TIMES MALANG, JAKARTA – Nasi tumpeng sudah menjadi tradisi yang tersaji pada setiap acara istimewa. Termasuk saat peringatan Kemerdakaan RI.
Makanan berupa nasi kuning yang dibentuk kerucut itu biasanya disajikan saat malam tirakatan pada 16 Agustus. Semua warga akan berkumpul, merefleksikan perjuangan para pahlawan hingga proklamasi Kemerdekaan RI, setelah berdoa acara kemudian ditutup dengan makan bersama dengan memotong tumpeng.
Mengapa nasi tumpeng selalu ada pada acara istimewa, dan kesannya sakral?
Begini kisahnya. Nasi tumpeng makanan tradisional yang dikenalkan nenek moyang secara turun temurun. Dikutip dari Voi, tumpeng sudah ada sejak Nusantara belum mengenal agama samawi.
Pada buku berjudul Makanan 'Tumpeng dalam Tradisi Bancakan', karya M Zeid Ed Dally disebutkan nasi tumpeng telah disebutkan dalam naskah sastra Ramayana, naskah sastra Arjuna Wijaya dan Kidung Harsa Wijaya. Tumpeng juga tertulis di serat Centhini.
Saat itu, warga di Nusantara menganut kepercayaan Kapitayan, yaitu memuja Tuhan yang mereka sebut dengan Sanghyang Taya. Mereka percaya bahwa Sanghyang Taya bersemayam di gunung yang tinggi. Karena itulah nasi tumpeng dibuat bertentuk kerucut menyerupai gunung.
Nasi tumpeng erat kaitannya dengan tradisi bancaan, atau makan bersama-sama dalam satu wadah saat ada acara besar. Karena itu, tradisi tumpengan terus menerus turun ke anak cucu meski sudah masuk agama samawi.
Tumpengan banyak dilakukan oleh orang Jawa dan Bali. Banyak acara keagamaan Hindu-Bali yang menggunakan tumpeng. Sementara Sunan Bonang juga menggunakan tumpeng sebagai salah satu media dakwahnya.
"Itu berawal dari Sunan Bonang yang datang ke sebuah desa di Kediri. Dulu di sana ada aliran yang dianggap ekstrem. Aliran itu ada upacara pengorbanan yang mengharuskan makan manusia," ujar Chef Wira, saat menjadi pembicara Sarasehan Tumpeng, seperti dikutip dari detik.
Upacara itu kemudian ditiru oleh Sunan Bonang, tapi tanpa ada pengorbanan. Upacara itu dikenal dengan 'selametan'. Dalam selametan, Sunan Bonang menaruh tumpeng sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT.
Bagi orang Jawa tumpeng merupakan akronim dari 'tumapaking panguripam-tumindak lempeng-tumuju pangeran' yang artinya tertatanya hidup berjalan lurus pada Tuhan.
Dari arti tersebut makna yang tersirat adalah pengharapan hidup yang lebih baik karena Tuhan YME.
Nasi tumpeng tak lengkap tanpa lauk pauk. Umumnya, ada tujuh lauk pauk yang menjadi 'syarat' dari sajian tumpeng. Tujuh lauk pauk itu diantaranya telur, ayam, tahu, tempe dan aneka sayur urap. Tujuh lauk pauk itu melambangkan ekosistem kehidupan yang saling melengkapi.
Kini nasi tumpeng dimaknai sebagai bentuk rasa syukur atas karunia yang telah Tuhan berikan. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Sejarah Nasi Tumpeng, Sajian Tradisional Saat Kemerdekaan RI
Pewarta | : Dhina Chahyanti |
Editor | : Dhina Chahyanti |