TIMES MALANG, MALANG – Malang yang kental dengan sejarah kolonial Belanda ternyata terdapat cerita bagaimana habis-habisan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pasca tahun 1945.
Sejumlah peristiwa dalam jangka waktu tiga tahun, masyarakat Malang bertumpah darah dalam mempertahankan kemerdekaan RI yang telah direbut dari para penjajah, salah satunya Belanda.
Pemerhati Budaya dan Sejarah, Agung Buana mengatakan, Malang menjadi salah satu lokasi terjadinya peristiwa mempertahankan Kemerdekaan yang berlangsung sejak tahun 1947 hingga 1949 akhir menuju 1950.
"Setelah kedatangan Jepang, dimana pasca kemerdekaan hingga 1950 merupakan titik terjadinya peristiwa mempertahankan kemerdekaan yang terjadi di Malang," ujar Agung kepada TIMES Indonesia, Minggu (14/8/2022).
Setidaknya tercatat ada tiga gerakan yang menjaga kedaulatan Indonesia di wilayah Malang saat kembali diserang oleh Belanda pasca Kemerdekaan.
Ketiga gerakan tersebut diantaranya adalah Tentara Republik Indonesia (TRI), Gerilyawan Rakyat Kota (GRK) dan tentunya Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP).
"Ini awal mula peristiwa jelang agresi militer I di Malang, yakni pertengahan Juli 1947 Belanda masuk melalui wilayah pantai Pasir Putih," ungkapnya.
Dari situ, ketiga gerakan tersebut membuat sebuah siasat dalam menghalangi Belanda agar tak lagi masuk ke wilayah Malang. Siasat tersebut dikenal dengan peristiwa besar bernama "Malang Bumi Hangus".
Arsip Gedung Balai Kota Malang yang habis terbakar dalam peristiwa Malang Bumi Hangus. (Foto: nationaalarchief.nl)
Sekitar tanggal 22 Juli 1947, tentara Belanda telah berada di wilayah Lawang, Kabupaten Malang. Akhirnya, 28 Juli 1947, masyarakat Malang pun bergerak membakar sekitar seribu bangunan di Malang guna menghambat pergerakan tentara Belanda menduduki Malang.
Dari seribu bangunan tersebut, terdapat beberapa bangunan penting bagi Belanda untuk bisa kembali menduduki wilayah Malang. Diantaranya adalah Balai Kota Malang, Sekolah Katolik Cor Je Su, Hotel Pelangi, Pabrik Rokok dan seluruh bangunan di sepanjang Jalan Celaket hingga wilayah Kayutangan ikut dibakar oleh masyarakat Malang.
"Bukan soal peninggalan Belanda. Yang dibakar ini adalah bangunan-bangunan penting agar tak dipakai lagi oleh Belanda," katanya.
Jika di wilayah Kota Malang, ribuan gedung dibakar, maka sejumlah masyarakat Malang lainnya juga mencegah di wilayah Singosari-Lawang agar tentara Belanda tak memasuki area Malang.
"Kalau yang posisi di Singosari Lawang itu Gerilyawan Kota memotong pohon-pohon supaya bisa menghalangi tentara Belanda masuk," imbuhnya.
Puncaknya, yakni pada tanggal 29 hingga 31 Juli 1947 dimana terjadi peristiwa Jalan Salak. Peristiwa tersebut menewaskan sekitar 35 orang yang tergabung dalam gerakan TRIP.
Sebab, diketahui setelah peristiwa Malang Bumi Hangus, tentara Republik Indonesia mau tidak mau harus keluar dari wilayah Kota Malang menuju wilayah Selatan, Timur dan Barat Malang, yakni seperti wilayah Bululawang, Dampit, Batu hingga Pujon.
"Nah, sedangkan yang tetap tinggal di Kota Malang adalah TRIP, yakni para pelajar yang bersenjata," tuturnya.
Perlu diketahui, para pelajar yang tergabung dalam TRIP tersebut mendapatkan senjata setelah peristiwa 28 April 1946 dimana penyerahan senjata-senjata Jepang yang ditinggal akhirnya direbut tentara Divisi 7 Suropati.
Kedatangan Panglima Besar Sudirman ke Malang, yakni menyaksikan penyerahan senjata ke Tentara Republik Indonesia. Senjata peninggalan Jepang yang memang cukup banyak, akhirnya diserahkan juga kepada para pelajar yang memiliki jiwa nasionalis untuk mempertahankan Republik Indonesia.
"Penyerahan senjata itu di Korem Bhaladika Jaya di Jalan Bromo. Senjata itu digunakan TRIP untuk bertempur di Jalan Salak pada 31 Juli 1947," bebernya.
Setelah itu, terjadi sejumlah peristiwa lain dalam selang waktu tiga tahun untuk mempertahankan kemerdekaan RI di tanah Malang.
Diantaranya ada peristiwa pertempuran Wonokoyo, yakni peristiwa dimana tentara Indonesia yang tergabung dalam mobil Brigadir Polisi atau Brimob, diserang secara mendadak oleh Belanda pada malam hari yang mengakibatkan sejumlah tentara gugur dalam peristiwa tersebut.
"Lalu ada peristiwa di Peniwen yang juga ikut mengakibatkan tentara kita gugur. Termasuk peristiwa di daerah Taji yang dimana pasukan Indonesia di sergab oleh Belanda," katanya.
Selanjutnya, adapun peristiwa di wilayah Pujon, dimana satu rombongan tentara Indonesia gugur oleh Belanda dan kini monumen dan makam pahlawan tersebut berada di wilayah Pujon, Kabupaten Malang.
"Ada juga peristiwa di Tumpang, Poncokusumo. Itu di wilayah Desa Balung. Itu juga menjadi sejarah kita mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia," imbuhnya.
Puncak masyarakat Malang mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, yakni peristiwa terbunuhnya Hamid Rusdi di wilayah Bululawang dan KH Malik yang tertembak di sekitaran wilayah yang kini dikenal sebagai Jembatan Kedungkandang, Kota Malang.
"Terakhir adalah persitiwa dua pahlawan kita, Hamid Rusdi dan KH Malik yang terbunuh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Itu terjadi di akhir perjuangan mempertahankan negara di tahun 1949," tandasnya terkait perjuangan para pahlawan Malang dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. (*)
Pewarta | : Rizky Kurniawan Pratama |
Editor | : Deasy Mayasari |