TIMES MALANG, MALANG – Dengan teliti, puluhan santri di Pondok Pesantren Al-Hikam Kota Malang membaca beberapa kuis yang ada di ponsel mereka, Sabtu (1/11/2025). Kuis itu punya 7 pernyataan yang harus dijawab. Bukan soal agama atau pengetahuan umum, tapi soal kondisi kesehatan yang mereka alami.
Hanya butuh waktu sekitar 3-5 menit, 7 pertanyaan itu sudah bisa rampung dijawab. Dari situ, setiap responden bisa langsung melihat hasilnya. Apakah mereka termasuk dari golongan orang yang aman dari Gerd, berpotensi, atau bahkan telah terindikasi terkena Gerd. Secara teknis seperti itulah fungsi kerja aplikasi SmartGerdX. Aplikasi buatan Dr. dr. Syifa Mustika, SpPD-KGEH, FINASIM, dokter spesialis penyakit dalam yang juga akademisi Universitas Brawijaya.
SmartGerdX membantu seorang dalam mendeteksi dini penyakit GERD (Gastroesophageal Reflux Disease), kondisi di mana asam lambung atau isi lambung naik kembali ke kerongkongan (esofagus).
“Sekarang banyak orang bilang dirinya kena Gerd, padahal belum tentu. Nah, SmartGerdX ini saya develop supaya masyarakat bisa tahu apakah keluhan yang mereka rasakan benar-benar Gerd atau bukan,” ujar dr. Syifa usai memberikan penyuluhan website SmartGerdX pada santri di Wilayah Kota Malang, di Pondok Pesantren Al Hikam, Sabtu (1/11/2025).
SmartGerdX bekerja dengan konsep sederhana. Pengguna cukup mengakses tautan web https://smartgerdx.com, lalu menjawab tujuh pertanyaan singkat seputar gejala yang dialami. Mulai dari konsumsi obat, sulit tidur karena nyeri ulu hati, intensitas mual, hingga intensitas rasa panas di bagian dada.
Dalam hitungan menit, aplikasi ini menampilkan hasil evaluasi: apakah seseorang tergolong tidak berisiko, berisiko ringan, atau mengindikasikan gejala GERD yang mengganggu.

Jika hasil menunjukkan responden tidak memiliki indikasi GERD, sistem otomatis memberikan rekomendasi gaya hidup sehat seperti pola makan teratur, menghindari makanan berlemak, dan manajemen stres. Namun bagi mereka yang memiliki tanda-tanda Gers, SmartGerdX memberikan saran lanjut seperti konsultasi medis atau monitoring gejala secara berkala.
“Selain membantu masyarakat awam mengenali gejala, penilaian ini juga bisa membantu dokter memantau keberhasilan pengobatan pada pasien yang sedang menjalani terapi,” terang dr. Syifa.
Dalam website tersebut, juga tersedia informasi mengenai gejala penyakit Gerd, hingga rekomendasi pengobatan yang bisa dilakukan oleh seorang dengan Gerd.
Mengapa Santri?
Pemilihan Pondok Pesantren Al-Hikam sebagai lokasi edukasi bukan tanpa alasan. Menurut dr. Syifa, santri termasuk kelompok yang rentan terhadap gangguan pencernaan karena aktivitas belajar yang padat, pola makan tak menentu, hingga stres, yang bisa menjadi pemicu naiknya asam lambung.
“Saya tertarik meneliti kondisi Gerd di kalangan santri. Mereka tinggal di asrama, aktivitasnya padat, dan kadang pola makannya tidak teratur. Dengan pendekatan digital ini, mereka bisa langsung mencoba aplikasinya lewat gadget masing-masing,” jelasnya.
Menurutnya, Gerd ini tidak hanya menyasar orang dengan usia tertentu. Siapapun bisa mengalaminya, terlebih jika punya pola hidup yang tidak sehat. “Anak muda sekarang sering mengeluh sakit lambung karena stres, overthinking, makan tidak teratur, atau terlalu banyak konsumsi fast food dan makanan pedas,” ujar dr. Syifa.
Melalui SmartGerdX, dia berharap edukasi tentang GERD bisa menjangkau lebih luas. Tak hanya santri, tetapi juga mahasiswa dan masyarakat umum. Karena berbasis web, aplikasi ini tidak membutuhkan instalasi dan bisa diakses dari berbagai perangkat.
Saat kegiatan berlangsung, para santri tampak antusias. Mereka tak hanya mengisi kuis di SmartGerdX, tetapi mendapatkan fasilitas pemeriksaan kesehatan gratis. Kegiatan ini berhasil digelar atas kerjasama Universitas Brawijaya bersama dengan PCNU Kota Malang, dan Ponpes Al-Hikam.
dr. M. Habib Muzakki, MKes., pembina Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) Al-Hikam, menyambut baik inisiatif ini. Dia menilai kegiatan edukasi semacam ini bisa menjadi langkah awal untuk membangun kesadaran kesehatan di lingkungan pesantren.
“Santri memang banyak yang berisiko Gerd, terutama karena perubahan pola makan dan stres. Setelah penyuluhan ini, banyak yang baru sadar soal gejala asam lambung yang mereka rasakan,” ujarnya.
Poskestren Al-Hikam sendiri telah memiliki sistem kesehatan internal yang cukup tertata. Ada tim dokter dan perawat yang menjadi garda depan ketika santri mengalami keluhan. Jika kasusnya ringan, penanganan dilakukan di internal pondok. Namun jika lebih serius, mereka akan dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit terdekat.
dr. Habib menilai pendekatan digital seperti SmartGerdX bisa melengkapi peran Poskestren. Santri dapat memantau kesehatannya secara mandiri, sehingga pencegahan bisa dilakukan lebih awal. (*)
| Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
| Editor | : Imadudin Muhammad |