https://malang.times.co.id/
Opini

Gus Dur dan Kita yang Terlalu Serius Berkuasa

Kamis, 18 Desember 2025 - 21:31
Gus Dur dan Kita yang Terlalu Serius Berkuasa Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Nama Gus Dur selalu hadir sebagai paradoks dalam sejarah Indonesia. Ia seorang ulama, tetapi tak kaku. Seorang presiden, tetapi sering ditertawakan. Seorang pemikir besar, namun memilih bahasa sederhana, bahkan jenaka. 

Di tengah politik hari ini yang penuh kalkulasi, pencitraan, dan perebutan kekuasaan, Gus Dur terasa semakin relevan justru karena sikapnya yang sering dianggap “tidak biasa”.

Gus Dur tidak memandang kekuasaan sebagai panggung untuk tampil sempurna. Ia memandangnya sebagai amanah yang harus dijalani dengan keberanian moral. Karena itu, ia berani mengambil sikap yang tidak populer. Ia membela kelompok minoritas ketika banyak politisi memilih diam. Ia berbicara tentang kemanusiaan ketika yang lain sibuk mengatur posisi. Dalam politik yang sering kali dipenuhi kepura-puraan, Gus Dur tampil apa adanya.

Yang menarik, Gus Dur tidak pernah memisahkan agama dari kemanusiaan. Bagi Gus Dur, beragama bukan soal simbol, melainkan keberpihakan. Ia tidak sibuk memperdebatkan siapa paling benar, tetapi siapa yang paling menderita. 

Cara pandangnya ini membuatnya kerap disalahpahami, bahkan oleh sebagian umat Islam sendiri. Namun justru di situlah kekuatan Gus Dur: ia berdiri pada nilai, bukan pada tepuk tangan massa.

Di era sekarang, ketika agama sering dijadikan alat legitimasi politik, Gus Dur seperti cermin yang memantulkan wajah kita sendiri. Kita mudah mengutip dalil, tetapi gagap ketika harus bersikap adil. 

Kita rajin bicara moral, tetapi sering menutup mata terhadap ketidakadilan. Gus Dur mengajarkan bahwa keberanian moral jauh lebih mahal daripada sekadar retorika religius.

Humor adalah senjata khas Gus Dur. Ia menertawakan kekuasaan, termasuk dirinya sendiri. Humor baginya bukan pelarian, melainkan cara menjaga kewarasan. 

Di tengah elite yang mudah tersinggung dan rakyat yang cepat marah, Gus Dur menunjukkan bahwa tertawa bisa menjadi bentuk kritik paling tajam. Humor Gus Dur meruntuhkan kesombongan, membongkar kemunafikan, dan menyadarkan bahwa kekuasaan tidak sepenting itu untuk diperebutkan secara membabi buta.

Sayangnya, hari ini Gus Dur sering direduksi menjadi sekadar simbol. Namanya dikutip, fotonya dipajang, tetapi gagasannya jarang dipraktikkan. Banyak yang mengaku “murid Gus Dur”, tetapi alergi terhadap perbedaan. Banyak yang mengklaim meneruskan perjuangannya, tetapi justru memelihara eksklusivisme. Gus Dur diperingati, tetapi nilainya sering dilupakan.

Padahal, Gus Dur adalah kritik hidup terhadap cara kita berbangsa. Ia mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi soal penghormatan terhadap martabat manusia. Ia mengajarkan bahwa negara kuat bukan karena seragam, melainkan karena adil. Ia menegaskan bahwa mayoritas yang dewasa adalah mayoritas yang melindungi minoritas, bukan menindasnya.

Dalam konteks generasi muda hari ini, Gus Dur seharusnya dibaca ulang, bukan disakralkan. Gus Dur bukan figur tanpa salah, tetapi justru manusia yang berani mengambil risiko demi prinsip. 

Di saat banyak anak muda apatis terhadap politik karena muak dengan elitisme, Gus Dur menunjukkan bahwa politik bisa dijalani dengan nurani, keberanian, dan kejujuran meski konsekuensinya berat.

Gus Dur juga relevan dalam dunia pendidikan dan kebudayaan. Ia percaya bahwa kecerdasan tanpa empati akan melahirkan elit yang dingin. Ia menolak cara berpikir tunggal dan membuka ruang bagi keberagaman tafsir. 

Dalam masyarakat yang mudah membid’ahkan, melabeli, dan menghakimi, cara berpikir Gus Dur adalah oase: longgar dalam perbedaan, tegas dalam kemanusiaan.

Indonesia hari ini mungkin tidak kekurangan orang pintar, tetapi sering kekurangan orang berani. Berani berbeda, berani membela yang lemah, berani kehilangan jabatan demi nilai. 

Gus Dur telah menunjukkan harga dari keberanian itu. Ia jatuh dari kursi presiden, tetapi berdiri tegak dalam sejarah. Banyak yang menang kekuasaan, tetapi kalah dalam ingatan publik. Gus Dur sebaliknya.

Maka, mengenang Gus Dur seharusnya tidak berhenti pada nostalgia. Pertanyaannya sederhana tetapi menohok: apakah kita masih berani jujur di tengah kepentingan? Apakah kita masih mampu tertawa di tengah fanatisme? Apakah kita masih mau membela yang lemah ketika itu merugikan posisi kita?

Gus Dur telah pergi, tetapi kegelisahannya seharusnya tetap hidup. Selama ketidakadilan masih ada, selama perbedaan masih dipertentangkan, dan selama kekuasaan masih terlalu serius diperebutkan, gagasan Gus Dur akan selalu menemukan relevansinya. Bukan sebagai legenda, tetapi sebagai pengingat: bahwa menjadi manusia sering kali lebih penting daripada menjadi pemenang.

***

*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.