TIMES MALANG, MALANG – Ada satu kata yang diam-diam menjadi identitas generasi muda hari ini: lelah. Bukan lelah karena kurang bergerak, tetapi lelah karena terlalu banyak dituntut. Bukan lelah fisik semata, melainkan lelah mental, emosional, dan eksistensial.
Di balik wajah ceria di media sosial, generasi muda sedang memikul beban yang tidak ringan: tuntutan sukses dini, tekanan ekonomi, kecemasan masa depan, dan dunia digital yang tak pernah memberi jeda.
Generasi ini tumbuh di era serba cepat. Informasi mengalir tanpa henti, standar hidup terus naik, dan perbandingan sosial berlangsung 24 jam sehari. Media sosial menjelma menjadi panggung kompetisi sunyi.
Setiap unggahan adalah etalase pencapaian: karier mapan di usia muda, bisnis yang “meledak”, perjalanan ke luar negeri, hingga relasi yang tampak sempurna. Di ruang digital itu, kegagalan jarang mendapat tempat. Yang lelah bukan hanya tubuh, tetapi juga rasa percaya diri.
Tekanan semakin berat ketika realitas ekonomi tidak seindah narasi motivasi. Harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja terbatas, dan pendidikan mahal sering kali tidak sebanding dengan jaminan masa depan.
Generasi muda dipaksa adaptif, multitasking, dan selalu siap bersaing, namun di saat yang sama mereka diminta tetap optimistis. Ironisnya, optimisme kini kerap terdengar seperti kewajiban moral, bukan pilihan sadar. Siapa pun yang mengeluh dianggap lemah, kurang bersyukur, atau tidak cukup “berjuang”.
Di titik inilah lahir apa yang bisa disebut sebagai generasi lelah. Lelah karena hidup harus selalu produktif. Lelah karena istirahat sering dipandang sebagai kemalasan. Lelah karena waktu luang pun diserbu notifikasi.
Bahkan tidur tidak lagi benar-benar menjadi ruang jeda; ponsel tetap menyala, pikiran tetap bekerja. Dunia online telah mengaburkan batas antara kerja dan hidup, antara publik dan privat, antara eksistensi dan performa.
Budaya “hustle” yang diagungkan turut menyumbang masalah. Kerja keras tentu bukan persoalan, tetapi ketika kerja keras berubah menjadi glorifikasi kelelahan, di situlah bahaya bermula. Lelah dianggap bukti kesungguhan, burnout dinormalisasi, dan kesehatan mental dikesampingkan.
Generasi muda diajari untuk terus maju, tetapi jarang diajari cara berhenti dengan sehat. Akibatnya, banyak yang merasa bersalah saat mengambil jeda, seolah beristirahat adalah bentuk kegagalan.
Masalahnya tidak berhenti pada individu. Generasi lelah adalah cermin dari sistem yang terlalu menekan. Pendidikan sering kali menumpuk beban akademik tanpa memberi ruang refleksi. Dunia kerja menuntut fleksibilitas ekstrem tanpa jaminan stabilitas.
Negara kerap abai menyediakan jaring pengaman sosial yang memadai. Ketika kegagalan dianggap kesalahan personal, akar strukturalnya luput dibahas. Padahal, kelelahan massal ini adalah alarm sosial, bukan sekadar masalah motivasi.
Dunia online juga memainkan peran ambivalen. Di satu sisi, ia membuka ruang ekspresi dan solidaritas. Di sisi lain, ia mempercepat ritme hidup dan mempersempit makna diri. Validasi diukur dari angka: like, views, engagement.
Identitas perlahan direduksi menjadi performa digital. Ketika respons tidak sesuai harapan, kelelahan emosional pun muncul. Generasi muda hidup dalam paradoks: terhubung dengan banyak orang, tetapi merasa semakin sendirian.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Pertama, kita perlu berhenti memandang kelelahan sebagai kelemahan pribadi. Lelah adalah sinyal, bukan aib. Ia menandakan bahwa ada yang tidak sehat dalam cara kita hidup dan bekerja.
Kedua, generasi muda perlu merebut kembali hak atas jeda. Istirahat bukan kemunduran, melainkan syarat keberlanjutan. Ketiga, literasi digital harus naik kelas, bukan hanya soal teknis, tetapi soal kesadaran membatasi konsumsi informasi dan perbandingan sosial.
Lebih jauh, negara, institusi pendidikan, dan dunia kerja perlu bertanggung jawab. Kebijakan yang ramah kesehatan mental, sistem kerja yang manusiawi, serta pendidikan yang memanusiakan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.
Jika generasi muda terus diperas energinya tanpa pemulihan, kita sedang menyiapkan krisis sosial jangka panjang: generasi yang cakap secara teknis, tetapi rapuh secara mental.
Generasi lelah bukan generasi manja. Mereka adalah generasi yang hidup di tengah tekanan berlapis dengan sumber daya pemulihan yang minim. Mengakui kelelahan bukan berarti menyerah, tetapi langkah awal untuk menata ulang arah hidup dan sistem yang menaunginya.
Jika dunia terus berisik, mungkin keberanian terbesar hari ini adalah belajar diam sejenak, bernapas, dan bertanya ulang: hidup ini mau dibawa ke mana, dan dengan cara yang lebih manusiawi.
***
*) Oleh : Mahsun Arifandy, Mahasiswa Magister Psikologi, UMM.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |