https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Pajak 12 Persen: Kecil di Kertas, Berat di Tengah Realitas

Selasa, 24 Desember 2024 - 09:37
Pajak 12 Persen: Kecil di Kertas, Berat di Tengah Realitas Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta

TIMES MALANG, JAKARTA – Benar kata Benjamin Franklin (1789) “dalam hidup ini, hanya dua hal yang benar-benar pasti: kematian dan pajak.” Dua nomina tersebut diparalelkan karena memilki tingkat kepastian yang sama, di mana  kematian adalah kepastian biologis, sedangkan pajak adalah kepastian dari konsekuensi hidup bernegara.

Di Indonesia, pajak menjadi salah satu instrumen utama untuk menjaga keberlanjutan keuangan negara. Maka tak heran, jika kebijakan terkait pajak sering kali menuai sorotan tajam bahkan memicu perdebatan publik. Terkini, seperti langkah pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

Ikhtiar pemerintah dalam menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen bukan tanpa alasan, melainkan sebagai upaya menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mengingat rasio pajak Indonesia yang hanya mencapai 10,4 persen, jauh di bawah rata-rata global sebesar 15 persen. 

Sayangnya, kebijakan yang tepat ini diberlakukan di waktu yang salah di mana kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih, dengan daya beli masyarakat yang masih lemah dan tren pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. 

Kenaikan PPN sebesar satu persen tampaknya kecil di atas kertas, namun efeknya sangat besar. Secara matematis, kenaikan dari 11 persen ke 12 persen setara dengan peningkatan sebesar 0,9 persen pada nilai pajak yang harus dibayarkan konsumen. 

Lonjakan harga barang dan jasa yang diakibatkan oleh kenaikan ini akan memukul daya beli, terutama pada kelompok menengah dan bawah. Bahkan, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria menyampaikan dalam acara CNN Indonesia Business Summit di Jakarta, (20/12/2024), bahwa kenaikan PPN tersebut diperkirakan akan berdampak pada sektor pertanian, menurunkan GDP riil sebesar 0,03 persen, menurunkan ekspor sebesar 0,5 persen, dan meningkatkan inflasi hingga 1,3 persen.

Sementara itu, kelompok kelas menengah, yang selama ini menjadi pendorong konsumsi nasional, akan semakin tertekan karena akan menghadapi kenaikan harga tanpa perlindungan bantuan sosial seperti yang dinikmati kelompok masyarakat bawah. 

Tidak hanya dirasakan oleh konsumen, kebijakan ini juga berdampak pada dunia usaha. Banyak perusahaan menghadapi peningkatan biaya produksi sebagai akibat langsung dari kenaikan pajak ini. Dalam kondisi seperti ini, margin keuntungan yang menipis dapat memaksa perusahaan mengurangi produksi atau bahkan melakukan efisiensi biaya, termasuk melalui Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Selain itu, sektor pertanian pun tidak luput dari tekanan. Harga komoditas seperti beras, susu segar, dan hasil tani lainnya diperkirakan akan melonjak, yang tidak hanya berdampak pada konsumen tetapi juga mengancam keberlanjutan lapangan kerja di sektor ini.

Kenaikan PPN juga menimbulkan konsekuensi pada daya saing produk Indonesia di pasar internasional. Dengan meningkatnya harga barang dalam negeri, produk-produk Indonesia akan kehilangan daya saing di pasar ekspor. Tentu, kondisi ini dapat memperburuk defisit perdagangan dan memberikan tekanan tambahan pada neraca pembayaran. 

Efek domino di atas, semakin mempertegas bahwa kebijakan kenaikan PPN tidak hanya berdampak pada aspek fiskal, tetapi juga menyentuh elemen-elemen fundamental dalam struktur ekonomi Indonesia.

Argumen pemerintah bahwa tarif PPN di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Brasil (17%) dan Afrika Selatan (15%) pun menuai kritik. Kondisi ekonomi di negara-negara tersebut tidak bisa disamakan dengan Indonesia. 

Dengan daya beli masyarakat yang jauh lebih rendah, kenaikan PPN di Indonesia memiliki dampak yang lebih signifikan. Artinya, membandingkan tarif pajak tanpa mempertimbangkan konteks ekonomi nasional menjadi argumen yang kurang relevan.

Alih-alih menaikkan tarif PPN, pemerintah sebenarnya memiliki sejumlah alternatif kebijakan yang lebih bijak dan tidak langsung membebani masyarakat. 
Pertama, Optimalisasi penerimaan pajak, dengan meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan melalui implementasi Core Tax System (CTS). 

Sistem ini mempermudah registrasi, pelaporan, hingga pembayaran pajak secara daring, sehingga mengurangi kebocoran pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Selain itu, penegakan hukum terhadap praktik penghindaran pajak juga perlu diperkuat melalui pengawasan yang lebih ketat, kolaborasi dengan lembaga penegak hukum, dan perbaikan kerangka hukum perpajakan.

Kedua, perluasan basis pajak utamanya pada sektor ekonomi digital dan UMKM. Sebagaimana kita ketahui bahwa, keberadaan ekonomi digital telah berkembang pesat dan telah memberikan kontribusi signifikan melalui penerapan PPN sejak 2020. Langkah selanjutnya adalah memperluas cakupan pajak pada platform digital lain, seperti aset kripto dan fintech guna mengoptimalkan potensi penerimaan. 

Di sisi lain, sektor UMKM juga menyumbang 60 persen dari PDB, namun kontribusi pajaknya masih relatif rendah. Maka sektor ini perlu didorong untuk masuk ke sistem formal melalui reformasi kebijakan yang memberikan insentif. Pendekatan ini tidak hanya memperluas basis pajak tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.

Ketiga, pemerintah perlu memastikan subsidi lebih tepat sasaran. Saat ini, subsidi energi seperti BBM dan LPG sering kali dinikmati oleh kelompok yang tidak rentan. 

Maka, pemerintah perlu dinilai mengalihkan subsidi ini menjadi bantuan langsung tunai (BLT) untuk kelompok rentan. Pengalihan subsidi ini dapat meningkatkan efisiensi anggaran sekaligus memastikan bantuan benar-benar menjangkau masyarakat miskin. 

Keempat, reformasi belanja negara menjadi kunci untuk memastikan penggunaan anggaran yang efektif. Dengan menerapkan strategi result-based budgeting dan fokus pada program prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, pemerintah dapat meningkatkan efisiensi belanja.

Reformasi fiskal holistik yang mencakup optimalisasi pendapatan negara dan efisiensi belanja juga harus menjadi agenda penting dalam mendukung transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Akhirnya, Kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah langkah besar yang membawa konsekuensi luas bagi perekonomian Indonesia. Di satu sisi, pemerintah membutuhkan tambahan penerimaan untuk menjaga stabilitas APBN. Namun, di sisi lain, kebijakan ini berpotensi memperburuk kesenjangan sosial-ekonomi yang sudah ada. 

Maka, kebijakan pajak harus mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan negara dan kemampuan masyarakat. Dengan pendekatan yang lebih holistik, Indonesia dapat mencapai stabilitas fiskal tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat.

***

*) Oleh : Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.