TIMES MALANG, JAKARTA – Orang Kristen, dari tahun ke tahun, merayakan natal sebagai peringatan kelahiran Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia. Lebih dari sekadar kenangan akan kelahiran, momentum natal juga merupakan saat-saat berahmat di mana para pengikut Kristus berrefleksi-aktif akan kehidupan sebagai manusia yang tengah hidup bersama yang lain.
Di tengah dunia yang sedang terluka akibat permusuhan antar manusia, hilangnya respek terhadap sesama, perdagangan manusia yang terjadi di mana-mana, rusaknya alam, terpinggirnya orang-orang lemah dalam kehidupan sosial (politik), refleksi dibutuhkan, tetapi aksi nyata mesti beriringan.
Kita kerap menganggap orang-orang yang berasal dari latar belakang berbeda sebagai penghambat persatuan. Padahal, persatuan sama sekali tidak ditandai oleh ketiadaan perbedaan. Keadaan ketiadaan perbedaan bahkan tidak pernah ada di sisi di dunia mana pun.
Perbedaan, baik itu budaya, keyakinan atau kepercayaan, bahkan ideologi/pemikiran adalah faktum pluralitas yang secara integral membentuk masyarakat manusia. Ia menubuh secara permanen dan oleh karena itu, adalah keliru jika orang mendepaknya.
Ketiadaan respek terhadap faktum pluralitas inilah yang menjadi tantangan kehidupan sosial, terutama di negara kita yang berbineka.
Perjumpaan
Apa itu perjumpaan? Dan mengapa mesti berjumpa? Apa yang setiap orang Kristen mesti jumpai?
Sejatinya kita menghidupi perjumpaan setiap waktu. Kita berjumpa dengan orang lain, dengan perbedaan-perbedaan yang melekat padanya. Bukan hanya karena persamaan maka kita berjumpa, melainkan karena perbedaan pulalah yang menarik kita untuk mendekatkan diri dengan orang lain. Itu berarti, perjumpaan antarmanusia merangkum seluruh keberadaan kemanusiaannya.
Dalam paradigma pluralistik, berjumpa tidak harus menyatu. Tetapi perjumpaan bisa menyatukan. Orang Kristen bisa berjumpa orang Islam, misalnya, tanpa harus menghilangkan kekristenan dan keislman. Dalam konteks Indonesia, realitas plural mendesak setiap orang untuk hidup bersama, berjumpa dengan perbedaan-perbedaan.
Melalui perjumpaan, dalam banyak hal, keduanya bisa mengikat prsaudaraan, menciptakan perdamaian, memperat kerukunan, tetapi tidak mengubah dan meleburkan pandangan dogmatik keyakinan. Artinya, dalam perjumpaan, ada perbedaan yang dijaga tetapi juga ada upaya menemukan benang merah yang bisa mengikat persaudaraan dan menjaga keharmonisan. Melalui perjumpaan, dua entitas berbeda tetap otentik serentak saling memperkaya satu sama lain.
Teladan Yesus
Kita perlu memahami arti kelahiran Yesus ke dunia di mana Ia mengambil rupa seorang manusia sederhana yang lahir di kandang melalui rahim seorang perempuan bernama Maria. Meski lahir dari rahim manusia, Gereja meyakini, Ia adalah Allah sekaligus manusia.
Ia adalah Allah yang menjelma menjadi manusia, bersolider dengan manusia, mengalami penderitaan demi menebus kesalahan-kesalahan manusia. Karena itu, Ia adalah Allah yang begitu dekat karena menyerupai kita.
Dari kemanusiaan Yesus, kita belajar menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia yang menghargai kemanusiaannya. Menghargai kemanusiaan mempunyai konsekuensi penting. Itu berarti, pertama, ia harus menempatkan manusia yang lain setara dengannya. Tak ada tingkatan kemanusiaan. Semua manusia sama.
Konsekuensi kedua, ia akan menjadi adil dalam tindakan. Itu berarti, tidak ada lagi kekerasan terhadap kemanusiaan, tiada lagi marginalisasi terhadap orang-orang kecil dan sederhana, lenyapnya kekerasan berkedok agama, hilangnya intoleransi dalam kehidupan sosial, tak akan ada lagi pembatasan terhadap kebebasan hak hidup orang lain dalam bentuk apa pun.
Kelahiran Yesus adalah juga kelahiran kita, umat kristiani. Dalam artian ini, kita mesti lahir kembali meski terpuruk berkali-kali; bangkit walau jatuh untuk ke sekian kali. Sebagai manusia yang tengah berproses “menjadi” (on going process), jatuh dan bangun adalah realitas kita.
Kita mesti bisa bangun lagi dari keterlenaan dan dari keadaan lunturnya kadar kepedulian terhadap kemanusiaan dan alam. Kita menyadari perjumpaan pertama-tama dengan diri kita sendiri, sesama dengan pelbagai perbedaan yang melekat padanya, dengan alam yang memungkinkan tindakan perjumpaan terlaksana, dan dengan Tuhan yang menjadikan dan memungkinan segala sesuatu ada.
***
*) Oleh : Astra Tandang, S.IP., MA., Sekretaris Jendral PP PMKRI Periode 2024-2026.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |