga, air bekas wudhu untuk menyiram tanaman dll.
Ketiga, Recycle, daur ulang, Daur ulang. Sampah diolah bukan hanya dibuang begitu saja; Pisahkan sampah organik (kulit buah, sayur, daun, dll), non organik (kertas, plastik,dll) dan sampah B3 (Bahan-Bahan Berbahaya).
Sampah organik yg merupakan 65% sampah keluarga, dapat dibuat mjd pupuk kompos (perilaku ramah lingkungan, menyuburkan bumi dengan sampah). Plastik disedekahkan pada pemulung, kertas didaur ulang, sampah B3 diolah pemerintah.
Keempat, Replant, tanam kembali, Kembali menanam pepohonan di sekitar rumah untuk mengurangi polusi udara, menyehatkan seluruh anggota keluarga, shodaqoh oksigen untuk lingkungan.
Ingatlah, pohon itu bertasbih, pohon menyehatkan, pohon menentramkan jiwa, pohon menyejukkan dan memperindah lingkungan. Sediakan tempat sampah Menjaga kebersihan lingkungan bisa dimulai dari aktivitas sederhana yakni membuang sampah pada tempatnya.
Kita sebagai umat Islam harus membuat rambu-rambu untuk tidak membuang sampah sembarangan dengan media gambar berwarna, sehingga mudah dipahami maksudnya oleh anak-anak. Lakukan pula persuasi atau nasihat langsung yang sifatnya lisan pada anak saat jam istirahat dimulai. Lakukan persuasi ini setiap hari agar tertanam di ingatan anak.
Kita juga harus menyediakan tempat sampah dengan jumlah yang memadai atau sesuai kebutuhan, bila memungkinkan dipisah antara tempat sampah organik atau basah dan tempat sampah nonorganik atau kering.
Budaya saling mengingatkan perlu mengajak sesama umat Islam untuk mengingatkan mereka yang lupa membuang sampah pada tempatnya. Umat Islam dapat memberi pemahaman bahwa kebersihan lingkungan adalah tanggung jawab bersama, sehingga mereka harus saling mewujudkan dan menjaganya.
***
*) Oleh : Syahrul Kirom, M.Phil, Dosen Filsafat Politik, UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |