https://malang.times.co.id/
Opini

Mengembalikan Hukum ke Keberpihakannya

Senin, 17 November 2025 - 22:10
Mengembalikan Hukum ke Keberpihakannya Mashudi, Ketua IKatan Mahasiswa Raas (IMR).

TIMES MALANG, MALANG – Hukum dalam negara demokrasi seharusnya berdiri sebagai pondasi paling kokoh, tempat rakyat menggantungkan harapan terakhir ketika seluruh pintu lain tertutup. Namun dalam realitas hari ini, hukum justru sering muncul sebagai ruang yang paling dipertanyakan legitimasinya. 

Alih-alih menjadi pelindung, hukum kerap terasa seperti instrumen yang lentur mengikuti arah kepentingan, bukan nilai-nilai keadilan yang seharusnya menjadi jiwanya. Situasi ini menggiring masyarakat pada pertanyaan mendasar: apakah hukum masih menjadi penjaga moral publik, atau telah terjerumus dalam orbit kekuasaan yang menundukkan prinsip-prinsip etis?

Ketika publik menyaksikan kasus besar yang melibatkan elit politik berjalan penuh kehati-hatian, bahkan tampak lamban, sementara perkara kecil yang menyangkut rakyat biasa diproses dengan cepat, mereka tak perlu diajari teori hukum untuk memahami bahwa ada ketidaksetaraan yang menganga di hadapan mata. 

Keadilan seolah menjadi barang mewah, dipertontonkan tetapi sulit diakses. Inkonsistensi ini membangun keraguan mendalam terhadap objektivitas penegakan hukum. Masyarakat semakin menyadari bahwa hukum bisa kehilangan arah ketika tarik-menarik kepentingan jauh lebih dominan daripada asas kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.

Masalahnya bukan hanya terletak pada struktur hukum, tetapi juga budaya hukum yang masih terjebak dalam pola feodal. Sebagian pejabat negara dan aparat penegak hukum masih memposisikan diri sebagai pihak yang harus dilayani, bukan yang melayani. 

Dalam ruang seperti itu, hukum menjadi ritual formalitas tanpa moralitas. Aturan yang tertulis begitu indah di atas kertas kehilangan nyawa ketika diimplementasikan oleh mereka yang melihat hukum sebagai kesempatan, bukan tanggung jawab. 

Publik semakin apatis karena terlalu sering melihat aparat justru berada di pusat praktik kecurangan, mulai dari pungutan liar, jual beli perkara, hingga keterlibatan dalam jaringan mafia hukum yang sulit diputus.

Ketika ruang keadilan semakin menyempit bagi rakyat kecil, dampaknya tidak hanya terasa secara hukum, tetapi juga sosial. Akses terhadap bantuan hukum masih terbatas, proses berperkara memakan waktu panjang, dan biaya yang harus ditanggung sering kali tidak masuk akal. Hukum, yang seharusnya hadir sebagai pelindung mereka yang lemah, justru tampak seperti beban yang harus dihindari. 

Pada saat yang sama, regulasi baru yang diterbitkan negara tidak selalu sensitif terhadap kepentingan rakyat kecil. Ada produk hukum yang lebih mencerminkan pesanan kelompok industri besar daripada kebutuhan publik. Akibatnya, rakyat kecil kerap berada pada posisi paling rentan dalam setiap kebijakan yang lahir atas nama pembangunan.

Di tengah semua itu, kebutuhan akan reformasi hukum semakin mendesak. Namun reformasi tidak boleh berhenti pada perubahan regulasi semata. Reformasi harus menyasar mentalitas, etika, dan integritas aparat hukum serta pejabat publik. Tanpa perubahan karakter, aturan apa pun hanya akan menjadi teks yang mudah dimanipulasi. 

Independensi penegak hukum harus dikuatkan tanpa kompromi, karena keadilan tidak akan pernah lahir dari lembaga yang terbelenggu oleh kekuasaan politik dan ekonomi. Begitu pula dengan pembangunan budaya integritas yang harus dimulai dari proses rekrutmen, pengawasan, hingga penegakan sanksi bagi mereka yang menyalahgunakan kewenangannya.

Hukum harus kembali berpihak kepada warga, terutama kelompok rentan. Negara berkewajiban menghadirkan akses yang mudah dan terjangkau terhadap keadilan, bukan membuatnya semakin sulit dijangkau. Penyederhanaan proses peradilan, penguatan lembaga bantuan hukum, serta keberanian menghapus praktek diskriminatif adalah bagian dari upaya mendekatkan hukum kepada rakyat. Sebab, ukuran keberhasilan penegakan hukum bukan seberapa tinggi vonis dijatuhkan, tetapi seberapa aman dan setara warga merasa ketika berhadapan dengan sistem itu.

Jika semua ini dibiarkan tanpa pembenahan, hukum akan kehilangan makna sebagai penjaga martabat manusia. Ia akan menjelma menjadi tembok yang membatasi ruang gerak rakyat, bukan jembatan yang menghubungkan mereka dengan keadilan. 

Kritik terhadap hukum harus dilihat bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai alarm moral yang menunjukkan bahwa negara sedang tidak baik-baik saja. Hukum bukan milik penguasa, bukan milik lembaga, tetapi milik rakyat yang memberi legitimasi bagi keberadaannya. Mengembalikan hukum ke jalur keberpihakannya adalah pekerjaan besar, tetapi itulah satu-satunya jalan untuk memastikan bahwa bangsa ini tidak kehilangan kompas moralnya.

***

*) Oleh : Mashudi, Ketua IKatan Mahasiswa Raas (IMR).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.