TIMES MALANG, MALANG – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia menjadi isu yang memicu perdebatan di berbagai kalangan. Kebijakan yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pembangunan nasional ini dinilai oleh sebagian pihak justru menambah beban bagi masyarakat dan sektor usaha, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi. Kenaikan tarif Pajak PPN ini telah menjadi sorotan tajam di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara.
Dimulai pada 11 April 2022 tarif PPN dinaikkan dari 10% menjadi 11%, kini sudah resmi dinaikkan kembali hingga 12% yang akan di berlakukan mulai 1 Januari 2025.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan kebijakan tarif PPN 12% ini telah sesuai sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat keuangan negara, akan tetapi juga menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan pelaku usaha, banyak pihak menilai bahwa kenaikan ini dapat menjadi beban tambahan di saat daya beli belum sepenuhnya pulih.
Kebijakan kenaikan PPN merupakan bagian dari reformasi sistem perpajakan yang diatur dalam UU HPP. Pemerintah beralasan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% sebagai langkah untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendukung pelaksanaan program pembangunan nasional.
Kenaikan PPN 12% per 2025 membuat indonesia menempati posisi PPN tertinggi di ASEAN bersama Filipina. Mengutip data dari Worldwide Tax Summaries yang dirilis oleh kompas.com; berikut adalah daftar tarif PPN di negara-negara ASEAN:
Filipina 12%, Indonesia 11% (naik menjadi 12% pada 2025), Kamboja 10%
Laos 10%, Malaysia 10% (pajak penjualan) dan 8 % (pajak layanan), Vietnam 10% (turun menjadi 8% hingga Juni 2025), Singapura 9%, Thailand 7%
Myanmar 5%, Brunei 0%, Timor Leste: 0% (dalam negeri) dan 2,5% (barang/jasa impor).
Dalam konteks regional, Indonesia dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN menghadapi tantangan serius, terutama jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita negara ini, yang jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Kebijakan ini dinilai tidak hanya berpotensi membebani masyarakat berpenghasilan rendah tetapi juga dapat melemahkan daya saing Indonesia di kawasan.
Meskipun memiliki tujuan yang jelas, kebijakan ini menimbulkan dampak yang signifikan bagi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. PPN adalah jenis pajak konsumsi yang bersifat regresif, artinya beban pajak yang ditanggung oleh masyarakat tidak proporsional terhadap pendapatan mereka. Akibatnya, kelompok berpenghasilan rendah lebih merasakan dampaknya dibandingkan kelompok kaya.
Kenaikan PPN berdampak langsung pada harga barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok yang tidak dikecualikan dari pajak. Meskipun beberapa barang seperti beras, sayur-mayur, dan layanan pendidikan bebas dari PPN, harga barang lain yang dikenakan pajak turut mengalami kenaikan. Hal ini secara tidak langsung menekan daya beli masyarakat, yang sebelumnya sudah terpukul akibat pandemi.
Selain masyarakat, pelaku usaha juga merasa terbebani oleh kebijakan ini. Usaha kecil dan menengah (UKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, menghadapi tantangan besar akibat kenaikan harga bahan baku dan penurunan daya beli konsumen.
Polemik seputar kenaikan PPN tidak terlepas dari kritik terhadap waktu dan implementasi kebijakan ini. Pertanyaannya apakah dengan menaikkan PPN adalah langkah yang tepat menurut pemerintah di tengah pemulihan ekonomi? atau justru hal ini memperbesar risiko ketimpangan ekonomi, terutama ketika tidak diimbangi dengan kebijakan redistribusi yang memadai.
Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana pajak menjadi isu yang tak kalah penting. Masyarakat ingin memastikan bahwa penerimaan negara dari PPN benar-benar digunakan untuk pembangunan yang nyata, seperti perbaikan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan. Jika tidak, kepercayaan terhadap pemerintah dapat semakin menurun.
Sekalipun pemerintah telah meredam dampak kenaikan PPN berupa kebijakan mitigasi seperti barang kebutuhan pokok, layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial tetap bebas dari PPN. Serta, pemerintah menjanjikan program perlindungan sosial yang lebih kuat untuk membantu masyarakat rentan menghadapi tekanan ekonomi.
Akan tetapi upaya tersebut, menurut penulis tidak sebanding dari dampak kenaikan PPN 12% per januari 2025, sebab lebih besar ke pelemahan daya beli dibanding stimulus ekonomi yang sifatnya parsial dan temporer.
Kebijakan insentif pajak yang diberikan pemerintah di tengah kenaikan tarif PPN tahun depan hanya berorientasi untuk jangka pendek dan tidak menawarkan kebaruan karena hanya mengulang insentif yang sudah ada. Bentuk bantuannya juga hanya bersifat temporer seperti diskon listrik dan bantuan beras 10 kg yang hanya berlaku 2 bulan.
Sebaliknya, efek negatif kenaikan tarif PPN 12% ini akan berdampak jangka panjang. Serta menurut penulis, kebijakan ini dinilai belum cukup untuk mengatasi masalah secara keseluruhan. Perlindungan sosial yang ada sering kali tidak tepat sasaran, sehingga banyak kelompok rentan yang tidak menerima manfaat yang semestinya.
Di sisi lain, negara-negara seperti Singapura dan Malaysia memiliki sistem perlindungan sosial yang kuat dan efektif dalam mendistribusikan kembali pendapatan kepada masyarakat yang membutuhkan. Seharusnya Indonesia perlu belajar dari negara-negara ini untuk memastikan bahwa penerimaan pajak digunakan secara tepat sasaran.
Alih-alih menaikkan PPN, pemerintah sebaiknya mencari alternatif lain untuk meningkatkan penerimaan negara, seperti:
Pertama, Memperluas Basis Pajak. Meningkatkan jumlah wajib pajak melalui reformasi administrasi dan penegakan hukum.
Kedua, Mengurangi Penghindaran Pajak. Memperketat pengawasan terhadap praktik penghindaran pajak oleh individu dan perusahaan besar.
Keempat, Meningkatkan Efisiensi Belanja Negara. Mengurangi pemborosan dan memastikan alokasi anggaran yang tepat sasaran.
***
*) Oleh : Abdul Manan, S.H., Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |