TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Persidangan Prapradilan yang diajukan Hasto Kristyanto telah berlangsung sejak tanggal 05 Febuari 2025 dan akan diputuskan besok pada 13 Febuari menjadi panggung perdebatan hukum yang sangat menarik diruang publik.
Beragam dalil argumen kedua belah pihak mampu menghangatkan dan menghidupkan ruang persidangan, kitab perundangan, putusan Mahkamah Konsitusi, dan sumber hukum lainnya senantiasa menjadi tumpuan bersama dalam berdialog.
Meskipun apabila kita mencermati dengan baik tim hukum Hasto tampak lebih unggul dalam meja persidangan dibuktikan dengan saksi ahli yang dihadirkan pihak KPK kerap membenarkan dalil-dalil pemohon.
Keduanya juga menghadirkan ahli dalam menginterpretasi kitab undang-undang dan pokok masalahnya. Penulis tertarik menganalisa mengunakan Hermeneutika Paul Ricoeur seorang filsuf Prancis yang dikenal dengan kajian Hermeneutik dan Fenomenologi teorinya tertuang dalam buku Hermeneutics And The Human Scieneces: Essay On Language, Action, dan Interpretation tahun 1981.
Hal itu membahas dalam tiga domain yakni, Distanciation: Pemisahan Kasus dari Konteks Awal, Dialektika Penjelasan dan Pemahaman, dan Appropriation: Implikasi terhadap sistem hukum dan politi.
Lalu buku Interpretation Theory: Discoure and The Surplus Of Meaning Tahun 1976 akan menyoroti Explanation: Analisa Obyektif terhadap Fakta dan terakhir yang tertuang dalam buku The Conflict of Interpretations: Essay in Hermeneutics tahun 1974 akan menyoroti Understanding: Pemahaman Kontekstual dan Simbol.
Distanciation: Pemisahan Kasus dari Konteks Awal
Hermeneutika, Paul Ricoeur menekankan pentingnya kasus dari individu atau kelompok tertentu agar dapat dianalisis secara obyektif. Dalam konteks ini, keputusan KPK harus dipisahkan dari sosok Hasto Kristyanto dan dilihat sebagai sebuah tindakan hukum yang harus memenuhi asas legalitas. Tentu hal ini bertujuan untuk menghindari penilaian yang bias akibat faktor eksternal, seperti dinamika politik atau tekanan publik.
Dalam prapradilan, tim Hukum Hasto berfokus pada keabsahan surat perintah penyidikan (Sprindik) yang dikeluarkan KPK. Mereka menegaskan bahwa KPK menetapkan Hasto sebagai tersangka tanpa adanya proses penyelidikan dan penyidikan yang sah.
Jika klaim ini benar, maka keputusan KPK dapat dianggap melanggar prinsip Due Process Of Law, yang mengharuskan setiap tindakan hukum dilakukan sesuai dengan prosedur dilakukan sesuai dengan prosedur yag telah ditetapkan.
Disisi lain, publik dan media telah lebih dahulu membentuk narasi yang mengarahkan opini bahwa kasus ini merupakan bagian dari upaya penegakan hukum yang sah, kendati dalam publikasi TV perdebatan antara tim pihak hasto dan tim pihak KPK terus berdebat seru yang juga kerap diperkuat dengan pengamat dan ahli hingga pada proses pembelahan opini di ruang publik yang amat kuat.
Padahal, jika proses penetapan tersangka tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, maka hal ini akan menjadi preseden buruk untuk kesekian kalinya dalam sitem hukum di Indonesia. Oleh karena itu, pemisahan antara hukum dan opini publik menjadi krusial atau penting sekali sebagai gambaran yang obyektif dalam perkara ini.
Atas keadaan diatas, terdapat adagium yang menarik, “Nullum Crimen Sine Lege” artnya, “Tidak ada Kejahatan tanpa hukum” dengan demikian menjadi sangat relevan dalam keadaan ini. Jika hukum tidak dijalankan dengan prosedur hukum yang benar.
Maka seorang tidak bisa dianggap bersalah hanya karena dasar asumsi atau tekanan dari opini publik, sebagai contoh kasus vina Jawa Barat tidak berakhir dengan sempurna akibat tekanan kepentingan dan politik yang sangat kuat.
Oleh karena itu, dalam rangka menilai kasus ini secara murni dari aspek hukum tanpa terpengaruh faktor eksternal menjadi suatu keharusan atau dengan bahasa lain permasalahan hukum sebisa mungkin dihindarkan oleh politik.
Dialektika Penjelasan dan Pemahaman
Memasuki tahapan berikutnya, Hermeneutika Ricoeur ini akan melibatkan dialektika antara penjelasan dan pemahaman. Dalam perkara ini, penjelasan akan berfungsi untuk menggali aspek prosedural dan subtansi hukum dalam proses penetapan tersangka Hasto, sementara pemahaman berperan dalam melihat bagaimana konteks politik dan opini publik membentuk narasi kasus ini sendiri.
Tim hukum Hasto Kristyanto tampaknya mengunakan pendekatan sistematis dalam membongkar ragam kejanggalan proses hukum yang ditempuh KPK. Misalnya melalui dalil hukum yang kuat, mereka secara teoritis dan akademis mempertanyakan legalitas dua sprindik yang dikeluarkan oleh KPK dalam proses penersangkaan.
Termasuk dugaan bahwa prosedur yang telah dilanggar KPK mampu menggugurkan keabsahan status tersangka yang telah disematkan kepada Hasto Kristyanto. Sementara dalam persidangan tim hukum KPK selalu menerangkan bahwa putusan tersebut sudah sesuai dengan mekanisme hukumnya.
Sangat disayangkan tim hukum dan Ahli KPK tidak mampu menarasikan argumentasi dalam membantah dalil pemohon dengan baik dan panggung persidangan selalu di kuasai oleh tim hukum Hasto. Yang akhir prilaku persidangan ini secara langsung dan tidak langsung membantah framing negarif terhadap Hasto Kristyanto.
Namun demikian, di sisi lain, pemahaman terhadap kasus ini tidak bisa dilepaskan dari realitas politik dan pengaruh media. Berdasarkan pencermatan penulis telah sempurnalah opini publik melalui jalan media dalam membangun persepsi publik terhadap kasus Hasto Kristyanto dan KPK.
Pembelahan opini publik yang didriver oleh media masa sekurang-kurangnya terdapat dua persepsi pertama persepsi kriminalisasi dan politisasi terhadap Hasto Kristyanto yang kedua persepsi bahwa Hasto Kristyanto bersalah dan melawan KPK.
Kendati, pada persepsi kedua sedikit lemah karena tuduhan publik kurang sepenuhnya tepat sasaran tak mampu disangkal Hasto dengan tertib mengikuti berita acara yang dilaksanakan KPK sedari awal. Sehingga dialektika antara penjelasan hukum dan pemahaman sosial berjalan beriringan agar tidak bias dalam melihat kasus ini.
Melihat potret tersebut ada adagium menarik yang disematkan kepada Hasto Kristyanto yakni, “Veritas Vos Liberabit” yang artinya “kebenaran akan membebaskanmu” kenapa demikian hal ini sejalan dengan perlakuan Hasto terhadap KPK sedari awal.
Hasto tidak pernah mundur selangkah pun dalam menjalani proses hukumnya ia mampu berdiri dengan gagah dan siap dengan segala resiko yang akan ia trima. Fakta dan hukum akhirnya harus dipisahkan dari kepentingan politik agar keadilan bisa ditegakkan tanpa tekanan dari siapapun dan dari manapun.
Explanation: Analisa Obyektif terhadap Fakta
Memasuki tahapan berikutnya, Pada tahap ini, analisis akan difokuskan pada fakta-fakta hukum yang terungkap laksana cahaya sebagaimana tujuan persidangan kebenaran harus seterang cahaya. Tim hukum Hasto akan berusaha sekuat mungkin membuktikan bahwa sprindik yang dikeluarkan oleh KPK tidak sah.
Karena tidak melalui proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana Hasto belum pernah dipanggil dalam hal ini melainkan sprindrik yang dikeluarkan ialah proses penersangkaan. Mereka akan menghadirkan beragam argumen hukum serta bukti yang menunjuhkan bahwa adanya sprindik putusan tersebut catat prosedur dan tidak sah.
Hingga titik ini, menariknya saksi ahli yang dihadikrkan oleh pihak KPK sendiri cenderung langsung maupun tidak langsung membenarkan dalil-dalil pemohon, yang memperkuat argumen bahwa KPK berpotensi melanggar Prosedur Hukum.
Faktanya bahwa KPK juga belum pernah mampu menangkap Harun Masiku sebagai biang kerok dari masalah ini, hampir lima tahun tak kunjung ditemukan. Artinya ini menguatkan dugaan bahwa ada permasalahan serius dalam manegemen menyelesaikan perkara di internal KPK sendiri.
Hingga situasi ini mampu membuka kemungkinan bahwa penetapan tersangka terhadap Hasto tidak semata-mata berlandaskan hukum melainkan dipengaruhi oleh faktor lain.
Dalam perspektif Hermeneutik Ricoeur, analisis terhadap suatu kasus atau perkara harus mampu mengungkap sebuah hubungan antara teks hukum dengan realitas sosia-politik yang melingkupinya.
Dalam kasus ini, fakta hukum menunjuhkan bahwa terdapat kelemahan dalam prosedur KPK yang mampu berdampaki pada hasil persidangan esok. Dengan demikian, sekiranya penting untuk menilai apakah tindakan KPK benar-benar berdasarkan hukum atau justru melanggar hukum dan asas keadilan.
Mencermati diatas, terdapat adagium menarik yang patut ada dalam perjalanan hingga titik ini, “Actori Incumbit Probatio” yang artinya “Beban Pembuktian ada pada yang menuduh” tibalah kita melihat dan mengkritisi KPK sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan sprindik.
Jika KPK tidak mampu membuktikan di meja persidangan bahwa mereka telah menajalankan proses prosedur yang benar berdasarkan hukum, maka bisa dipastikan keabsahan keputusan mereka dipertanyakan lalu Prapradilan yang diajukan pemohon berpotensi besar di kabulkan.
Understanding: Pemahaman Kontekstual dan Simbolik
Memasuki tahap ini, pemahaman akan membantu melihat bagaimana kasus ini bukan sekedar persoalan hukum, melainkan memiliki dimensi politik dan simbol yang lebih dalam. Fakta dalam persidangan tim hukum Hasto telah mencerminkan persiapan yang matang dalam pelbagai aspek.
Misalnya aspek akademik, tim Hukum Hasto sebelum sidang Prapradilan telah dipandu kegiatan Focus Discussion Groub (FGD) yang melibatkan pakar dan ahli dalam melihat persoalan Hasto tersebut.
Kedua, kemampuan memukau tim Hukum Hasto dalam beretorika diruang sidang terlepas hakim sendiri memberi dan mendorong terjadinya perdebatan berbasis intelektual. Tentu rangkaian persiapan yang dilakukan secara mandiri ini menjadi awal menuju hasil putusan kedepan.
Selanjutnya, kemampuan dalam menyiapkan alat bukti, saksi ahli dan retorika persiangan pihak KPK terlihat kurang baik bagi orang yang mendengarkan dan atau menyaksikan langsung persidangan tersebut.
Menurut penulis dalam ajang persidangan ini telah dimenangkan oleh pihak hukum Hasto Kristyanto kendati framing media terhadap Hasto sejak awal kasus sudah bernada negatif dan mungkin dapat dikatakan telah sempurna dalam membangun persepsi opini publik bahwa dirinya bersalah.
Meskipun proses hukum masih berlangsung dan tampaknya tim Hukum Hasto menghiraukan aspek ini dan lebih mengfokuskan pada proses hukum dan prosedur hukum hal ini dibuktikan. Kendati, diberitakan negatif tim Hukum Hasto terus merespon dengan bijak atau pelukan hangat dan menghindari narasi amarah.
Hingga dititik ini dapat terlihat bagaimana opini publik kerap dipengaruhi oleh narasi media daripada fakta hukum yang sebenarnya. Senada hal tersebut, langkah tim hukum Hasto sepertinya berusaha bijaksana dalam menanggapi beragam tanya dari awak media misalnya tidak terlampau menyerang KPK kecuali pada dua sprindik yang dikeluarkan KPK yang kedua tidak mempengaruhi Hakim.
Artinya, kemampuan menempatkan diri ini sangat penting. tentu menjadi penting dalam memahami kasus ini hukum yang adil harus mampu memberikan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk menyampaikan belaan tanpa dipengaruhi oleh framing media atau tekanan politik dari luar.
Appropriation: Implikasi Terhadap Sistem Hukum Dan Politik
Putusan Prapradilan terhadap Hasto Kristyanto ini tentu akan membawa dampak luas terhadap sistem hukum dan politik di Indonesia, bagaimana tidak kasus semacam ini kerap terjadi. Jika permohonan pemohon dikabulkan, tentu maka akan menjadi preseden penting bahwa lembaga penegakan hukum termasuk KPK.
Kedepan harus dan wajib menaati proses prosedural hukum yang benar sebelum menetapkan seorang menjadi tersangka. Sebaliknya, jika ditolak. Maka tentu akan melahirkan kekhawatiran akan praktik hukum yang mungkin cenderung represif kian akan meningkat kuat.
Tentu ini menjadi tugas penting bagi Presiden Prabowo Subianto kendati ketua KPK dipilih pada zaman presiden Jokowi namun kita hidup di era Presiden Prabowo, artinya koreksi mendalam atas kinerja KPK patut dievaluasi besar-besaran, agar Presiden Prabowo tidak terbebani dalam situasi ketidakpastian global hari ini.
Selanjutnya, implikasi hukum dari kasus ini juga mampu menyentuh kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Jika hukum dapat digunakan sebagai alat politik, maka tentu prinsip keadilan yang seharusnya menjadi pijakan utama akan bergeser oleh kepentingan kekuasaan dan atau yang mengendalikan penguasa.
Konteks ini senada dengan adagium yang berbunyi, “Ubi Jus Ibi Remedium” yang berarti “dimana ada hak, di situ ada obatnya” tentu menjadi sangat relevan sistem hukum yang adil harus memberi perlindungan bagi setiap indivdu yang hak-haknya telah dialnggar.
Dalam hal ini adalah nama baik Hasto Kristyanto langsung dan tidak langsung atas dugaan kasus yang menerpa dia memiliki implikasi nama baiknya menjadi buruk dimata publik maka KPK dan negara harus memberikan pemulihan nama baik tersebut guna mengembalikan seperti semula.
Selain implikasi diatas, terdapat pula implikasi politik dari kasus ini yang memiliki potensi mempengaruhi stabilitas demokrasi, jika hukum condong ke arah politisasi.
Maka opsisi politik tentu dapat menjadi target kriminalisasi dengan alasan hukum yang dipaksakan. Tentu hal ini dapat menciptakan ketakutan di kalangan elite politik dan potensi merusak tatanan demokrasi yang kita inginkan.
Dengan demikian, kasus ini bukan hanya tentang seorang Hasto Kristyanto tetapi juga tentang bagaimana sistem hukum dan politik Indonesia yang harus di uji alam menjaga integritasnya. Jika Prapradilan ini mampu mengoreksi proses Prosedural hukum yang keliru.
Maka hal ini akan menjadi langkah maju atau visioner senada dengan visi Presiden Prabowo dalam menegakan supremasi hukum yang adil dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam kasus Prapradilan Hasto Kristyanto telah menunjuhkan bagaimana hukum, politik, dan media saling berkelindan dalam membentuk persepsi publik. Namun dengan mengunakan Hermeneutika Paul Ricoeur.
Kita dapat dengan jernih memahami bahwa penegakan hukum tidak hanya bergantung pada aspek prosedural, melain juga dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik yang senantiasa menyertainya. Jika hukum tidak ditegakan secara trasnparan dan sesuai prosedur, maka kepercayaan terhadap lembaga pengadilan akan semkain tergerus.
Barang kali adagium “Fiat Justia Ruat Caelum” yang artinya “Hendaknya keadilan ditegakan walaupun langit akan runtuh” adagium ini sangat mengambarkan proses pergolakan dinamika penegakan hukum yang terjadi di Indonesia.
Prinsip ini juga menegaskan bahwa supremasi hukum harus dijaga tanpa adanya intervensi politik dan tekanan darimana pun dan siapapun.
Dengan demikian, putusan Prapradilan besok ini bukan hanya tentang status hukum Hasto Kristyanto semata melainkan akan menjadi barometer bagi independensi KPK dan Peradilan di Indonesia.
***
*) Oleh : Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |