TIMES MALANG, MALANG – Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah kerap disebut sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Narasi ini berulang dalam pidato pejabat, dokumen kebijakan, hingga kampanye politik. Data menunjukkan UMKM menyerap mayoritas tenaga kerja dan menjadi penopang ekonomi saat krisis.
Namun, di balik pujian yang nyaris klise itu, terdapat pertanyaan mendasar yang jarang dijawab secara jujur: sejauh mana negara benar-benar hadir untuk memperkuat UMKM, bukan sekadar menjadikannya simbol romantik ekonomi rakyat?
Selama bertahun-tahun, kebijakan UMKM lebih banyak berfokus pada kuantitas daripada kualitas. Keberhasilan sering diukur dari jumlah pelaku usaha yang terdaftar, banyaknya kredit yang disalurkan, atau berapa UMKM yang “naik kelas” secara administratif.
Padahal, ukuran sesungguhnya dari keberhasilan UMKM adalah daya tahan usaha, kemampuan beradaptasi, dan posisi tawar dalam rantai nilai. Banyak UMKM bertahan hidup, tetapi tidak benar-benar tumbuh. Mereka berjalan di tempat, rentan terhadap guncangan, dan mudah tersingkir oleh pemain besar.
Salah satu persoalan klasik UMKM adalah akses pembiayaan. Skema kredit usaha rakyat memang membantu, tetapi tidak menyentuh akar persoalan. Banyak UMKM kesulitan memenuhi persyaratan administratif, sementara yang berhasil mengakses kredit justru terjebak pada pola usaha yang sama tanpa peningkatan produktivitas.
Pembiayaan yang tidak disertai pendampingan bisnis berisiko menjadi beban baru, bukan jalan keluar. Kredit seharusnya menjadi instrumen transformasi, bukan sekadar penyangga jangka pendek.
Masalah lain yang kerap diabaikan adalah posisi UMKM dalam rantai pasok. Dalam banyak sektor, UMKM hanya berperan sebagai pemasok murah dengan margin tipis, sementara nilai tambah terbesar dinikmati oleh pelaku usaha skala besar.
Ketika UMKM didorong masuk ke ekosistem digital atau platform daring, relasi kuasa ini sering kali tidak berubah. Digitalisasi memang membuka pasar, tetapi juga menghadirkan ketergantungan baru.
UMKM berhadapan dengan algoritma, biaya layanan, dan persaingan yang semakin ketat tanpa perlindungan memadai. Tanpa kebijakan yang adil, digitalisasi justru berpotensi memperlebar kesenjangan.
Pendampingan UMKM juga masih terjebak pada pendekatan seragam. Pelatihan wirausaha sering bersifat umum dan berulang, seolah semua UMKM menghadapi persoalan yang sama. Padahal, kebutuhan UMKM sangat beragam, tergantung sektor, skala, dan konteks lokal.
UMKM kuliner, kerajinan, pertanian, atau jasa digital memerlukan strategi penguatan yang berbeda. Pendekatan satu resep untuk semua hanya menghasilkan kegiatan seremonial tanpa dampak nyata.
Lebih jauh, UMKM sering diposisikan sebagai objek kebijakan, bukan subjek pembangunan. Mereka menjadi sasaran program, tetapi jarang dilibatkan dalam perumusan kebijakan yang menyangkut nasib mereka sendiri.
Akibatnya, banyak kebijakan tidak membumi dan sulit diterapkan. UMKM membutuhkan ruang dialog yang setara dengan pemerintah dan dunia usaha besar agar kepentingan mereka benar-benar terakomodasi.
Di sisi lain, pelaku UMKM juga dituntut untuk berbenah. Bertahan pada pola lama sambil berharap perlindungan negara tidak cukup. UMKM perlu meningkatkan literasi keuangan, kualitas produk, dan profesionalisme pengelolaan usaha.
Namun, tuntutan ini harus dibaca secara adil. Tidak semua UMKM memiliki modal sosial, pendidikan, dan akses informasi yang sama. Oleh karena itu, peran negara dan pemerintah daerah sangat krusial dalam menciptakan ekosistem yang mendukung proses pembelajaran dan peningkatan kapasitas secara berkelanjutan.
Penguatan UMKM seharusnya dipandang sebagai proyek jangka panjang, bukan agenda musiman. Dibutuhkan kebijakan lintas sektor yang terintegrasi, mulai dari pendidikan kewirausahaan, kemudahan perizinan, perlindungan usaha kecil, hingga kebijakan pengadaan barang dan jasa yang berpihak. Pemerintah memiliki daya beli besar yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menyerap produk UMKM secara konsisten dan berkualitas.
Masa depan UMKM tidak ditentukan oleh seberapa sering mereka disebut dalam pidato, tetapi oleh seberapa serius kebijakan publik membangun fondasi ketahanan mereka. UMKM yang kuat bukanlah UMKM yang sekadar bertahan, melainkan yang mampu tumbuh, berinovasi, dan memiliki posisi tawar yang adil dalam perekonomian.
Jika UMKM terus dibiarkan berjalan sendiri di tengah kompetisi yang timpang, maka kebanggaan terhadap ekonomi kerakyatan akan tinggal slogan. Sudah saatnya UMKM ditempatkan sebagai aktor utama pembangunan ekonomi, bukan sekadar ornamen retorika.
***
*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |