TIMES MALANG, MALANG – Guru Besar FEB Universitas Brawijaya (UB), Dwi Budi Santoso memaparkan hasil Indonesia Business, Economic, Social And Technology Trends Outlook (BEST) Outlook 2025, di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).
Ia menyampaikan, perekonomian Indonesia diperkirakan akan tetap berada pada pola pertumbuhan yang stagnan tanpa lompatan yang signifikan terhadap tahun sebelumnya.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional untuk tahun 2024 berada di kisaran 4,95% hingga 5,05%. "Sementara untuk tahun 2025 diperkirakan mencapai 5,05% hingga 5,15%," katanya.
Hasil prediksi ini, kata dia, sejalan proyeksi yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga internasional maupun nasional yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 5-5.1%.
Ia mengatakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh PKEPK FEB UB didasarkan pada dua alasan.
Pertama, terjadi perlambatan konsumsi rumah tangga dan investasi sejak triwulan pertama tahun 2024 dan diperkirakan akan tetap berlangsung hingga tahun 2025.
Hal ini disebabkan kecenderungan preferensi masyarakat untuk menahan konsumsi karena alasan berjaga-jaga untuk menghindari ketidakpastian yang timbul dari gejolak politik, sosial, maupun gejolak ekonomi. Selain itu, kecenderungan dunia usaha untuk menahan investasi juga dikarenakan belum membaiknya iklim kemudahan berusaha.
Melambatnya konsumsi rumah tangga dan investasi menjadikan konsumsi pemerintah menjadi satu-satunya komponen pengeluaran yang memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka pendek.
Kedua, terjadi deindustrialisasi yang terlalu dini ditandai dengan penurunan pertumbuhan industri dan peranan industri dalam perekonomian nasional sejak 2011 dan belum adanya tanda-tanda perbaikan menuju reindustrialisasi.
"Deindustrialisasi yang terlalu dini sebagian besar disebabkan oleh mahalnya biaya tenaga kerja, bahan baku penolong, energi, dan juga biaya regulasi, terutama menyangkut dengan perpajakan. Penjelasan secara rinci mengenai kedua alasan ini dapat dilihat pada bagian selanjutnya," ujarnya.
Menakar Outlook Ekonomi Indonesia dari Perspektif Peran Pemerintah
Dari sisi pengeluaran, kata Dwi, perekonomian Indonesia didukung oleh tiga komponen utama yakni konsumsi rumah tangga sebesar 55%, pembentukan modal tetap bruto sebesar 30%, dan belanja pemerintah sebesar 8%.
Sementara itu, kontribusi net ekspor relatif kecil, hanya sekitar 2%. Struktur ini mencerminkan ketergantungan perekonomian Indonesia pada faktor-faktor domestik.
Ketergantungan ini di satu sisi menunjukkan ketahanan terhadap guncangan eksternal, namun di sisi lain, menimbulkan kerentanan jika salah satu komponen utama terganggu, sekaligus mencerminkan kurangnya diversifikasi dalam struktur ekonomi.
"Selain itu, tantangan ke depan adalah bagaimana menjaga momentum pertumbuhan di masing-masing komponen tersebut, terutama di tengah potensi perlambatan yang dapat memengaruhi keberlanjutan ekonomi nasional," jelasnya.
Ia menjelaskan, proporsi pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan komponen terbesar dalam PDB Indonesia dengan rentang 51,88% 54,93%. Perkembangan pengeluaran konsumsi mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Dari tahun 2021 sampai 2023 atau lebih tepatnya ketika masa pemulihan ekonomi akibat pandemi, pengeluaran konsumsi masyarakat meningkat pesat.
Namun memasuki tahun 2023 sampai kuartal III tahun 2024, terjadi perlambatan peningkatan konsumsi masyarakat. Adanya tren perlambatan konsumsi ini juga didukung dengan menurunnya kecenderungan masyarakat untuk konsumsi. Ini menunjukkan bahwa sejak bulan Juli 2023 kecenderungan masyarakat untuk konsumsi melambat.
"Fenomena ini berlanjut hingga kuartal III tahun 2024, dengan peningkatan konsumsi masyarakat berjalan lebih lambat dibandingkan periode sebelumnya," katanya.
Dua Kemungkinan Utama
Ia juga mengatakan, terdapat dua kemungkinan utama yang menjadi faktor perlambatan konsumsi rumah tangga, yaitu menurunnya daya beli dan atau preferensi masyarakat untuk menunda konsumsi dengan alasan untuk berjaga-jaga.
Pertama, daya beli masyarakat sangat bergantung pada keseimbangan antara pendapatan yang diterima dan biaya hidup riil yang dipengaruhi oleh tingkat inflasi.
Ketika inflasi meningkat lebih cepat daripada pertumbuhan pendapatan, daya beli riil masyarakat akan tergerus, sehingga menghambat kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan, apalagi untuk konsumsi non-esensial. Ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2018-2023, pertumbuhan pendapatan masyarakat secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi.
Meskipun daya beli masyarakat sempat tergerus pada 2022 hingga pertengahan 2023 akibat tekanan inflasi, tren inflasi menunjukkan perbaikan menuju akhir 2023 dan diproyeksikan terus menurun pada 2024.
Penurunan tingkat inflasi ini memberikan ruang bagi pendapatan riil masyarakat untuk kembali meningkat. Hal ini berarti, secara riil, masyarakat memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan.
"Oleh karena itu, daya beli masyarakat tampaknya bukan menjadi penyebab utama dari perlambatan konsumsi," jelasnya.
Kemungkinan kedua, lanjut dia, adalah preferensi masyarakat untuk menahan konsumsi karena alasan berjaga-jaga. Peningkatan motif berjaga-jaga ini lebih terasa, ketika penurunan Morginal Prospensity to Consume (MPC) disandingkan dengan terjadinya perlambatan minat investasi. Penurunan MPC biasanya diikuti dengan peningkatan kecenderungan hasrat menabung.
Peningkatan MPS ini tentu saja akan meningkatkan investasi. Namun faktanya, kata dia, sejak triwulan pertama 2024, yang terjadi bukan percepatan tetren justru perlambatan investasi. Ini menunjukkan bahwa sejak tahun 2018, investasi terus berada dalam tren yang meningkat, akan tetapi memasuki tahun 2024 tren tersebut mulai melambat.
Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar tabungan masyarakat tidak dialokasikan untuk motif spekulatif, tetapi lebih banyak disimpan untuk tujuan berjaga-jaga.
Motif ini terlihat dari preferensi masyarakat menyimpan kekayaan dalam bentuk aset yang dianggap. aman, seperti mata uang asing atau emas.
"Dengan demikian, perlambatan konsumsi yang terjadi mencerminkan kehati-hatian masyarakat terhadap potensi gejolak sosial, ekonomi, dan politik," katanya.
Ia menyebut, fenomena ini memperlihatkan adanya kekhawatiran masyarakat terhadap prospek investasi di Indonesia.
"Persoalan investasi tersebut tidak terlepas dari buruknya persepsi terkait kemudahan berbisnis di Indonesia," ujarnya. (D)
Pewarta | : Moh Ramli |
Editor | : Imadudin Muhammad |