TIMES MALANG, MALANG – Pendidikan kerap diyakini sebagai jalan paling rasional untuk keluar dari jerat kemiskinan. Keyakinan inilah yang melandasi kebijakan wajib belajar 12 tahun di Indonesia. Negara hadir dengan janji menjamin akses pendidikan hingga jenjang menengah, dengan harapan kualitas sumber daya manusia meningkat dan kesejahteraan masyarakat ikut terangkat.
Namun, pertanyaan mendasarnya tetap relevan hingga hari ini: seberapa efektif kebijakan tersebut ketika berhadapan langsung dengan realitas kemiskinan, terutama di tingkat daerah?
Kabupaten Kutai Timur memberikan gambaran menarik untuk membaca relasi antara pendidikan dan kemiskinan. Dalam beberapa tahun terakhir, angka partisipasi sekolah di daerah ini menunjukkan tren positif, seiring dengan menurunnya persentase penduduk miskin.
Data Badan Pusat Statistik mencatat bahwa pada tahun 2024 tingkat kemiskinan Kutai Timur turun menjadi 8,81 persen dari sebelumnya 9,06 persen pada tahun 2023. Sekilas, angka-angka ini memberi kesan bahwa kebijakan wajib belajar 12 tahun berjalan sesuai harapan dan berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.
Namun, membaca kebijakan hanya dari angka partisipasi sekolah berisiko menyederhanakan persoalan yang jauh lebih kompleks. Pendidikan tidak pernah bekerja dalam ruang hampa. Ia dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, tata kelola pemerintahan, serta kualitas layanan publik yang menyertainya.
Di balik kenaikan partisipasi sekolah, terdapat proses kebijakan yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan, mulai dari Dinas Pendidikan sebagai pelaksana teknis, Bappeda sebagai perencana pembangunan, Dinas Sosial sebagai penopang kelompok rentan, hingga pemerintah desa dan sekolah sebagai garda terdepan pelayanan pendidikan.
Relasi antaraktor inilah yang menentukan apakah kebijakan wajib belajar benar-benar menjangkau kelompok miskin atau sekadar berhenti pada pemenuhan target administratif. Ketika koordinasi lintas sektor berjalan baik, data sosial terintegrasi, bantuan pendidikan tepat sasaran, serta infrastruktur sekolah memadai, pendidikan dapat menjadi pintu masuk mobilitas sosial.
Sebaliknya, ketika sinkronisasi data lemah, fasilitas pendidikan timpang antarwilayah, dan anggaran terbatas, kebijakan yang baik di atas kertas dapat kehilangan daya ubahnya di lapangan.
Kebijakan wajib belajar 12 tahun juga perlu dibaca secara kritis dalam konteks dampaknya yang bersifat jangka panjang. Pendidikan memang memiliki korelasi kuat dengan penurunan kemiskinan, tetapi hasilnya tidak bisa diukur secara instan.
Persoalannya, dalam praktik, kebijakan pendidikan sering kali terjebak pada orientasi kuantitatif. Angka partisipasi sekolah menjadi indikator utama keberhasilan, sementara kualitas pembelajaran, relevansi keterampilan, dan keberlanjutan pendidikan siswa dari keluarga miskin kerap luput dari perhatian.
Tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang memang berhasil masuk sekolah, tetapi menghadapi tantangan untuk bertahan hingga lulus. Faktor ekonomi keluarga, jarak sekolah, keterbatasan fasilitas, hingga kebutuhan untuk membantu orang tua bekerja menjadi realitas sehari-hari.
Jika pendidikan hanya dipahami sebagai kewajiban hadir di bangku sekolah tanpa dukungan sosial yang memadai, maka kebijakan wajib belajar berpotensi melahirkan ilusi keberhasilan.
Lebih jauh, persoalan kualitas pendidikan juga menentukan apakah lulusan benar-benar memiliki daya saing di pasar kerja. Ketika sekolah tidak membekali peserta didik dengan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan ekonomi lokal, pendidikan berisiko hanya menghasilkan ijazah, bukan peningkatan kapasitas hidup. Dalam situasi seperti ini, pendidikan gagal berfungsi sebagai instrumen pemutus rantai kemiskinan dan justru memperpanjang siklus ketimpangan.
Pengalaman Kabupaten Kutai Timur menunjukkan bahwa pendidikan dapat berkontribusi pada penurunan kemiskinan jika dikelola sebagai investasi sosial jangka panjang, bukan sekadar program sektoral. Evaluasi kebijakan tidak cukup dilakukan melalui laporan tahunan dan capaian angka, tetapi harus menjadi proses pembelajaran untuk memperbaiki desain dan implementasi kebijakan.
Integrasi data pendidikan dan sosial, penguatan peran pemerintah desa, serta keberpihakan anggaran pada wilayah tertinggal menjadi prasyarat penting agar kebijakan wajib belajar benar-benar inklusif.
Wajib belajar 12 tahun bukan sekadar kewajiban administratif pemerintah daerah, melainkan komitmen moral negara terhadap masa depan warganya. Pendidikan hanya akan efektif sebagai alat pengentasan kemiskinan jika ia mampu menjangkau yang paling rentan, menjaga keberlanjutan belajar, dan menghasilkan kualitas manusia yang siap menghadapi tantangan ekonomi. Jika tidak, kebijakan ini berisiko menjadi simbol keberpihakan semu indah dalam angka, tetapi rapuh dalam dampak nyata.
***
*) Oleh : Ahmad Naldy Nasrudin, S.E., Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |