https://malang.times.co.id/
Opini

Ngaji Digital Rumahan

Kamis, 18 Desember 2025 - 21:20
Ngaji Digital Rumahan Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Perkembangan teknologi digital telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk cara umat beragama belajar dan memaknai ajaran agama. Salah satu fenomena yang semakin menguat dalam beberapa tahun terakhir adalah munculnya ngaji digital rumahan: pengajian yang dilakukan di ruang domestik melalui gawai, aplikasi konferensi video, media sosial, atau platform pesan instan. 

Dari kajian tafsir, fiqih, hingga tadarus Al-Qur’an, semua kini bisa diakses dari ruang tamu, kamar tidur, bahkan dapur rumah. Fenomena ini menandai pergeseran penting dalam praktik keagamaan masyarakat, sekaligus membuka perdebatan tentang makna, otoritas, dan kedalaman proses ngaji itu sendiri.

Ngaji digital rumahan lahir dari kebutuhan zaman. Mobilitas masyarakat yang tinggi, keterbatasan waktu, jarak geografis, hingga pengalaman pandemi telah mendorong umat mencari bentuk pengajian yang lebih fleksibel. 

Teknologi menghadirkan kemudahan luar biasa: siapa pun bisa belajar dari kiai atau ustaz di kota lain, bahkan dari luar negeri, tanpa harus meninggalkan rumah. Bagi sebagian keluarga, ngaji digital menjadi ruang baru untuk membangun tradisi keagamaan bersama, menghidupkan suasana religius di rumah, dan memperkuat ikatan spiritual di tengah kesibukan modern.

Namun, kemudahan itu juga membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Ngaji, dalam tradisi Islam, bukan sekadar aktivitas mendengar ceramah atau membaca teks. Ia adalah proses pembentukan adab, sanad keilmuan, dan kedekatan batin antara guru dan murid. 

Dalam ruang digital, relasi ini mengalami perubahan signifikan. Interaksi yang biasanya hangat dan personal sering kali tereduksi menjadi komunikasi satu arah. Pertanyaan dibatasi kolom komentar, koreksi bacaan tertunda, dan kehadiran guru terasa jauh meski wajahnya tampak di layar.

Tantangan lain dari ngaji digital rumahan adalah soal otoritas keilmuan. Dunia digital membuka ruang yang sangat luas bagi siapa pun untuk berbicara atas nama agama. Tidak semua yang tampil sebagai pengajar memiliki kapasitas keilmuan dan integritas moral yang memadai. 

Algoritma media sosial lebih menyukai konten yang sensasional, singkat, dan mudah viral, bukan yang mendalam dan penuh kehati-hatian ilmiah. Akibatnya, pengajian agama berisiko terjebak pada simplifikasi ajaran, bahkan penyebaran tafsir yang dangkal atau cenderung ekstrem.

Di sisi lain, ngaji digital rumahan juga berpotensi menggeser fungsi ruang-ruang keagamaan tradisional. Masjid, musala, dan majelis taklim selama ini bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga ruang sosial yang mempertemukan umat, menumbuhkan solidaritas, dan membangun empati. 

Ketika ngaji semakin terpusat di ruang privat, ada kekhawatiran lahirnya praktik keagamaan yang semakin individual dan terpisah dari realitas sosial. Agama berisiko dipahami sebagai urusan personal semata, bukan sebagai nilai yang hidup dalam kebersamaan dan kepedulian sosial.

Meski demikian, menolak ngaji digital rumahan secara apriori juga bukan sikap yang bijak. Teknologi adalah alat, bukan penentu nilai. Dalam konteks tertentu, ngaji digital justru membuka akses keilmuan bagi mereka yang selama ini terpinggirkan: pekerja dengan jam kerja panjang, ibu rumah tangga, penyandang disabilitas, atau masyarakat di daerah yang minim akses pengajar agama. Bagi mereka, ngaji digital bukan pilihan gaya hidup, melainkan jalan untuk tetap terhubung dengan ilmu dan nilai keagamaan.

Yang dibutuhkan adalah sikap kritis dan proporsional dalam memaknai ngaji digital rumahan. Pertama, perlu ada kesadaran bahwa ngaji digital tidak sepenuhnya bisa menggantikan ngaji tatap muka. Ia sebaiknya diposisikan sebagai pelengkap, bukan pengganti total. 

Kedua, literasi keagamaan digital menjadi keharusan. Jamaah perlu dibekali kemampuan memilah sumber, mengenali otoritas keilmuan, dan tidak menelan mentah-mentah setiap konten agama yang beredar di ruang digital.

Peran keluarga juga menjadi sangat penting. Ngaji digital rumahan idealnya tidak berhenti pada konsumsi konten, tetapi dilanjutkan dengan dialog, refleksi, dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendampingi, menjelaskan, dan memberi contoh, agar nilai-nilai agama tidak berhenti di layar, tetapi hidup dalam sikap dan perilaku.

Ngaji digital rumahan adalah cermin dari perubahan zaman yang tidak bisa dihindari. Tantangannya bukan pada teknologinya, melainkan pada kemampuan kita menjaga kedalaman makna, adab keilmuan, dan dimensi sosial agama di tengah kemudahan digital. 

Jika dikelola dengan bijak, ngaji digital dapat menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Namun jika dibiarkan tanpa panduan dan kesadaran kritis, ia berisiko mereduksi agama menjadi sekadar tontonan spiritual. Di situlah tugas bersama umat, ulama, dan keluarga untuk memastikan bahwa iman tetap tumbuh, bukan hanya tersambung sinyalnya.

***

*) Oleh : Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.