TIMES MALANG, MALANG – Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (BEM FH Unisma Malang) menggelar audiensi bersama DPRD Kota Malang pada Senin (30/6/2025).
Pertemuan ini membahas keresahan mahasiswa terkait penerapan Peraturan Daerah (Perda) yang mengenakan pajak 10% terhadap usaha dengan omzet mulai dari Rp15 juta.
Audiensi berlangsung di Gedung DPRD Kota Malang. Mereka ditemui langsung oleh Wakil Ketua II DPRD Kota Malang, Trio Agus Purwono.
Dalam forum tersebut, mahasiswa mempertanyakan dasar hukum dan dampak dari regulasi ini terhadap pelaku usaha mikro dan pedagang kecil, khususnya pedagang kaki lima (PKL).
Erick Al-Afandi, perwakilan Bidang Penalaran BEM FH Unisma, menegaskan bahwa penerapan pajak berdasarkan Perda ini masih menyisakan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan pelaku UMKM kecil.
“Kami menyoroti kemungkinan adanya diskriminasi terhadap PKL karena ketidakjelasan klausul di dalam Perda. Jika tidak diperjelas, hal ini bisa menjadi celah penegakan hukum yang tidak adil di masa depan,” ujarnya.
Erick juga menyoroti nominal Rp15 juta sebagai batas bawah objek pajak yang dinilai terlalu rendah.
“Kami mendapat informasi bahwa dalam pembahasan, terdapat fraksi yang mengusulkan angka Rp20 juta hingga Rp25 juta. Namun akhirnya ditetapkan Rp15 juta, yang menurut kami tidak sepenuhnya mengakomodasi realita UMKM,” jelasnya.
Lebih lanjut, Erick mengatakan bahwa Wakil Ketua DPRD Kota Malang telah menanggapi usulan tersebut dan membuka peluang agar kekhawatiran mahasiswa disampaikan dalam bentuk aspirasi resmi.
“Pak Trio menyarankan agar permintaan kami dirumuskan dalam dokumen tertulis untuk selanjutnya dijadikan bahan pertimbangan pembuatan Peraturan Wali Kota (Perwali),” tuturnya.
Menanggapi masukan dari mahasiswa, Wakil Ketua II DPRD Kota Malang, Trio Agus Purwono menyampaikan bahwa regulasi tersebut bukan hal baru dan tidak serta merta membebani UMKM secara umum.
“Yang dikenai pajak adalah pengunjung atau konsumen, bukan pelaku usahanya. Perda ini juga berlaku di semua kota dan kabupaten lain,” tegasnya.
Trio juga mengungkapkan bahwa batas omzet Rp15 juta merupakan hasil kompromi politik dan kajian teknis yang mempertimbangkan potensi kehilangan penerimaan daerah.
“Sebelumnya ada pelaku usaha dengan omzet Rp6 juta hingga Rp7 juta yang sudah terkena pajak. Dengan batas baru Rp15 juta, justru banyak yang tidak lagi diwajibkan membayar pajak,” ungkapnya.
Ia juga menyampaikan adanya masukan menarik dari audiensi, khususnya soal penegasan pengecualian pajak bagi PKL kecil melalui Perwali.
“Masukan ini sangat penting agar pelaku usaha kecil tidak dijadikan target pajak. Nantinya teknis pemungutan akan diatur lebih detail dalam Perwali dan menjadi acuan bagi Bapenda,” jelas Trio.
Terkait pengusaha yang mengakali pelaporan pajak, Trio menyebutkan bahwa ada pelaku usaha yang memungut pajak dari konsumen tetapi tidak menyetorkannya ke kas daerah. “Hal seperti ini tentu menjadi perhatian kami dan Bapenda,” imbuhnya.
Sebagai tindak lanjut dari audiensi, BEM FH Unisma akan segera menyusun dokumen berisi aspirasi resmi untuk diserahkan ke DPRD Kota Malang.
Dokumen tersebut akan memuat poin-poin tuntutan, termasuk permintaan untuk menegaskan pengecualian pajak bagi pelaku UMKM kecil dalam Perwali. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Imadudin Muhammad |