https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Masa Depan Pilpres Tanpa Ambang Batas

Jumat, 03 Januari 2025 - 17:58
Masa Depan Pilpres Tanpa Ambang Batas Heru Wahyudi, Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang.

TIMES MALANG, TANGERANG – Presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sudah lama menjadi bola panas dalam sistem politik Indonesia. Ketentuan ini, yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, mensyaratkan partai politik atau gabungannya untuk memperoleh minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara nasional guna mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Aturan ini sudah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 27 kali, bukti tingginya polemik yang menyertainya.

Pendukung aturan ini berdalih bahwa ambang batas perlu untuk memperkuat sistem presidensial dan menyederhanakan sistem kepartaian. Dari membatasi jumlah calon presiden, kualitas kepemimpinan nasional harapannya meningkat. Kendati, penentang menilai bahwa aturan ini membatasi hak konstitusional partai politik dan rakyat, kontradiksi dengan semangat demokrasi yang dijamin oleh UUD 1945.

Puncak dari silang pendapat ini terjadi pada awal 2025 ketika MK memutus bahwa ketentuan presidential threshold bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXI/2023, MK menyatakan aturan ini tidak punya kekuatan hukum mengikat. 

Sidang MK pada 2 Januari 2025 menegaskan bahwa aturan tersebut melanggar Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menjamin kedaulatan rakyat. MK menganggap aturan ini mencederai esensi demokrasi, menghambat hak politik rakyat, dan berpotensi memecah belah masyarakat melalui polarisasi politik.

Dampak 

Penghapusan ambang batas ini memberi peluang kepada semua partai politik peserta pemilu, tanpa memandang besar kecilnya, untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini diyakini bisa memperluas pilihan rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi. Walau, perubahan ini tidak tanpa risiko. 

Penghapusan ambang batas berpotensi memunculkan banyak pasangan calon, yang bisa membingungkan pemilih dan mengurangi efisiensi pemilu. Untuk itu, MK merekomendasikan pembuat undang-undang merancang mekanisme untuk mencegah lonjakan jumlah pasangan calon, tanpa mengorbankan esensi demokrasi.

Partisipasi partai kecil dalam kontestasi politik nasional menjadi salah satu imbas positif dari putusan ini. Setiap partai kini punya kesempatan setara untuk mengusung calon pemimpin terbaiknya. Semangat demokrasi sejati, di mana setiap suara dihargai sama, semakin kuat. 

Selain itu, harapannya yakni polarisasi yang sering terjadi dalam pemilihan dengan cuma dua atau tiga pasangan calon bisa berkurang. Masyarakat tak lagi terjebak dalam dikotomi hitam-putih, malahan punya spektrum pilihan yang lebih luas.

Tantangan 

Meski demikian, problem besar muncul dengan potensi banyaknya pasangan calon. Jika tidak diatur dengan baik, hal ini bisa menyebabkan fragmentasi suara dan melemahkan stabilitas sistem politik. 

Pemerintah dan DPR sejatinya segera merevisi UU Pemilu untuk mengatasi potensi masalah ini. Revisi undang-undang mesti melibatkan partisipasi publik, termasuk masukan dari partai non-parlemen dan masyarakat sipil, untuk memastikan proses ini inklusif dan demokratis.

MK juga memberi kebijakan yang tegas, termasuk penghapusan persyaratan minimal 20% kursi DPR atau 25% suara nasional. Dengan demikian, partai kecil kini punya peluang besar untuk terlibat aktif dalam pemilu. 

Kendati, MK juga mengingatkan bahwa kebebasan ini mesti diimbangi dengan tanggung jawab. Sebagai cara antisipasi, MK merekomendasikan pemberian sanksi bagi partai yang tidak mengusulkan pasangan calon, misalnya dilarang mengikuti pemilu berikutnya.

Kolaborasi 

Keputusan MK ini dianggap sebagai angin segar bagi demokrasi Indonesia. Walau, implementasi putusan ini butuh kolaborasi antara DPR, pemerintah, dan masyarakat. Upaya bersama perlu untuk memastikan manfaat dari penghapusan ambang batas ini bisa dirasakan secara optimal tanpa mengorbankan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan.

Singkat kata, putusan MK ini membuka peluang baru bagi demokrasi yang lebih inklusif dan substantif di Indonesia. Persoalan berikutnya yakni bagaimana semua pihak bisa memanfaatkan peluang ini untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas dan menjaga stabilitas politik. 

Sebagai warga negara Indonesia, sejatinya kita semua punya tanggung jawab untuk mengawal proses ini agar cita-cita demokrasi sejati dapat terwujud. (*)

***

*) Oleh : Heru Wahyudi, Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.