TIMES MALANG, MADIUN – PEREMPUAN dilahirkan ke dunia dengan batas-batas yang mengelilinginya. Batas alamiahnya bernama kodrat sedangkan batas sosialnya adalah norma dan tatanan masyarakat. Dengan anugerah fisik yang dimilikinya melekat tugas kodrat yang diemban perempuan yakni melahirkan dan menyusui. Pada fase itu ada faktor-faktor hormonal yang membatasi aktivitas fisik dan mobilitas kaum perempuan. Kodrat perempuan itulah kemudian menjadi salah satu alasan muncul norma dan tatanan sosial yang belakangan justru membelenggu kebebasan perempuan.
Tatanan masyarakat patriarki dengan dominasi kaum laki-laki sebagai ciri khasnya berlaku hampir di seluruh belahan dunia pada masa berbeda. Perempuan di tatanan masyarakat patriarki cenderung diperlakukan sebagai warga kelas dua. Dengan banyak batasan aturan dan etika yang menghalangi mereka untuk membangun kekuatan setara dengan kelompok lawan jenisnya. Dan pada gilirannya upaya-upaya yang dilakukan kaum hawa untuk keluar dari ‘pasungan’ melahirkan gerakan-gerakan feminisme dengan berbagai macam rupa.
Di Indonesia, tatanan masyarakat patriarki mengakar kuat jauh sebelum bangsa ini merdeka. Tatanan masyarakat patriarki feodal dengan batasan-batasan norma dan etika yang ketat itu masih meninggalkan jejaknya hingga kini. Dan jauh pula sebelum feminisme dan isu kesetaraan gender muncul, sosok perempuan ningrat bernama Raden Ajeng Kartini putri Bupati Jepara menjadi buah bibir. Bahkan hingga sekarang Kartini menjadi inspirasi dan simbol pergerakan perempuan Indonesia.
Pendekar kaumnya untuk merdeka, begitulah lirik lagu Ibu Kita Kartini ciptaan WR Supratman yang mengejawantahkan sosok Kartini. Dari lagu itu, tergambar keperkasaan seorang perempuan Jawa mendobrak batasan-batasan yang mengungkung kaumnya. Tetapi betulkah, Kartini seperkasa itu. Betulkah, perempuan yang langkah kakinya hanya selebar ikatan kain jaritnya itu mampu mendobrak batas kodrat dan sosial yang menyertainya sejak lahir?
Kartini disebut-sebut di berbagai hari peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos bukan sebagai manusia biasa, yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri. Serta menempatkannya ke dalam dunia dewa-dewa. Tambah kurang pengetahuan orang tentangnya, tambah kuat kedudukannya sebagai tokoh mitos. Demikian, pernyatan penulis Pramoedya Ananta Toer mengawali buku biografi tentang Kartini. Pernyataan Pram tersebut terasa begitu menohok. Terutama bagi para perempuan yang selama ini mengagungkan sosok Kartini tetapi sebenarnya tak secuilpun pemahaman mereka miliki tentang Kartini kecuali dari mendengar lagu, jargon atau apa kata orang.
Terlahir sebagai anak R.M Adipati Ario Sosroningrat asisten wedana (kemudian diangkat menjadi Bupati Jepara) menempatkan Kartini di lingkungan feodal yang kolot. Batas fisiknya adalah tembok tinggi di sekeliling rumah yang mengungkungnya menjalani pingitan sejak umur 12 tahun. Kartini memang sempat mengecap pendidikan di sekolah rendah zaman penjajahan Belanda. Dari situlah dia terbebas dari buta huruf dan memiliki segelintir teman Belanda yang di kemudian hari menjadi lubang kecil untuk keluar dari dunianya yang sempit.
Meskipun dianggap sebagai pelopor dan pejuang kesetaraan perempuan terutama pendidikan, yang dilakukan Kartini tidak seekstrem pemikiran perempuan modern saat ini. Dalam satu suratnya kepada Estella Zeehandelaar, Kartini menyatakan bahwa tidak ada sedikitpun niat terbersit untuk melanggar batas-batas feodal yang membelenggunya. Kartini menegaskan bahwa dia secara sukarela melepaskan kebebasannya dan memilih tetap tinggal di balik tembok feodal yang mengungkungnya. Dan yang mendasari pilihannya tak lebih dari kecintaan yang mendalam dan kesadaran berbakti sebagai seorang anak terhadap ayahnya.
Pilihan untuk tetap tinggal di dalam batas-batas yang mengungkungnya ternyata tidak membuat jiwa Kartini ikut-ikutan terpenjara. Melalui surat-suratnya kepada para sahabat yang tinggal di Belanda, Kartini dengan bebas mengutarakan pemikirannya. Meskipun hanya mengecap pendidikan di sekolah rendah, Kartini ternyata piawai menulis. Dengan gaya bertutur atau melalui bentuk tulisan prosa dan puisi, surat-surat Kartini kepada para sahabat perempuannya begitu sarat makna.
Kepada para sahabatnya, Kartini begitu bebas berucap, memprotes dan mengeluarkan segala uneg-unegnya serta sikapnya terhadap banyak hal, terutama perlakuan diskriminatif terhadap kaumnya. Kemampuannya mendeskripsikan pemikiran tak lepas dari kesukaannya membaca. Menulis dan membaca adalah kekuatan luar biasa bagi Kartini untuk menembus batas yang membelenggu fisiknya. Terbukti, beberapa dekade kemudian tulisan-tulisan Kartini melalui surat-surat kepada sahabatnya ternyata dianggap sebagai cikal bakal feminisme di Indonesia.
Perbedaan pendapat dan pemahaman dalam menerjemahkan pemikiran Kartini sah-sah saja terjadi. Namun, sebagai perempuan Indonesia dengan jatidiri bangsa yang melekat, ada baiknya kita melihat sosok Kartini sebagaimana adanya. Sebagai perempuan, Kartini menyadari kodrat dan kewajibannya di lingkungan keluarga dan masyarakat di zamannya. Tetapi seberapapun kuat belenggu dan batas norma yang mengekang raganya, Kartini berhasil membebaskan jiwa dan pemikirannya melalui tulisan.
Semoga jejak Kartini diikuti oleh perempuan-perempuan masa kini. Sudah banyak penulis-penulis perempuan yang karyanya diakui dan menginspirasi. Mereka sudah menunjukkan bahwa sastra menjadi kekuatan bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan sebagaimana halnya Kartini. Melalui tulisan, batas-batas kebebasan berpikir dan bersikap bisa ditembus tanpa harus merusak batas yang menjadi citra dan jati diri. Jadi, menulislah perempuan-perempuan Indonesia. Selamat Hari Kartini.
***
* Penulis, Yupi Apridayani, Jurnalis TIMES Indonesia regional Madiun Raya
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : |
Editor | : Ronny Wicaksono |