TIMES MALANG, MALANG – Infrastruktur pada hakikatnya dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan individu masyarakat. Salah satu dari infrastruktur yang menjadi kebutuhan pangsa manusia yaitu jalan raya.
Tingginya mobilitas warga, tentu harus ditunjang dengan akomodasi yang memadai dengan maksimal. Hal ini untuk mempermudah akses tujuan individu masyarakat dalam memaksimalkan kegiatan mereka.
Belakangan ini, wilayah Kota Batu menjadi kota dengan mobilitas cukup padat. Terutama mendekati liburan atau tanggal merah. Tetapi hal tersebut tidak sebanding dengan pembangunan jalan raya yang terkesan sangat kurang.
Selama ini, tingkat pemasukkan Kota Batu menjadi daerah dengan pendapatan tertinggi se Indonesia. Dimana realisasi pendapatan daerah pada APBD 2022 sebesar Rp 1 Triliun. Dengan target sebelumnya Rp 995,75 Miliar, itu artinya ada kelebihan Rp. 47 Miliar dari target semula (Kemendagri).
Tingkat pendapatan yang cukup tinggi dari suatu Kota, mengindikasikan bahwa pembangunan daerahnya lebih baik dari pada kota lainnya. Namun, artifisial tersebut sepertinya tidak mutlak untuk daerah Kota Batu.
Pembangunan jalan raya yang menjadi situs vital-pun belum sepenuhnya terdistribusi secara maksimal, contohnya yaitu ketika kita memasuki daerah Kota Batu yang berbatasan dengan Kabupaten Malang yaitu Pendem, Mojorejo dan Giripurno. Kita akan disambut hangat oleh destinasi jalan bergelombang dan berlubang.
Kondisi ini sudah cukup lama tidak mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kota. Warga Kota Batu sebelumnya telah menginisasi agar pemerintah merespons atau peka terhadap kebutuhan mereka, seperti membentuk forum virtual di Facebook.
Dalam informasi yang saya terima, warga melakukan singgungan kecil terhadap pemerintah Kota. Ada juga yang menyatakan secara terang-terangan. Disisi lain, beberapa platform media sosial seperti Instagram juga pernah menjadi target warga untuk bersuara. Namun kondisi ini tidak ditanggapi serius oleh pemerintah.
Bahkan pernah suatu kejadian, warga kesal atas kondisi jalan yang tidak diberikan perhatian, mereka menginisiasi dengan menanamkan gebok atau batang pisang dijalan yang berlubang ditambah lagi tulisan singgungan melalui banner terpapang besar juga tidak menyadarkan mereka untuk bergerak secara responsif.
Karena pada kenyataannya, warga cukup kebingungan mau menyampaikan kemana aspirasi yang menjadi kebutuhan masyarakat bersama. Lalu platform media sosialah yang menjadi tempat untuk menyuarakan secara tepat, meskipun selama ini belum ada perubahan secara konkrit dari pemerintah lokal.
Sebuah Tawaran Solusi
Ketika mengadopsi hukum responsif milik Nonet-Selznick yang berorientasi pada masalah-masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan dan kondisi-kondisi sosial lainnya, tentu pemerintah Kota Batu mampu untuk mengakomodasi kebutuhan vital tersebut secara maksimal.
Sehingga besar kemungkinan protes atau masalah-masalah sosial tidak dilakukan oleh warga sekitar dan berkembang menjadi sebuah desakan. Namun pada kenyataannya berbanding terbalik, selama ini pemerintah kurang responsif dalam menghadapi kebutuhan warga lokal.
Warga dibiarkan menikmati akses tidak mengenakkan. Tentu tidak heran ketika kondisi ini menciptakan stigma kotor terhadap sistem pemerintahan.
Memahami kenyataan sosial tersebut, seharusnya pemerintah Kota Batu mampu dalam memaksimalkan pemerataan pembangunan jalan. Keadaan ini semestinya tidak terjadi, karena jalan yang mereka lewati itu merupakan jalan utama yang menghubungkan dua kota. Apakah pemerintah tidak melihat atau merasakan apa yang rakyat kecil rasakan.
Apakah dengan diberikannya fasiliats roda empat membuat rasa kenyamanan jalan berlubang dan bergelombang tidak berpengaruh besar, ataukah selama ini pembangunan hanya akan dilakukan mendekati pesta demokrasi?
Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini seyogyanya mampu dicermati secara konseptual bahwasanya selama ini mereka tidak peka terhadap kebutuhan warga lokal.
***
*) Oleh: Muhammad Wahyu Prasetyo Adi, Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik, Universitas Brawijaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |