TIMES MALANG, SIDOARJO – Anggota DPD RI, Lia Istifhama mengaku menerima berbagai laporan terkait pelayanan BPJS Kesehatan yang seringkali menjadi polemik di masyarakat.
Belum lama ini, sejumlah fasilitas kesehatan (faskes), baik rumah sakit maupun puskesmas, mengungkapkan kesulitan akibat adanya kebijakan yang membatasi 144 jenis penyakit yang tidak lagi dicover oleh BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan sendiri menjelaskan bahwa kebijakan tersebut diterapkan berdasarkan kapasitas masing-masing fasilitas.
Jika kuota layanan di suatu rumah sakit telah terpenuhi, BPJS Kesehatan tidak akan menanggung biaya untuk pasien berikutnya. Akibatnya, banyak pasien yang terpaksa antre panjang dan bahkan tidak terlayani di beberapa rumah sakit.
"Saya ingat betul, BPJS Kesehatan seharusnya fokus pada mutu layanan dan efektivitas pembiayaan, bukan malah memicu kebingungan di kalangan pasien, peserta BPJS, dan fasilitas kesehatan. Kebijakan-kebijakan yang terkadang tidak masuk akal, yang tiba-tiba diberlakukan, justru merugikan," kata Ning Lia, sapaan akrab Lia Istifhama, Minggu (22/12/2024).
Sebagai anggota Komite III DPD RI yang membidangi Kesehatan, Ning Lia mengingatkan bahwa beberapa waktu lalu BPJS Kesehatan menetapkan bahwa beberapa penyakit harus ditangani di faskes pertama.
Padahal, banyak pasien yang membutuhkan rujukan dengan indikasi medis tertentu. Menurut Ning Lia, berdasarkan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), keduanya merupakan dasar hukum utama yang mengatur operasional BPJS Kesehatan.
“Kedua UU ini memegang peranan penting dalam mengatur mekanisme jaminan kesehatan nasional. Namun, seiring perkembangan dan dinamika pelayanan kesehatan, evaluasi dan revisi terhadap kedua undang-undang ini perlu dilakukan untuk meningkatkan keadilan dan efisiensi bagi semua pihak yang terlibat,” ungkapnya.
Dengan adanya berbagai polemik dalam pelayanan kesehatan, baik antara BPJS Kesehatan dan faskes, keponakan Khofifah Indar Parawansa ini menilai bahwa baik BPJS Kesehatan maupun faskes perlu melakukan perbaikan. BPJS harus mampu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan layanan.
"Revisi UU sangat diperlukan untuk menambahkan ketentuan yang lebih rinci mengenai transparansi pengelolaan dana dan kewajiban pelaporan keuangan secara berkala kepada publik. Diperlukan juga audit independen untuk memastikan bahwa dana digunakan dengan tepat, tanpa penyalahgunaan," tegasnya.
Selain itu, Doktoral Unair ini juga menekankan pentingnya kepastian dan konsistensi regulasi dengan memberikan ketentuan yang lebih jelas mengenai hak dan kewajiban peserta BPJS, serta sanksi bagi penyedia layanan dan BPJS sendiri apabila melanggar aturan.
“Harus ada stabilitas kebijakan dengan mengurangi frekuensi perubahan kebijakan yang dapat membingungkan peserta dan penyedia layanan. Misalnya, kasus terbaru mengenai 144 penyakit yang tidak dicover, sistem yang sering error, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa BPJS Kesehatan tidak konsisten dan justru merugikan masyarakat,” jelasnya.
Menyadari adanya sistem administrasi yang rumit, Ning Lia berharap BPJS Kesehatan bisa menyederhanakan prosedur klaim dan mengurangi birokrasi yang berlebihan. Hal ini diharapkan dapat diatur lebih jelas dalam undang-undang sehingga memudahkan peserta dan penyedia layanan kesehatan dalam mengajukan klaim dan menerima pembayaran tepat waktu.
"Perlu ada pemaksimalan digitalisasi layanan dengan terus mengadopsi teknologi informasi yang lebih luas untuk mempercepat proses administrasi dan layanan BPJS," harapnya.
Maka dari itu, Ning Lia menegaskan jika BPJS Kesehatan juga terus berupaya untuk melakukan standarisasi pelayanan kesehatan.
Salah satu langkahnya adalah dengan menetapkan standar pelayanan kesehatan yang lebih tinggi dan melakukan pengawasan ketat terhadap kepatuhan rumah sakit dan fasilitas kesehatan terhadap standar tersebut.
"Jika perlu, ada insentif bagi penyedia layanan yang memberikan pelayanan berkualitas tinggi kepada peserta BPJS," katanya.
Dengan banyaknya polemik dalam pelayanan kesehatan, Ning Lia menganggap penting untuk melakukan revisi terhadap UU SJSN dan UU BPJS. Revisi tersebut dianggap sebagai langkah strategis untuk memastikan sistem jaminan kesehatan di Indonesia lebih adil, transparan, dan efektif.
Melalui penyesuaian regulasi ini, diharapkan BPJS Kesehatan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dan merata kepada seluruh masyarakat, sekaligus memastikan keberlanjutan dan efisiensi sistem jaminan sosial nasional.
"Saya rasa sangat penting adanya revisi UU yang memperkuat mekanisme partisipasi publik dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan BPJS, misalnya melalui konsultasi publik atau forum dialog serta pembentukan komite pengawas yang melibatkan perwakilan masyarakat, penyedia layanan kesehatan, dan pemerintah untuk mengawasi kinerja BPJS," Paparnya.
BPJS Kesehatan tidak boleh kebal hukum dan sesuka hati melakukan perubahan aturan layanan. Dalam hal ini, peserta BPJS Kesehatan juga berhak mendapatkan perlindungan hukum.
“Pasien harus dilindungi hukum apabila mengalami penolakan atau pelayanan yang tidak memadai dari fasilitas kesehatan. Dengan demikian, layanan kesehatan ini benar-benar dapat membantu masyarakat secara menyeluruh,” pungkas Lia Istifhama. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Anggota DPD RI Lia Istifhama Minta BPJS Kesehatan Evaluasi untuk Tingkatkan Layanan
Pewarta | : Rudi Mulya |
Editor | : Ronny Wicaksono |