TIMES MALANG, MALANG – Pertumbuhan kota tidak pernah terjadi instan. Ia dipengaruhi banyak faktor saling terkait, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, sampai kebijakan politik. Pun Kota Malang. Ia juga terbentuk dari banyak faktor dan perjalanan sejarah.
Kota Malang punya sejarah panjang sejak zaman Hindia Belanda, pemerintah kolonial yang dulu menguasai segala bidang. Jejaknya masih kita lihat sampai sekarang. Kasat mata, kita bisa melihat langsung banyak sudut sejarah. Ada Alun-Alun Kota Malang, Balai Kota, SMA Tugu, Stasiun Malang, Jalan Ijen, Oro-Oro Dowo, sampai Pecinan.
Dulu, pembangunan spot bersejarah tersebut oleh pemerintah kolonial Belanda didasarkan pada struktur, fungsi, visual, dan kondisi sosial masyarakat saat itu. Uniknya, pembagian wilayah seringkali berdasarkan etnis dan status sosial yang kental pada masa kolonial.
Salah satu kawasan yang menarik adalah sejarah kawasan Oro-Oro Dowo di Kota Malang. Nggak banyak yang tahu kalau tempat ini juga punya cerita dan sejarah unik. Kawasan ini adalah jejak dan sakis sejarah proses pudarnya secara perlahan keterkaitan pembangunan kawasan dengan status sosial masyarakat saat itu di Kota Malang.
Oro-oro Dowo, selain jadi bukti perkembangan kota, kawasan ini juga menyimpan banyak cerita tentang perubahan zaman yang nggak boleh dilupakan.
Kedatangan Belanda di Malang
Belanda pertama kali mendarat di Indonesia lewat sebuah perusahaan bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Perusahaan dagang ini menguasai perdagangan rempah seperti lada, cengkeh, dan kopi. Awalnya, mereka mengusai Banten dan Surabaya sebelum akhirnya melirik Malang.
Saat itu, awalnya, Malang cuma dijadikan tempat plesir karena udaranya sejuk. Tapi setelah mereka tahu tanah di Malang ternyata mampu menghasilkan kopi dan gula berkualitas tinggi, mereka pun mulai menetap.
Pada sekitar 1916-1917, populasi orang Eropa (khususnya Belanda) di Malang mulai meningkat. Mereka tinggal di sepanjang jalur utara-selatan dekat Lawang, Batu, dan Gondanglegi, Maklum, memang kawasan itu adalah kawasan penghasil kopi dan gula.
Kehadiran mereka mengubah segalanya. Mulailah terjadi perubahan tatanan sosial, budaya, hingga tata kota seiring bertambahnya penduduk. Untuk mengantisipasi perkembangan itu, pemerintah kolonial mulai membuat Bouwplan (rencana pengembangan kota) untuk mengatur pemukiman, fasilitas umum, dan tata ruang kota.
Rencana Pengembangan Kota ala Belanda
Pertigaan pertemuan jalan yang menghubungkan kawasa Oro-oro Dowo dengan kawasan Kajoetangan
Sebelum Belanda mulai merencanakan untuk menata menata Kota Malang, sejak tahun 1900-an sebenarnya sudah ada penduduk bumiputera (pribumi), penduduk Timur Asing yakni etnis Tionghoa, Arab serta warga Eropa yang tinggal. Malang saat itu statusnya masih kota kabupaten, bagian dari Karesidenan Pasuruan.
Nah, ketika status Malang berubah jadi Gemeente (kotamadya) pada 1914, Belanda mulai merancang kota Malang secara terstruktur. Bouwplan (rencana pengembangan kota) dibuat jadi 8 tahap. Masing-masing punya tujuan berbeda.
Intinya, perencanaan tata kota itu adalah untuk mengantisipasi pertambahan penduduk serta kemajuan ekonomi yang sangat cepat di Kota Malang.
Jejak Pembagian Kawasan di Malang
Pemerintah kolonial memisahkan permukiman atau kawasan berdasarkan etnis: Eropa, Tionghoa, Arab, dan pribumi. Tidak cuma beda lokasi, fasilitas dan desain bangunannya juga dibedakan. Kawasan orang Eropa paling mewah, sementara wilayah pribumi sering diabaikan.
1. Kawasan Eropa sebagai Pusat Kekuasaan
Orang Belanda tinggal di sekitar alun-alun dan jalan strategis seperti kawasan Talun, Tongan, Oro-Oro Dowo, dan Kajoetangan. Awalnya, pusat pemerintahan ada di Alun-Alun Merdeka, tapi mereka memindahkan ke Alun-Alun Bundar karena mereka menolak nuansa Jawa yang masih kental di sana.
Pada 1914, Bouwplan I mulai diterapkan. Alun-Alun Bundar masih sepi, cuma ada Sungai Brantas dan lahan kosong. Baru tahun 1916 pembangunan jalan, rumah dan jembatan dimulai. Hotel Splendid yang berdiri didekat Alun-alun Bundar adalah bukti awal kedatangan orang Eropa.
Pada 1920-an, Bouwplan II membuat kawasan ini semakin elit. Arsitek kota saat itu, Ir. Herman Karsten merancangnya jadi pusat pemerintahan dengan balai kota, hotel mewah, dan sekolah buat orang Belanda.
2. Pecinan sebagai Pusat Dagang Tionghoa
Kawasan Pecinan (Jalan Pasar Besar sekarang), dibangun di sebelah tenggara Alun-alun Merdeka. Sejak 1910, sebenarnya kawasan ini jadi sudah pusat ekonomi. Mayoritas penghuninya pedagang, jualan bahan pangan sampai barang impor.
Dulu kawasan ini disebut Chinezenkamp (Kampung Cina). Kemudian jadi sering disebut Pecinan.
3. Embong Arab untuk Pedagang Timur Tengah
Kawasan ini terletak di barat daya Alun-alun. Pemukiman Arab sebenarnya udah ada sejak abad ke-18.
Ciri bangunan di kawasan ini mirip rumah Eropa tapi lebih kecil, tanpa halaman luas.
Dulu kawasan ini jadi pusat tempat tinggal pedagang Arab.
4. Kampung Bumiputera yang Hidup di Pinggiran
Pemerintah kolonial mengumpulkan mereka di daerah selatan dan utara alun-alun, seperti Kebalen, Jodipan, dan Klojen Lor. Fasilitas yang dibangun seadanya, jalannya banyak yang sempit, tapi jadi pusat aktivitas warga.
Pasar tradisional dan rumah-rumah sederhana dominan ada di kawasan tersebut.
Pemisahan etnis zaman kolonial masih meninggalkan bekas yang masih kelihatan sampai sekarang. Kawasan Eropa tetap elite, Pecinan masih ramai jadi pusat perdagangan, Embong Arab jadi wisata dan area religi. Sementara kampung pribumi bertahan dengan ciri khasnya. (Bersambung ke bagian 2)
------------------------------------
Sumber:
1. Skripsi Permukiman di Pinggir Sungai: Sejarah Kawasan Oro-Oro Dowo di DAS Brantas Kota Malang 1930-1950, Ahmad Isyraqul Haq, Universitas Negeri Malang. Program Studi Ilmu Sejarah, 2021.
2. Kisah Sejarah Kota Malang yang Tak Banyak Terungkap, https://pattiromalang.blogspot.com/2012/04/kisahsejarah-kota-malang-yang-tak.html
Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
Editor | : Faizal R Arief |