TIMES MALANG, MALANG – Desa Inggris Singosari Malang tampil dengan karakter khusus, yakni menghadirkan konsep perpaduan antara penguatan bahasa, budaya dan agama.
Lembaga pendidikan non formal yang berada di bawah Indocita Foundation di Jalan Randu Agung, Singosari, Kabupaten Malang ini lahir sejak 2008 lalu.
Siapa sangka, Desa Inggris Singosari sejak berdiri telah mencatat ada 29 ribu lebih penduduk yang belajar di sini. Tak hanya dari Indonesia, mereka datang dari berbagai negara seperti Belanda, Malaysia, Singapura, Jerman bahkan New Zealand.
Kepada TIMES Indonesia, Founder Desa Inggris Singosari Avin Nadhir menjelaskan spirit membesarkan lembaga sosial pendidikan ini berangkat dari keresahan pribadinya.
"Saya melihat masih banyak anak muda yang memutuskan tidak lanjut kuliah karena faktor ekonomi. Kami fasilitasi mereka belajar Bahasa Inggris gratis. Kami upayakan juga mereka bisa lanjut kuliah," ujarnya, Sabtu (22/5/2021).
Tahun 2010, Desa Inggris Singosari sudah bisa menguliahkan 20 orang secara gratis. "Kalau sekarang kami total sudah ada 91 orang yang kuliah dari program beasiswa kami," imbuhnya.
Uniknya, para pencari ilmu keterampilan berbahasa Inggris di sini tidak hanya dibekali pembelajaran bahasa saja. Namun, mereka juga mendapat penguatan pemahaman budaya dan agama.
"Kita mencoba menciptakan lingkungan berbahasa Inggris yang paham tata krama dan memiliki Budi pekerti luhur," tukas pria kelahiran 30 Maret 1977.
Kemudian, para 'santri' yang belajar di tempatnya itu cukup membawa bekal semangat dan komitmen belajar. Untuk kebutuhan menginap di asrama, semua ditanggung pihak Indocita Foundation, yang membawahi Desa Inggris Singosari.
"Makan, tempat tinggal, dan kebutuhan sarana belajar mereka adalah tanggungjawab kami," tegasnya.
Ia menerangkan, Desa Inggris Singosari menerapkan banyak model pembelajaran. Yang paling utama adalah belajar dengan cara menciptakan lingkungan berbahasa.
Program intensif lainnya adalah mengajak para peserta didik beraktivitas kayaknya di pesantren. Aktivitas pembelajaran dimulai dari sebelum subuh.
Mereka diajak solat tahajud, solat subuh berjamaah, solat Dhuha, mengaji, dan sisanya belajar bahasa Inggris dan kebudayaan.
Pembelajaran pun tidak melulu berlangsung di ruang kelas. Namun, lebih sering di tempat terbuka. Seperti emperan masjid, musholla, lapangan, teras tetangga sekitar lembaga. Intinya bebas.
"Anak belajar tidak harus terkungkung dalam suatu tempat. Itu yang kita lakukan," paparnya.
Semua aktivitas pembelajaran tetap dalam pengawasan. Hal ini yang membuat pembeda dengan lembaga pendidikan non formal lainnya.
"Yang mungkin beda dengan yang lain, di sini ada pengawasan kegiatan keagamaan dan kebahasaan yang ketat," ungkap Sekretaris Himpunan Pengusaha Nahdliyyin (HPN) Kabupaten Malang itu.
Para pelajar tidak hanya lulusan SMA yang tidak bisa lanjut kuliah. Bahkan, ada juga anak-anak kecil mulai tingkat TK hingga SD yang sudah belajar bersama dengan 60 guru Desa Inggris Singosari.
"Ada juga kelas karyawan. Tidak sedikit kok yang datang ke sini untuk belajar. Ada yang tentara, polisi, karyawan, calon pramugari, mahasiswa bahkan dosen," jelasnya.
Pendanaan kegiatan belajar mengajar di tempatnya disebut dilakukan secara mandiri. Sampai detik ini, Gus Avin Nadhir sapaan akrabnya mengaku belum ada suntikan donatur dari pemerintah.
"Kita berjalan sesuai kemampuan kita," lanjutnya Kandidat Doktor Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Malang (UM) itu.
Desa Inggris Singosari mengusung Tagline 3M yakni Melek Agama, Melek Bahasa dan Melek Teknologi. Dalam waktu dekat ini, konsep Desa Inggris hendak diduplikasi di berbagai daerah.
Proyek awal dilakukan di wilayah Malang Raya yang meliputi Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu. Targetnya, minimal dari kecamatan memiliki satu Desa Inggris yang memiliki spirit sama dengan Desa Inggris Singosari.
"Kenapa bahasa Inggris? Potensi dan peluang bahasa Inggris masih selalu unggul. Mau gak mau, kebutuhan keterampilan bahasa Inggris sudah seperti kebutuhan dasar," pungkasnya.
Gus Avin berpesan, belajar bahasa asing, termasuk Bahasa Inggris, tidak butuh orang pintar dan cerdas. Kata dia yang dibutuhkan adalah kebiasaan dan keberanian untuk mencoba.
"Kebiasaan dan keberanian akan tercipta di lingkungan. Nah lingkungan ini yang harus kita ciptakan," tutup Gus Avin Nadhir, Founder Desa Inggris Singosari Malang. (*)
Pewarta | : Mohammad Naufal Ardiansyah |
Editor | : Imadudin Muhammad |