TIMES MALANG, MALANG – Di tengah berbagai pujian atas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dianggap stabil dan menjanjikan, terselip satu kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan: kekayaan negeri ini hanya dikuasai oleh segelintir orang. Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan telah mengangkat persoalan serius ini.
Ia menyebut bahwa lebih dari 40 persen kekayaan nasional Indonesia dikuasai oleh hanya 1 persen penduduk. Sebuah fakta mencengangkan yang mencerminkan bagaimana pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan ternyata tidak berpihak kepada sebagian besar rakyat.
Pernyataan ini bukan sekadar retorika. Data dari lembaga-lembaga internasional seperti Credit Suisse dan World Inequality Report menunjukkan tren yang serupa: jurang ketimpangan kekayaan di Indonesia semakin melebar. Bahkan indeks konsentrasi kekayaan (wealth gini) di Indonesia mencapai angka 0,78—tinggi dan memprihatinkan.
Artinya, distribusi kekayaan di Indonesia sangat tidak merata, dan pertumbuhan ekonomi yang tercatat dalam angka-angka makroekonomi justru semakin menjauhkan masyarakat bawah dari kesejahteraan.
Presiden Prabowo secara terbuka mengkritik model ekonomi yang hanya mengandalkan teori "trickle-down", di mana kesejahteraan dianggap akan mengalir ke bawah dengan sendirinya ketika ekonomi tumbuh.
Ia menyebut bahwa pendekatan ini terlalu lambat, bahkan gagal, karena kenyataannya, pertumbuhan hanya memperkaya yang sudah kaya, sementara mayoritas rakyat tetap terperangkap dalam kemiskinan struktural.
Ketika 1 persen menikmati limpahan modal, rakyat kecil justru berjibaku dengan harga pangan, keterbatasan akses kesehatan, dan kualitas pendidikan yang minim.
Ironi semakin tajam ketika pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan negara ternyata tidak cukup kuat untuk menyelesaikan masalah-masalah fundamental: stunting masih tinggi, pengangguran muda meningkat, dan ketergantungan pada impor pangan belum teratasi.
Maka yang patut ditanyakan bukan sekadar seberapa cepat ekonomi tumbuh, tetapi siapa yang sebenarnya menikmati pertumbuhan itu?
Pemerintah kerap menyampaikan bahwa program sosial terus diperluas, bantuan langsung disalurkan, dan pembangunan infrastruktur digencarkan. Namun, di balik semua itu, apakah struktur ekonomi benar-benar berubah?
Ataukah yang terjadi hanyalah pengulangan siklus lama, di mana elite bisnis dan pemodal besar terus menikmati insentif, sementara pelaku ekonomi kecil justru tergerus oleh kompetisi tanpa perlindungan?
Fakta bahwa satu persen orang menguasai hampir setengah kekayaan bangsa adalah ancaman serius terhadap stabilitas jangka panjang. Ketimpangan yang terlalu lebar bukan hanya memperlambat pertumbuhan yang inklusif, tapi juga bisa memicu ketidakpuasan sosial dan politik.
Rakyat yang merasa tidak punya bagian dalam kemajuan akan mulai mempertanyakan legitimasi sistem. Ketika demokrasi ekonomi gagal menghadirkan keadilan, maka muncul ruang bagi polarisasi dan radikalisasi. Apa yang perlu dilakukan?
Pertama, harus ada reformasi pajak yang berani dan progresif. Negara tidak boleh takut mengenakan pajak lebih besar kepada konglomerat dan pemilik modal besar. Redistribusi melalui sistem pajak yang adil adalah satu-satunya cara untuk mempersempit jurang sosial secara sistemik.
Kedua, pemerintah harus secara aktif mengembangkan sektor produktif yang melibatkan rakyat secara langsung, seperti pertanian, perikanan, dan UMKM. Tanpa dorongan konkret terhadap ekonomi rakyat, semua program hanya akan menjadi tempelan kebijakan tanpa dampak nyata.
Ketiga, perlu adanya transparansi dan audit terhadap kepemilikan aset nasional. Banyak kekayaan bangsa tersimpan di luar negeri melalui perusahaan cangkang dan skema penghindaran pajak. Negara harus tegas dalam menegakkan keadilan fiskal dan mendorong repatriasi aset.
Keempat, investasi negara di bidang pendidikan dan kesehatan harus lebih radikal. Bukan hanya menaikkan anggaran, tetapi juga memastikan bahwa kualitasnya merata dan mampu memberdayakan rakyat miskin agar bisa bersaing dan tidak terpinggirkan dalam ekonomi modern.
Prabowo benar ketika mengatakan bahwa tugas negara bukan sekadar mencatat pertumbuhan, tetapi memastikan rakyat bisa makan dengan layak.
Kalimat itu harus menjadi peringatan bagi para penyusun kebijakan: bahwa legitimasi ekonomi bukan soal angka, tetapi soal rasa keadilan yang dirasakan rakyat.
Indonesia tidak bisa terus-menerus menjadi negara kaya yang dinikmati segelintir orang, sementara mayoritas hanya diberi narasi tentang kemajuan.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah ekonomi kita tumbuh. Pertanyaannya adalah: siapa yang sebenarnya tumbuh? Dan jika jawabannya masih sama, mereka yang sudah kaya maka sudah saatnya kita ganti arah.
Karena bangsa besar bukan hanya dilihat dari seberapa cepat ia maju, tetapi juga seberapa banyak yang diajak maju bersama.
***
*) Oleh : Muhammad Nafis, S.H, M.H., Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |