TIMES MALANG, MALANG – Puasa Ramadan adalah menahan diri dari makan, minum dan segala sesuatu yang membatalkan puasa pada siang hari Ramadan dengan cara dan ketentuan tertentu yang telah diatur oleh Syara'.
Di antaranya adalah: orang yang berpusa Ramadan harus melakukan niat puasa pada setiap malamnya, niat puasa ini bisa dilakukan mulai terbenamya matahari atau masuk waktu Maghrib sampai sebelum terbitnya fajar yakni waktu Shubuh, sehingga bila seseorang tidak melakukan niat baik disengaja ataupun lupa maka puasanya tidak sah namun dia harus tetap menahan makan minum juga menahan darisegala sesuatu yang membatalkan puasa, meskipun dikemudian hari dia tetap wajib mengqadha puasa yang telah ditinggalkanya tersebut.
Perkara yang membatalkan puasa telah banyak disebutkan dalam kitab kuning atau kitab agama Islam lainya, diantaranya adalah: Masuknya sesuatu ke dalam tubuh secara sengaja, Berobat dengan cara memasukkan obat atau benda melalui qubul (lubang bagian depan) atau dubur (lubang bagian belakang), Muntah dengan cara disengaja, Melakukan jima (hubungan intim/biologis) atau hubungan suami istri di siang hari Ramadan yang menyebabkan kewajiban kafarat jima, Keluar air mani (sperma) sebab bersentuhan kulit, Haid atau nifas, Mengalami gangguan jiwa (junun) atau pingsan, dan Murtad atau keluar dari agama Islam (semoga kita semua diajuhkan dari murtad).
Di antara beberapa perkara yang membatalkan puasa yang telah disebutkan diatas, ada perkara yang bila dilakukan, selain orang tersebut wajib mengqadha puasa yang telah dia batalkan, orang tersebut juga mendapat sangsi kafarat jima, yakni kafarat bagi orang yang mebatalkan puasanya dengan sebab jima, sangsi ini diberlakukan jika jima dilakukan dengan sengaja, mengetahui akan keharamannya , dilakukan atas kemauan sendiri pada siang hari bulan Ramadan, dan dengan jima yang diharamkan karena menodai kehormatan bulan Ramadan,
Dari ketentuan diatas bisa kita uraikan sebagai berikut:
1. Jimak tersebut membatalkan puasa, maka mengecualikan bila jimak yang tidak membatalkan, semisal tidak sengaja karena dalam keadaan tidur pulas
2. Kafarat jima ini berlaku bila puasa yang ditinggalkan adalah puasa wajib Ramadan yang dilaksanakan pada bulan Ramadan, maka mengecualikan puasa wajib selain puasa wajib Ramadan atau puasa qadha Ramadan yang dilaksanakan diselain bulan Ramadan.
3. Hari yang batal karena jima adalah satu hari penuh, maka mengecualikan bila orang yang jimak tersebut, pada hari itu meninggal atau gila sebelum terbenamnya matahari, sehingga tidak wajib kafarat jima padanya.
4. Puasa tersebut batal karena jima, maka mengecualikan bila sebelum jima orang tersebut makan atau minum terlebih dahulu.
5. Betul betul terjadi jima, yakni kepala kemaluan masuk secara keseluruhan maka apabila kepala kemaluannya tidak masuk keseluruhan dia tidak berkewajiban melaksanakan kafarat jima, bahkan puasanya tidak batal.
6. Kafarat jima ini berlaku pada jima yang hukumnya dosa karena membatalkan dan menodai bulan Ramadan, maka dikecalikan bila jima tersebut dilakukan oleh orang yang melakukan perjalanan/ musafir yang telah mendapatkan kemurahan yang memperbolehkan untuk meninggalkan puasa.
7. Dosa jima tersebut karena telah membatalkan puasa dan menodai bulan Ramadan, maka mengecualikan bagi orang yang bezina dalam keadaan musafir pada bulan Ramadan, dia tidak wajib melaksanakan kafarat jima karena dosa yang dia dapat bukan karena membatalkan puasa, akan tetapi karena zinanya, semoga kita semua dijauhkan dari perbuatan zina.
8. Tidak adanya subhat atau keraguan, maka tidak wajib melaksanakan kafarat jima bagi orang yang melakukan jima karena dia mempunyai persangkaan bahwa ketika dia melakukannya sudah masuk waktu maghrib.
Bila seseorang membatalkan puasa Ramadan dengan jima yang telah sesuai dengan perician ketentuan diatas, maka dia menanggung lima sangsi sebagi berikut:
1. Mendapatkan dosa.
2. Wajib menahan diri dari segala yang membatkan puasa sepanjang hari meskipun puasanya sudah batal.
3. Wajib dita'zir, yaitu hukuman dari hakim jika tidak bertaubat.
4. Wajib mengqadha.
5. Membayar kafarat udhma, yaitu salah satu dari tiga perkara secara berurutan. Sehingga tidak boleh melakukan tingkatan kafarat jima yang kedua kecuali sudah tidak mampu melakukan kafarat tingkat pertama, adapun urutan kafarat jima adalah sebagai berikut :Memerdekakan budak mukmin, bila tidak mampu mememerdekakan budak maka bisa beralih pada kewajiban Puasa dua bulan berturut-turut, namun bila setelah mencoba untuk berpuasa dua bulan berturut turut karena factor sepuh, sakit atau factor yang lain maka boleh beralih pada ketentuan kafarat jima yang ketiga yakni memberi makan enam puluh orang miskin. Setiap orang satu mendapatkan satu mud.
Ketentuan kewajiban Kafarat jima ini hanya deperuntukkan bagi seorang laki-laki saja dan tidak diwajibkan pada seorang perempuan, hal ini dikarenakan orang yang puasanya batal dikarenaka jima adalah hanya laki-laki saja, beda halnya dengan seorang yang perempuan, karena sebelum terjadi jima, puasa perempuan telah batal karena telah kemasukan benda asing yakni kemaluan laki-laki.
Jumlah kafarat akan bertambah atau berlipat sesuai dengan jumlah hari yang telah dibatalkan karena jima, sehinga semisal ada lima hari yang batal karena jima, maka dia juga bekewajiban untuk melaksanan lima kali kafarat jima sesusai dengan jumlah hari yang telah batal karena jima.
Demikian ketentuan kafarat jima bagi orang yang membatalkan puasanya dengan jima yang sesuai ketentuan, semoga kita dapat melaksanakan ibadah puasa bulan Ramadan ini dengan baik,tidak ada yang batal seharipun kecuali ada udzur Syar'i yakni alasan diperbolehkan untuk tidak berpuasa secara ketentun hukum Islam, Wallahu 'Alam Bisshowab.
***
*) Oleh: Ulul Bashoir Al Murtadlo,S.Pd, Ketua Bidang Bahtsul Masail dan Pengembangan kitab kuning LBM PCNU Kabupaten Malang, Pengasuh Pondok Pesantren Al Fuqoha' Gampingan Pagak Malang, Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Ronny Wicaksono |