TIMES MALANG, MALANG –
Dalam hamparan sejarah peradaban tauhid, ada satu momen agung yang tak hanya mengguncang langit, tapi juga menggetarkan bumi: kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail. Sebuah kisah yang abadi, bukan karena keajaiban fisiknya, tetapi karena kedalaman maknanya.
Di lembah ujian itu, tidak ada pedang, tidak ada darah, tidak ada paksaan: hanya cinta, iman, dan keikhlasan yang saling menatap dalam diam.
Ketika Nabi Ibrahim menerima perintah Allah melalui mimpi untuk menyembelih putranya, tak ada gugatan, tak ada tanya yang meragukan.
Ini bukan soal kekerasan, melainkan soal ketaatan dalam bentuk tertinggi. Ismail, anak muda yang belum banyak makan garam dunia, menerima titah itu dengan jiwa lapang: "Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar." (QS. Ash-Shaffat: 102).
Itulah dialog abadi antara generasi tua (ayah) yang teguh dan generasi muda (anak) yang tunduk kepada kebenaran. Dalam konteks kekinian, mampukah kita “menyembelih” ego saat kebenaran memanggil? Sudah siapkah kita “mengorbankan” kenyamanan demi kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial?
Kurban: Bukan Sekadar Ritual
Kita berada dan hidup di era digital yang tak mungkin dihindari: semua serba cepat, instan, dan penuh distraksi. Nilai-nilai pengorbanan, kesabaran, dan ketaatan terasa asing di tengah budaya “self-centered” dan “instant gratification.” Tapi justru di sinilah relevansi kisah Ibrahim dan Ismail begitu terasa.
Kisah tersebut mengajarkan bahwa ujian tak selalu datang dalam bentuk pedang atau mimpi, tetapi dalam bentuk pilihan-pilihan harian yang menguji nurani. Generasi Z yang disebut sebagai “digital native” harus belajar dari Nabi Ismail. Seorang “youth” dalam sejarah yang tak menuntut eksistensi dengan pemberontakan, melainkan dengan ketulusan mengikuti jalan yang Allah ajarkan.
Ia tak hanya “viral”, tapi kisahnya abadi. Ia tak hanya “trending”, tapi sikapnya selama ribuan tahun menjadi pelajaran penting. Menjadi teladan bagi kita, bagaimana agar hidup ini lebih bermakna.
Kurban bukanlah ajang mengingat kambing dan sapi, tapi tentang mengingat apa yang harus kita lepaskan agar lebih dekat dengan Tuhan. Bagi generasi muda, qurban adalah momen merefleksi: apa yang selama ini kita genggam terlalu erat: popularitas, validasi digital, gengsi akademik, atau cinta yang tak halal? Ataukah kemalasan yang selalu kita pelihara?
Setiap Idul Adha, Tuhan seakan hendak berkata: “Tunjukkan padaku apa yang paling kau cintai, lalu bisakah kau lepaskan semua itu demi Aku?” Adapun jawaban Nabi Ibrahim: “Ya, meskipun itu putraku.” Sedangkan jawaban Nabi Ismail: “Ya, meskipun itu hidupku.” Lalu apa jawaban kita?
Keteguhan Ayah, Keikhlasan Anak
Menjadi “Ismail zaman now” tidak berarti menanti disembelih. Namun, rela melepaskan apa yang dicintai dunia demi keluhuran nilai. Rela tidak curang saat ujian online. Rela mengakui kesalahan tanpa menyalahkan algoritma.
Rela menjadi jujur saat semua berlomba menipu citra di media sosial. Rela mencintai tanpa melanggar batas dan rela kalah asal benar. Itulah semangat qurban: bukan tentang darah, tapi tentang hati; bukan tentang persembahan daging, tapi pengorbanan diri.
Setiap orang tua (ayah) dan generasi muda (anak) telah dan akan melewati “lembah Mina” dalam bentuknya masing-masing. Lembah itu bisa berupa dilema moral, tekanan pergaulan, godaan popularitas, atau kelelahan eksistensial. Namun di sanalah kebenaran menanti pembuktian.
Di situlah jiwa diuji: apakah kita akan seperti Ibrahim yang percaya dan teguh pendirian akan perintah Tuhan? Apakah kita akan menjadi Ismail yang penuh keikhlasan dan berserah dalam keimanan? Ataukah seperti mereka yang terus berlari dari pengorbanan?
Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tidak akan pernah usang. Ia akan terus menjadi cermin bagi siapa saja yang ingin hidup tak hanya bisa eksis, tapi juga berarti. Pada akhirnya, hanya mereka yang rela “melepaskan” yang akan menerima anugerah sejati, seperti Nabi Ibrahim menerima anugerah luar biasa yang datang dari langit.
Selamat Idul Adha. Semoga kita bisa menjadi insan yang rela berkorban, bukan sekadar tampil mengesankan. Manfaat bagi orang lain, di sepanjang kehidupan.
*) oleh: Mohamad Sinal Penulis adalah Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : xxx |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |