TIMES MALANG, DENPASAR – Akulturasi budaya antarumat beragama selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Terlebih ketika akulturasi tersebut terjadi di pemukiman dengan mayoritas penduduk tertentu. Tatkala dua keyakinan menyatu di tapak yang sama, terciptalah keharmonisan dari perbedaan yang ada.
Di Bali, misalnya. Berada di Desa Adat Bunutin, Bangli, terdapat sebuah pura yang menjadi salah satu simbol toleransi antara umat Hindu dan Islam. Tempat tersebut adalah Pura Langgar, atau dikenal juga sebagai Pura Penataran Agung Dalem Jawa Blambangan.
Sesuai dengan namanyaa yakni “Pura Langgar,” pura yang merupakan tempat ibadah bagi umat Hindu ini menyediakan sebuah langgar (musala) di area pura bagi umat Muslim yang ingin beribadah di sana.
Sejarah Terbentuknya Pura Langgar
Dikutip dari Widiastuti (2022), Pura Langgar berawal dari perselisihan antara Raja Dalem Sri Juru dari Kerajaan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa (kini Banyuwangi) dan Raja Dalem Waturenggong dari Kerajaan Gelgel, Klungkung.
Fasilitas wudhu di area depan pura yang bertujuan mempermudah pengunjung muslim berwudhu sebelum beribadah. (Foto: Heliavita Jasmine/TIMES Indonesia)
Perselisihan yang terjadi pada pertengahan abad ke-16 ini bermula dari penolakan Raja Blambangan terhadap permintaan Dalem Waturenggong untuk meminang putrinya, Ayu Mas.
Karena itu, dua putra Raja Blambangan, yakni Pangeran Mas Sepuh dan Pangeran Wilis, berniat menemui Raja Gelgel untuk bersilaturahmi sekaligus memohon maaf atas kelancangan ayah mereka.
Namun dalam perjalanan pulang ke Blambangan, keduanya diserang oleh pasukan Kerajaan Mengwi. Serangan tersebut menewaskan Pangeran Mas Sepuh, sementara Pangeran Wilis berhasil menyelamatkan diri. Ia kemudian memohon perlindungan kepada Raja Gelgel dan diizinkan tinggal di Desa Bunutin.
Di tengah masa kekuasaannya, I Dewa Mas Wilis wafat, meninggalkan dua istri dan lima putra. Dari salah satu istrinya yang berasal dari keturunan Raja Mengwi, I Dewa Mas Wilis memiliki dua putra, yakni Ida I Dewa Mas Blambangan dan Ida I Dewa Mas Bunutin. Ida I Dewa Mas Blambangan, sebagai putra sulung, mewarisi tahta setelah ayahnya wafat.
Sayangnya, tak lama setelah naik tahta, ia jatuh sakit dan dikatakan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan. Keluarga kemudian melakukan ritual memohon kesembuhan kepada para leluhur. Di tengah ritual itu, seseorang mengalami kesurupan dan menyampaikan pesan untuk membangun sebuah bangunan menyerupai langgar di dalam area pemerajaan puri.
Tak lama kemudian, kesehatan Ida I Dewa Mas Blambangan berangsur pulih. Bangunan langgar inilah yang kemudian membuat Pemerajaan Agung Bunutin dikenal sebagai Pura Langgar atau Pura Dalem Jawa.
Selain menjadi tempat shalat bagi umat Muslim, Pura Langgar juga menyediakan area berwudu di bagian depan sebelum memasuki pura, sehingga memudahkan umat Islam yang hendak beribadah. Namun, fasilitas ini kini jarang digunakan karena sudah jarang umat Muslim yang berkunjung.
Tradisi Turun-Temurun
I Dewa Ketut Raka selaku klian pura, Pura Langgar menyampaikan, bahwa salah satu aturan yang telah ada sejak dulu dan masih dipertahankan hingga kini adalah larangan membawa babi ke dalam pura, terutama untuk persembahan
. “Yang jelas berbeda di sini itu untuk persembahan hanya pakai daging ayam dan bebek, tidak menggunakan babi. Saya sendiri kurang tahu apa alasannya, namun memang tradisi tidak menggunakan babi untuk persembahan ini sudah turun-temurun.”
Selain itu, terdapat pula ritual khusus yang mirip dengan tradisi kurban dalam Islam, yakni Titi Mamah, yang dilaksanakan setiap Tilem ing Kawulu.
Upacara ini bertujuan memohon keselamatan dan menolak bencana. Ritual dilakukan menggunakan seekor anak sapi jantan berwarna merah. Prosesi dimulai dengan memandikan anak sapi, kemudian mengaraknya mengelilingi pura sebanyak tiga kali sebelum akhirnya disembelih.
Kulit, kepala, dan kaki sapi akan digunakan sebagai sarana upacara dan kemudian dilarung ke telaga pura, sementara bagian dagingnya dibagikan kepada warga. Ritual ini diyakini merupakan bentuk akulturasi antara kepercayaan Hindu dan kebiasaan masyarakat Jawa pada masa lalu. (*)
| Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |