https://malang.times.co.id/
Opini

Peran NGO dan Dilema Ekopolitik Pertambangan Kalimantan Timur

Kamis, 18 Desember 2025 - 22:10
Peran NGO dan Dilema Ekopolitik Pertambangan Kalimantan Timur Ogie Anang Albanjari, Mahasiswa Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

TIMES MALANG, MALANG – Kalimantan Timur menempati posisi strategis dalam peta ekonomi sumber daya alam Indonesia. Kekayaan batubara dan minyak bumi telah lama menjadi tulang punggung pertumbuhan daerah, sekaligus penopang pendapatan nasional. Namun, di balik kontribusi ekonomi tersebut, eksploitasi sumber daya alam yang masif meninggalkan jejak degradasi ekologis yang tidak kecil. 

Deforestasi, pencemaran air, kerusakan keanekaragaman hayati, serta meningkatnya kerentanan sosial masyarakat sekitar tambang, terutama komunitas adat menjadi konsekuensi yang terus berulang. Dalam konteks inilah dilema ekopolitik muncul: bagaimana menyeimbangkan kepentingan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial secara bersamaan.

Model pengelolaan lingkungan yang bertumpu pada pendekatan hierarkis negara terbukti tidak lagi memadai menghadapi kompleksitas persoalan pertambangan. Keterbatasan kapasitas pengawasan, konflik kepentingan fiskal daerah, serta dominasi logika ekonomi korporasi membuat kebijakan lingkungan kerap kehilangan daya kendali. 

Oleh karena itu, gagasan collaborative governance mengemuka sebagai alternatif, dengan menempatkan negara, sektor swasta, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat dalam satu jejaring tata kelola yang saling berinteraksi. Namun, kolaborasi ini tidak otomatis menghadirkan keadilan, karena relasi kekuasaan di dalamnya tetap timpang.

Dalam lanskap ini, organisasi non-pemerintah seperti World Wide Fund for Nature (WWF) memainkan peran penting. WWF hadir sebagai aktor non-negara yang mendorong konservasi ekosistem, advokasi kebijakan lingkungan, serta dialog lintas sektor antara pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat sipil. 

Peran tersebut mencerminkan praktik governance beyond government, di mana kebijakan publik tidak lagi dimonopoli oleh negara, melainkan dibentuk melalui jejaring aktor dengan kepentingan dan sumber daya yang beragam. WWF sering berada pada posisi strategis sebagai policy broker, menjembatani rasionalitas ekonomi korporasi dan rasionalitas ekologis masyarakat.

Namun, kolaborasi semacam ini menyimpan persoalan mendasar. Dalam praktiknya, relasi antaraktor masih bersifat asimetris. Pemerintah dan perusahaan tambang tetap menjadi aktor dominan karena memiliki legitimasi hukum, sumber daya finansial, dan kendali atas informasi teknis. 

Sebaliknya, NGO dan masyarakat lokal kerap berada pada posisi periferal, mengandalkan kekuatan moral, tekanan opini publik, serta legitimasi ilmiah. Akibatnya, collaborative governance berisiko berubah menjadi kerja sama simbolik yang lebih berfungsi melegitimasi kebijakan yang sudah ditentukan sebelumnya.

Pemerintah daerah Kalimantan Timur menghadapi dilema struktural. Di satu sisi, mereka bertanggung jawab mengawasi kepatuhan perusahaan terhadap AMDAL dan reklamasi pascatambang. Di sisi lain, ketergantungan pada pendapatan dari sektor tambang membuat posisi pemerintah sering ambigu antara pengawas dan penerima manfaat. 

Kondisi ini membuka ruang kompromi kebijakan yang melemahkan perlindungan lingkungan. WWF berupaya mengisi celah tersebut melalui pendekatan berbasis sains, dengan menghadirkan data ekologis dan rekomendasi kebijakan. Namun, tanpa dukungan politik yang kuat, argumen ilmiah sering kalah oleh pertimbangan ekonomi jangka pendek.

Dilema etika juga membayangi peran NGO dalam kolaborasi lingkungan. Ketika WWF terlibat dalam kemitraan dengan perusahaan tambang, muncul risiko greenwashing, di mana praktik bisnis yang belum berkelanjutan memperoleh legitimasi hijau melalui kerja sama simbolik. 

Di sisi lain, menolak kolaborasi sepenuhnya juga berpotensi menutup ruang pengaruh terhadap perubahan perilaku korporasi. NGO berada dalam posisi sulit antara menjaga integritas moral dan mendorong perbaikan gradual melalui keterlibatan langsung.

Persoalan lain yang tidak kalah krusial adalah representasi masyarakat lokal. Komunitas adat dan warga sekitar tambang merupakan kelompok yang paling terdampak, tetapi suara mereka sering kali hanya hadir sebagai formalitas dalam konsultasi publik. Partisipasi yang bersifat prosedural tanpa daya tawar substantif melanggar prinsip keadilan partisipatif. 

Dalam konteks ini, kolaborasi kehilangan makna demokratisnya dan justru memperkuat ketimpangan kekuasaan. Upaya WWF dalam memperkuat kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan advokasi patut diapresiasi, tetapi struktur kekuasaan yang timpang tetap menjadi hambatan utama.

Ke depan, tata kelola lingkungan pertambangan di Kalimantan Timur memerlukan transformasi yang lebih mendasar. Transparansi harus menjadi fondasi utama, dengan keterbukaan data AMDAL, audit lingkungan, dan peta reklamasi yang dapat diakses publik. Partisipasi masyarakat perlu dilembagakan secara substantif, bukan sekadar konsultatif, agar warga memiliki pengaruh nyata dalam pengambilan keputusan. 

Program CSR perusahaan harus bergeser dari pendekatan karitatif menuju agenda transformasional yang mendukung restorasi ekosistem dan ekonomi hijau lokal. Di atas semua itu, prinsip keadilan lingkungan harus menjadi kerangka etik kebijakan daerah, sehingga beban dan manfaat pembangunan didistribusikan secara adil.

Peran NGO seperti WWF sangat penting, tetapi tidak cukup jika berdiri sendiri. Keberhasilan collaborative governance sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah dan komitmen korporasi untuk mengubah praktik lama. 

Kolaborasi yang sejati hanya dapat terwujud jika dibangun di atas transparansi, kepercayaan, dan kesetaraan kekuasaan. Tanpa itu, kerja sama lintas aktor hanya akan menjadi wajah baru dari dominasi lama. 

Kalimantan Timur memiliki peluang untuk menjadi contoh transformasi tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan, tetapi peluang itu hanya dapat diwujudkan melalui keberanian untuk menempatkan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat di atas kepentingan ekonomi jangka pendek.

***

*) Oleh : Ogie Anang Albanjari, Mahasiswa Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.