TIMES MALANG, PROBOLINGGO – Haul Habib Husein bin Hadi Al-Hamid digelar Minggu (11/9/2022) di Masjid Al-Mubarok, Desa Brani Kulon, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Ini adalah haul ke-38 tokoh yang dipercaya sebagai titisan Syekh Abdul Qodir Jaelani ini.
Ya, Habib Husein bin Hadi Al-Hamid wafat 38 tahun lalu berdasarkan kalender Hijriah. Pendiri Pondok Pesantren Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) ini, wafat dalam usia 124 tahun, bertepatan dengan 25 Januari 1986 berdasarkan kalender Masehi.
Beliau termasuk seorang waliyullah yang berumur panjang dan jauh dari penyakit. ”Di hati saya, tidak mempunyai sedikit pun rasa iri dan dengki terhadap pemberian orang lain,” kata Habib Husein soal rahasia kesehatannya, sebagaimana dikutip dari manakib yang disusun cucunya, Habib Abdul Qadir bin Muhammad Shodiq bin Husein Al-Hamid.
Suasana makam Habib Husein saat haul ke-38, Minggu (11/9/2022). (FOTO: Diambil dari live streaming haul ke-38 Habib Husein)
Selain itu, hingga akhir hayatnya, Habib Husein tak pernah absen salat subuh berjamaah. Habib kelahiran Hadramaut, Yaman Selatan pada tahun 1862 ini juga gemar berolah raga dengan berjalan kaki.
Olah raga yang dilakukan oleh Habib Husein bukan sekadar jalan kaki. Beliau juga sambil berdakwah. Disebutkan, setiap tempat yang Beliau singgahi, seperti pasar, rumah-rumah warga, selalu mendapat rahmah. Rutinitas berjalan kaki itulah yang membuat tubuh Habib Husein selalu sehat.
Kegemaran Habib Husein bersilaturahmi ke rumah-rumah warga dan ke pasar, juga untuk menjalin hubungan yang erat dengan ummat sebagai bentuk hablumminannas.
Saat berada di pasar, Habib Husein tak segan membeli dagangan para penjual. Bahkan, Habib Husein sering memborong barang dagangan dari pedagang yang tidak laku sama sekali. Tujuannya hanya satu, yakni agar pedagang tersebut tidak rugi.
Amaliah itulah yang membuat dakwah Habib Husein mudah diterima oleh masyarakat luas.
Semangat dakwah itu sudah ia lakukan sejak dari Hadramaut, hingga akhirnya tiba di Desa Berani Kulon, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo.
Dari Hadramaut Berdakwah Hingga ke Brani Kulon
Habib Husein merupakan salah satu waliyullah di Jawa Timur. Beliau merupakan ulama tersohor asal Hadramaut, Yaman. Kesolehannya tak lepas dari didikan kedua orang tuanya, Habib Hadi bin Salim Al-Hamid dan Ummu Hani.
Diketahui, Habib Hadi bin Salim Al-Hamid, ayahanda Habib Husein, dikenal sebagai salah seorang wali yang kesohor di Hadramaut. Habib Husein dibesarkan sampai umur 86 tahun di Hadramaut.
Para jemaah haul ke-38 Habib Husein, di Masjid Al Mubarok Ponpes Aswaja. (FOTO: Diambil dari live streaming haul ke-38 Habib Husein)
Bagi orang sekarang, usia 86 tahun itu sudah memasuki lanjut usia. Dimana, orang sudah mulai kehilangan kekuatan dan gairahnya. Namun tidak bagi Habib Husein. Raganya masih kuat layaknya seorang pemuda.
Di usia 86 tahun atau tepatnya 1929 M, Habib Husein masih senang mengembara ke berbagai negeri. Termasuk ke Hujarat dengan menggunakan kapal laut bersama saudagar-saudagar Arab yang berdagang melanglang buana ke berbagai negeri. Sejak itu ia Habib Husein meninggalkan Yaman dan tidak pernah kembali lagi ke sana.
Sekitar 2 tahun, Habib Husein tinggal di Gujarat. Selama di Gujarat, Habib Husein berguru pada ulama setempat dan berdagang. Setelah itu, beliau kembali mengembara ke Indonesia dengan menggunakan kapal saudagar menuju Batavia, yang saat ini menjadi Jakarta.
Tak berapa lama kemudian, Habib Husein mengembara lagi ke berbagai daerah dan akhirnya sampai ke Pekalongan. Di Pekalongan, Habib Husein kemudian berguru pada seorang wali besar, yakni Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas, hingga beberapa tahun lamanya.
Kepada auliya’ yang sangat terkenal di Pekalongan itu, Habib Husein selain berguru ilmu lahir, ia juga mendalami ilmu batin. Sebagai tanda bahwa Habib Husein telah mencapai maqam kewalian yang mumpuni, ia kemudian dihadiahi sebuah sorban dan kopiah putih dari Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alattas.
Atas pesan Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alattas, Habib Husein kemudian mengasah ilmu kepada Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor, yang tidak lain adalah guru dari Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alatas. Selama menjadi murid Habib Muhammad, Habib Husein senantiasa mendapat perintah untuk berdakwah ke berbagai daerah.
Salah satu tugasnya yang terakhir dari gurunya itu, Habib Husein diperintahkan untuk menyebarkan dakwah ke Desa Brani Kulon, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Ia masuk ke desa yang terpencil itu sekitar tahun 1939.
Saat itu kondisi Desa Brani Kulon masih berupa hutan belantara dan sarang penyamun. Tampaknya, Habib Husein memang sengaja ditugasi untuk membrantas para penyamun untuk kembali ke jalan Allah SWT.
Setelah Habib Husein tinggal di Brani Kulon, beliau langsung berdakwah dan dakwahnya itu diterima secara luas ke seluruh pelosok Kabupaten Probolinggo.
Tak mudah seperti yang dibayangkan. Habib Husein tidak langsung menempati rumah mewah di Brani Kulon. Beliau masih membabat alas terlebih dahulu, bahkan Habib Husein hidup menumpang pada salah satu penduduk setempat.
Kendati hanya hidup menumpang, ia tetap gigih berdakwah dalam rangka menyebarkan ajaran Islam. Hingga kemudian ia berhasil mendirikan pesantren kecil. Di desa itu pula ia mengakhiri masa lajangnya.
Nah, di tengah kesibukannya berdakwah, Habib Husein masih tetap gemar berziarah ke makam waliyullah yang ada di Indonesia. Salah satunya saat berziarah ke Makam Habib Husein bin Abdullah Alaydrus, di Kramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara. Beliau berziarah bersama ulama lainnya.
Ada sebuah peristiwa yang mengandung pesan mendalam saat perjalanan ziarah tersebut. Saat di dalam kereta api, Habib Husein didatangi seorang pemuda yang hanya memakai kaus oblong. Pemuda itu berdiri tepat di depan Habib Husein.
Pemuda itu kemudian memaksa Habib Husein agar tempat duduknya disediakan untuknya. Habib Husein pun berdiri, sembari menyerahkan tempat duduknya kepada pemuda asing itu.
Setelah berdialog beberapa saat, Habib Husein memberi bekal uang yang tersisa pada pemuda tersebut. Tak berapa lama, tiba-tiba pemuda asing itu menghilang begitu saja.
Orang-orang di sekitar Habib Husein pun sontak bertanya tentang keberadaan pemuda tersebut. ”Dia itu sebenarnya adalah Nabiyallah Khiddir Alaihi Salam,” kata Habib Husein, seperti yang diriwayatkan oleh Habib Abdul Qadir bin Muhammad Shodiq bin Husein Al-Hamid dalam sebuah manakib.
Dikenal sebagai Titisan Syekh Abdul Qodir Jaelani
Masih banyak cerita kewalian Habib Husein, yang dimanakibkan oleh cucunya, Habib Abdul Qodir. Dan, cerita kewalian yang paling banyak dikenal oleh masyarakat adalah bahwa pendiri Pondok Pesantren Aswaja itu merupakan titisan Syiekh Abdul Qadir Jaelani.
Singkat cerita, Habib Ahmad, salah seorang sahabatnya, pernah bermunajat kepada Allah agar bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Jaelani.
Dalam mimpinya, ia dipertemukan dengan Syeikh Abdul Qadir Jaelani yang bersorban putih. Tapi ketika didekati ternyata, wajah itu adalah wajah Habib Husein bin Hadi Al-Hamid. Hal tersebut bermakna bahwa keilmuan dan derajat kewaliaannya sederajat dengan Kanjeng Syekh Abdul Qadir Jaelani di masanya.
Karenanya, tak heran jika Habib Husein kerap dikunjungi oleh para Habaib pada zamannya, seperti Habib Soleh, Tanggul Jember. Habib Husein juga mempunyai kedekatan khusus dengan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, pendiri Pondok Pesantren Darul Hadits, Malang.
Kedekatan itu kemudian diteruskan oleh anak cucu keturunan dari Habib Husein. Dimana, keturunan Habib Husein banyak yang mondok di Pondok Pesantren Darul Hadits, seperti Habib Muhammad Shodiq (anak), Habib Abdul Qadir (cucu), Habib Salim (cucu).
Saat ini, Habib Abdul Qodir menjadi pengasuh Pondok Pesantren Aswaja, peninggalan sang kakek.
Habib Husein bin Hadi Al-Hamid sendiri wafat pada Jumat Legi, 11 Safar 1406 H/25 Januari 1986. Jenazahnya kemudian dimakamkan di sebelah utara Masjid Al Mubarok, komplek Pondok Pesantren Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Desa Brani Kulon, Kecamatan Maron, Probolinggo, Jawa Timur. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Habib Husein bin Hadi Al-Hamid, Dikenal sebagai Titisan Syekh Abdul Qodir Jaelani
Pewarta | : Rhomadona (MG-410) |
Editor | : Muhammad Iqbal |