https://malang.times.co.id/
Berita

MPR Desak Revisi Pasal 30 UUD 1945: Hadapi Ancaman Non-Militer dan Hibrida yang Kian Kompleks

Rabu, 19 November 2025 - 06:00
MPR Desak Revisi Pasal 30 UUD 1945: Hadapi Ancaman Non-Militer dan Hibrida yang Kian Kompleks Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Dr. Benny K. Harman, S.H.

TIMES MALANG, JAKARTA – Badan Pengkajian MPR RI mendesak dilakukannya revisi terhadap Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penilaian ini muncul karena rumusan pasal tersebut dianggap masih berpegang pada paradigma pertahanan konvensional yang hanya berorientasi pada ancaman fisik atau militer, sementara tantangan keamanan nasional telah berubah secara drastis dalam 25 tahun terakhir.

Fokus Bergeser: Dari Senjata ke Pangan dan Siber

Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Dr. Benny K. Harman, S.H., menekankan bahwa isu ketahanan nasional saat ini tidak lagi didominasi oleh ancaman militer semata.

"Tantangan kita hari ini jauh lebih kompleks, bukan hanya ancaman militer. Ancaman terhadap pangan, energi, lingkungan hidup, hingga serangan siber adalah isu krusial yang menentukan ketahanan. Ketergantungan bangsa pada suplai pangan dari luar, misalnya, dapat menempatkan negara dalam situasi yang sangat membahayakan," ujar Benny.

Kekhawatiran Benny disampaikan dalam Forum Group Discussion (FGD) Kelompok V Badan Pengkajian MPR RI di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (18/11/2025), yang mengusung tema "Pertahanan dan Keamanan Negara".

Politisi Partai Demokrat tersebut menambahkan bahwa meskipun Pasal 30 telah menggariskan tiga pilar pertahanan (TNI, Polri, dan rakyat), perkembangan ancaman modern menuntut konsep pertahanan yang lebih adaptif dan inklusif.

Ia juga menyoroti kerentanan Indonesia sebagai negara majemuk, yang menurutnya lebih berisiko dari ancaman disrupsi internal daripada invasi militer terbuka.

"Yang lebih menakutkan adalah kemampuan pihak tertentu untuk melemahkan bangsa dari dalam. Penguasaan sumber daya alam, isu energi, dan pangan menjadi titik kritis. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menjadi alat pelemahan kedaulatan," terangnya.

Hambatan Regulasi dan Urgensi Undang-Undang Keamanan Nasional

Para akademisi dan pakar pertahanan yang hadir dalam FGD turut memperkuat urgensi pembenahan ini.

Mayjen TNI (Purn.) Dr. Puguh Santoso, S.T., M.Sc., dari Universitas Pertahanan (Unhan), menyoroti bahwa tata kelola ketahanan, pertahanan, dan keamanan nasional saat ini belum terintegrasi sebagai satu sistem terpadu.

Menurutnya, berbagai regulasi yang ada, termasuk UU Terorisme dan UU Pertahanan, masih dinilai tumpang tindih, tidak operasional, dan meninggalkan banyak celah hukum.

Salah satu contoh paling nyata adalah masalah Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang tidak berjalan optimal karena ketiadaan pedoman operasional yang tuntas.

"Secara teori hukum, sebuah sistem harus runtut dari UUD 1945 hingga aturan pelaksana. Namun saat ini banyak celah yang membuat lembaga negara kebingungan dalam bertindak," tegas Puguh.

Puguh juga menggarisbawahi perlunya Indonesia memiliki postur energi, postur pangan, dan postur kesehatan nasional yang dapat diukur dan dipetakan, layaknya postur militer yang sudah ada. Tanpa postur yang jelas, pemerintah akan sulit menilai kesiapan menghadapi ancaman non-militer dan hibrida.

Oleh karena itu, ia menilai sangat mendesak bagi Indonesia untuk segera memiliki Undang-Undang Keamanan Nasional (Kamnas) sebagai kerangka dasar tata kelola keamanan, yang kemudian akan menjadi landasan pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) di bawah Presiden.

Menghindari Tumpang Tindih dan Membangun Doktrin Non-Militer

Senada dengan itu, Mayjen TNI (Purn) Dr. I Gede Sumertha KY, PSC., M.Sc., juga menegaskan bahwa pembenahan tata kelola pertahanan dan keamanan adalah keharusan mutlak untuk menghadapi ancaman modern.

Meskipun kerangka hukum telah memisahkan pertahanan (TNI) dan keamanan (Polri), ia menekankan perlunya penyatuan koordinasi melalui strategi keamanan nasional (national security). Ia menyoroti minimnya peraturan terkait tugas TNI selain perang, yang sering memicu tumpang tindih, terutama dalam operasi di wilayah konflik seperti Papua.

"Tidak ada Rule of Engagement yang jelas, tidak ada SOP lintas institusi. Bahkan latihan bersama pun hampir tidak pernah dilakukan," keluhnya.

Sumertha menambahkan bahwa Indonesia masih sangat kekurangan doktrin pertahanan non-militer, padahal ancaman saat ini telah merambah sektor kesehatan, ekonomi, digital, dan bahkan genomik. Ia menyimpulkan:

"Selama kita tidak punya National Security Council, tidak punya doktrin non-militer, dan belum rapi dalam kerja lintas lembaga, maka respons kita terhadap ancaman modern akan selalu tertinggal."

Strategi Hibrida Berbasis Teknologi Tinggi

Sementara itu, Laksda TNI Dr. Ivan Yulivan., S.E., M.M., menyoroti bahwa strategi pertahanan Indonesia harus menyesuaikan diri dengan ancaman kontemporer yang bersifat hibrida dan berbasis teknologi tinggi.

"Tidak mungkin Indonesia diserang secara head-to-head karena biaya dan luas wilayah yang sangat besar. Ancaman modern datang dari dalam, menghancurkan ekonomi, demokrasi, perilaku, dan sistem informasi," jelasnya.

Ivan menekankan pentingnya modernisasi doktrin pertahanan, integrasi lintas lembaga, pemanfaatan Intelijen, AI, dan kolaborasi riset ilmiah. Prioritas penguatan harus diberikan pada teknologi seperti drone, rudal taktis, kapal patroli, dan sistem AI, mengingat perang modern lebih didominasi oleh informasi dan teknologi, bukan lagi konfrontasi fisik langsung. (*)

Pewarta : Rochmat Shobirin
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.